Menyelamatkan Hutan, Menginvestasi Kemanusiaan
Kemuliaan manusia telah menjadi penghancuran bagi bumi, dan kini penghancuran bumi menjadi nasib tragis manusia. Kita tidak dapat mempunyai manusia yang baik dalam suatu bumi yang sedang sakit.
“Pada awalnya saya mengira saya berjuang untuk menyelamatkan pohon karet, maka kupikir aku sedang berjuang untuk menyelamatkan hutan hujan Amazon. Sekarang saya menyadari saya berjuang untuk kemanusiaan.” (Chico Mendes)
Nama Francisco Alves Mendes Filho Cena atau lebih dikenal Chico Mendes mengabadi dalam nadi perjuangan aktivis lingkungan hidup dunia. Warga memahat “Chico” sebagai nama hutan hujan tropis di kawasan Amazon, Brazil. Napas perjuangannya melawan pemerintah dan pengusaha yang menebangi hutan Amazon (1983-1988) dihentikan butir-butir peluru pada tahun 1998.
Tragedi itu tidak sekadar teror terhadap aktivis ekologi, tetapi pesan kemanusiaan agar tidak pernah boleh kalah melawan kekuatan dominasi ketamakan. Sebuah pohon tidak pernah hidup untuk dirinya sendiri. Ia menyanggah, menebar, dan membuka ruang hidup bagi segenap makhluk. Ketika sebuah pohon ditebang, keutuhan hidup segenap makhluk tercabik. Merawat sebuah pohon berarti menjaga keberlanjutan tanah, hutan dan air yang menjadi sumber hidup manusia.
Baca juga: Menjaga Keberlanjutan Bumi
Chico Mendez benar ketika berkata, “Lahan ini tak ada gunanya jika pohonnya hilang. Bahkan rumput pun tak bisa tumbuh. Begitu kalian telah menebang pohon ini, maka kita semua akan kelaparan bersama.”
Petuah profetis Chico Mendez dalam film “The Burning Seasons” (1994) ini merupakan akumulasi dari kisah nyata perjuangannya bersama masyarakat Cachoeira, daerah di sekitar hutan hujan Amazon (1951-1990-an). Chico berlatar belakang anak petani. Ia belajar membaca dan menulis dari Euclides Távora, politisi komunis yang tinggal dekat rumahnya.
Keterbukaan dan relasi dengan aktivis kemanusiaan menerbitkan kesadaran ekologis. Chico insaf bahwa sebuah pohon karet adalah napas hidup. Dia tidak direduksi secara dangkal sekadar barang ekonomis dalam alat timbang tengkulak buas. Menebang pohon karet atas nama pembangunan infrastruktur jalan hanya untuk memperlancar jalur kapitalisme berarti menghentikan hidup segenap makhluk. Kesadaran inilah yang menggerakkan Chiko bersama warga kampung Cachoeira melakukan perlawanan pagar betis dan melindungi pohon dengan badan. Mereka menjaga hutan dengan cinta.
Negeri deforestasi
Gerakan merawat hutan menjadi refleksi aktual sepanjang waktu, tidak sebatas pada peringatan Hari Pohon Sedunia (World Tree Day) setiap 21 November. Chiko Mendez dan J Sterling Morton, pencinta lingkungan dari Amerika Serikap, menginspirasi kita agar peka membaca realitas dunia saat ini dan membangunkan kepedulian pentingnya pemulihan kerusakan hutan.
Morton gigih mengkampanyekan gerakan menanam pohon karena setiap makhluk hidup membutuhkan kontribusi pohon sebagai penunjang hidup. Pohon merupakan teknologi paling hemat biaya dan terbaik, penyerap dan penyimpan karbon. Fungsi pohon di hutan yang sehat meningkatkan kualitas udara dan air, menyediakan habitat satwa liar, menstabilkan tanah, menyediakan rekreasi, merangsang ekonomi lokal, dan sebagainya.
Pohon merupakan teknologi paling hemat biaya dan terbaik, penyerap dan penyimpan karbon.
Food and Agriculture Organization (FAO) mengutip penelitian-penelitian sebelumnya, menyebutkan bahwa pohon berperan dalam mitigasi perubahan iklim karena satu pohon dewasa bisa menyerap emisi 150 kilogram setara CO2 setahun. Pohon-pohon juga bisa menurunkan suhu sekitar 2-8 derajat celsius. Akar sebatang pohon cemara bahkan bisa menyerap 15.000 liter air setahun.
Studi The Nature Conservancy, lewat survei di 245 kota dunia, menyebutkan bahwa manfaat penanaman pohon sama nilainya dengan tiap dollar investasi. Pohon-pohon telah menyelamatkan anggaran pemerintah kota sebesar 500 juta dollar AS atau Rp 7 triliun per tahun yang bisa dihemat untuk biaya pengobatan, pemakaian energi, dan proteksi lingkungan (Forest Digest 10/2/2020).
Baca juga: Menanam Trembesi, Menyerap Emisi
Di Indonesia, fakta “keajaiban” pohon itu ternoda aksi penebangan pohon (deforestasi) yang sangat marak. Dalam terminologi modern, menebang pohon sudah bisa dikategorikan merusak lingkungan bahkan tergolong ekosida. Di Indonesia malah ada istilah deforestasi legal. Pemerintah mengizinkan penebangan pohon dengan alasan pembangunan.
Litbang Kompas menyebutkan, tahun 1990-2020, laju deforestasi di Indonesia menghilangkan sekitar 420 juta hektar (ha) hutan. Kalimantan menjadi wilayah dengan deforestasi terbesar, yakni 41.500 ha, disusul Nusa Tenggara (21.300 ha), Sumatera (17.900 ha), Sulawesi (15.300 ha), Maluku (10.900 ha), Papua (8.500 ha), dan Jawa (34 ha) (Kompas.Id 3/3/2021).
Walhi Indonesia mencatat, deforestasi terselubung melalui izin pinjam pakai kawasan hutan masih terjadi seluas 117.106 ha untuk tambang dan 14.410 ha untuk keperluan non tambang. Audit Badan Pengawas Keuangan (BPK) menemukan 2.749.453 ha perkebunan kelapa sawit ilegal berada dalam kawasan hutan (Tempo, 13/11/2021).
Presiden Jokowi mengakui fakta deforestasi itu yang mencapai angka terendah selama 20 tahun terakhir dalam KTT Iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia beberapa waktu lalu. Luas deforestasi periode 2018-2019 mencapai 462.460 ha. Sementara luas deforestasi periode 2019-2020 mencapai 115.459 ha. Ada penurunan laju deforestasi 75 persen. Entah naik atau turun, tetap saja negeri ini menjadi “surga” deforestasi. Penebangan pohon tak terkendali lagi.
Baca juga: Akuntabilitas Deforestasi
Pengakuan Presiden Jokowi tersebut membuktikan bahwa negara bertanggung jawab atas kehancuran ekosistem Ibu Pertiwi. Kehancuran ekosistem bumi ini berdampak signifikan putusnya jejaring kehidupan utuh. Jutaan batang pohon yang kini tersisa deretan tunggul menginvestasi kehancuran kemanusiaan.
Tunggul-tunggul itu menjadi saksi bisu ketakberdayaan rakyat sipil melawan gelombang kebuasan oligarki dan kapitalis yang dikawal negara memusnahkan kehidupan. Bencana kelaparan mengadang. Chico Mendez benar ketika berkata, ketika sebuah pohon ditebang, segelintir orang tambah kaya dan mayoritas semakin miskin.
Selamatkan bumi
Ralph Chaplin, penulis dan aktivis buruh AS, meratapi keadaan bumi dan apatisme kita. “Duka citaku bukan karena kematian. Tetapi karena sikap apatis, penakut, dan penjilat yang setia. Mereka melihat kedukaan bumi dan tahu bahwa itu salah, tetapi tidak berani berbicara.” Tangisan Chaplin ini merupakan lecutan cemeti kesadaran agar kita segera bertindak.
Di abad ini, kemuliaan manusia telah menjadi penghancuran bagi bumi, dan kini penghancuran bumi menjadi nasib tragis manusia. Kesehatan manusia adalah subsistem dari kesehatan bumi. Kita tidak dapat mempunyai manusia yang baik dalam suatu bumi yang sedang sakit. Dan itulah yang sedang kita coba lakukan dengan segala teknologi yang kita punyai: kita berusaha agar punya manusia yang baik dalam suatu planet yang sedang sakit. Prinsip yang sama teraplikasi untuk ekonomi: Kita tidak dapat mempunyai suatu ekonomi yang berkelanjutan dengan merusakkan ekonomi bumi (Berry, 1999:62).
Apa yang mesti kita buat? Pertama, kita terus berbicara dan berkampanye untuk membangunkan kesadaran bersama. Kita memperjuangkan sebuah urgensi keselamatan bumi. Aspek “keselamatan” itu terkait erat dengan iman. Krisis ekologi saat ini tidak sekadar pencemaran lingkungan atau kerusakan alam. Dia telah menuding pada sebuah krisis religiositas dan iman.
Krisis ekologi saat ini tidak sekadar pencemaran lingkungan atau kerusakan alam. Dia telah menuding pada sebuah krisis religiositas dan iman.
Kerusakan bumi saat ini menjadi bukti kehancuran imajinasi-imajinasi religius kita. Semua agama meyakini bahwa pengembangan manusia yang integral berkaitan kuat dengan kewajiban-kewajiban yang mengalir dari relasi manusia dengan lingkungan alam. Lingkungan harus dilihat sebagai rahmat Allah untuk semua orang dan pemanfaatannya mencakup suatu tanggung jawab berbagi untuk semua manusia, khususnya mereka yang miskin dan generasi masa datang (Paus Benediktus).
Kedua, kita bertindak memperhatikan lingkungan hidup. Memelihara pohon yang ada dan menanam pohon yang baru. Mencegah tindakan yang merusak keutuhan lingkungan. Menyelamatkan hutan, udara, air dan tanah berarti memuliakan kemanusiaan. Kita membentuk habitus baru: alam adalah sahabat yang mesti dihormati, dihargai, dirawat, dan disegani. Tindakan konkret akan memproduksi pengetahuan menuju pembentukan sikap untuk mencintai “kapal bersama” ini. Semua ini akan melahirkan rasa memiliki (sense of belonging) bumi kita.
Baca juga: Bumi dan Krisis Iklim
Chico Mendez pada satu kesempatan wawancarai berseru dengan lantang,”Saya menyarankan agar kita menyadari bahwa kita semua adalah lingkungan hidup.” Penyair Pluralis Libanon, Kahlil Gibran, menulis, “Matahari, terbit dari puncak gunung dan menyepuh puncak-puncak pohon dengan rona mahkota. Aku memandang keindahan itu dan bertanya dalam hati: Mengapa manusia harus merusak karya alam?”
Steph Tupeng Witin, Penulis, Rohaniwan Katolik