Akuntabilitas Deforestasi
Bila deforestasi bisa disebut sebagai kegagalan dan reforestasi sebagai keberhasilan, persoalannya bukan di situ. Melainkan pada tanggung jawab untuk menanganinya, guna manfaat saat ini dan di masa depan.
Dalam berita utama Kompas (4/11/2021) ”Indonesia Masih Mendua Merespons Deforestasi” diutarakan isi pidato Presiden Joko Widodo saat hadir dalam KTT Iklim (COP 26) di Glasgow, bahwa Indonesia akan menargetkan penyerapan bersih (net sink) dari penggunaan hutan dan lahan (FoLU) pada 2030.
Target itu dapat dicapai apabila deforestasi yang melepas karbon dapat dikompensasi oleh kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan atau reforestasi yang dapat menyerap karbon. Dengan kata lain, kebijakan penyerapan bersih itu akan mengandalkan peningkatan keberhasilan kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan serta meminimalkan deforestasi yang mungkin terjadi.
Untuk suatu penjabaran menjadi kebijakan nasional, penggunaan metode penyerapan bersih itu seyogianya disertai dengan beberapa catatan agar tidak mudah disalahartikan yang justru menjadi kontra produktif, sebagai berikut.
Pertama, penerapan metode penyerapan bersih. Penyerapan bersih itu memang dapat dilaksanakan pada kondisi masih terjadi deforestasi, asalkan kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan sebagai kompensasinya juga berhasil.
Walaupun begitu, pelaksanaan seperti itu semestinya dapat dihindari karena deforestasi tidak hanya mempunyai dampak buruk bagi penyerapan karbon yang dapat dihitung secara nasional, tetapi juga bagi lingkungan hidup di suatu wilayah ekosistem tertentu.
Untuk itu, luas deforestasi tetap perlu dibatasi, apalagi apabila terjadi di dalam kawasan lindung, kompensasinya pun juga harus dilakukan di dalam kawasan lindung yang sama.
Baca juga : Pekerjaan Rumah Berat Pasca-COP 26
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2021) menyampaikan bahwa angka deforestasi menurun hingga 115.460 hektar pada 2019-2020, dari 462.500 hektar pada 2018-2019. Angka itu merupakan angka deforestasi bersih (neto) yang dihitung dari luas deforestasi total (bruto) dikurangi dengan luas hasil rehabilitasi hutan dan lahan (reforestasi) secara nasional.
Cara akuntansi dalam lingkup agregat nasional seperti itu tidak mudah dipahami oleh masyarakat karena angka neto itu, di wilayah tertentu, tidak bisa diamati. Yang bisa diamati adalah kenyataan adanya deforestasi yang bisa menurun, meningkat, atau tetap.
Di Papua dan Papua Barat, misalnya, setelah dilakukan review perizinan kebun kelapa sawit, yang kini prosesnya sedang berlangsung, terlihat bagaimana degradasi hutan alam terjadi melalui izin pemanfaatan kayu. Fakta seperti itu telah memicu deforestasi atau konversi hutan, baik secara legal maupun ilegal.
Untuk itu, perlu kecermatan dalam menginterpretasikan angka-angka deforestasi dan reforestasi itu.
Namun, dengan metode net sink secara nasional, hal demikian itu tidak terlihat. Karena turun-naiknya deforestasi ditetapkan berdasarkan angka deforestasi dan reforestasi agregat nasional. Sebagaimana ditunjukkan oleh angka-angka yang disebut KLHK sebelumnya, deforestasi menurun.
Dengan pendekatan itu, jika di Kalimantan, misalnya, terdapat reforestasi yang berhasil, angkanya dapat menjadi kompensasi deforestasi di Papua dan Papua Barat. Untuk itu, perlu kecermatan dalam menginterpretasikan angka-angka deforestasi dan reforestasi itu.
Agar memudahkan pemahaman bagi masyarakat luas, sebaiknya penghitungan deforestasi neto dilakukan juga untuk setiap provinsi. Dengan begitu, bisa diketahui ragam naik turunnya angka deforestasi dan bisa ditentukan provinsi prioritas, di mana deforestasi harus dikendalikan dan reforestasi harus ditingkatkan keberhasilannya.
Untuk menghindari dampak buruk terhadap lingkungan hidup, di provinsi seperti itu mungkin perlu diterapkan nol deforestasi secara permanen atau tak permanen, tergantung kondisi daya dukung dan daya tampung lingkungan. Frekuensi terjadinya bencana akibat penggunaan hutan dan lahan dapat menjadi salah satu ukuran kinerja yang dapat diterapkan.
Kedua, informasi yang tak sampai kepada masyarakat. Dalam pelaksanaan pembangunan skala nasional, sudah terdapat rencana dan cara untuk mengatur wilayah mana yang akan dimanfaatkan dan untuk apa, yang dituangkan dalam dokumen resmi penataan ruang. Seperti terhadap wilayah miskin dan terpencil yang perlu infrastruktur jalan, mungkin justru diperlukan deforestasi sebagai suatu aktivitas yang memang direncanakan.
Di sisi lain, terdapat wilayah yang dilindungi, sebagai pusat sumber air pertanian atau sebagai wilayah konservasi yang dimanfaatkan, tetapi dengan syarat tak akan terganggu tutupan vegetasinya.
Baca juga : Deforestasi di Berau Picu Kenaikan Suhu 1 Derajat dan Kematian Dini
Dalam pelaksanaan di lapangan, hal demikian itu dapat menjadi silang pendapat. Apabila terjadi konversi hutan alam di lapangan, termasuk pembangunan infrastruktur oleh pemerintah, orang dapat menyangka bahwa kegiatan seperti itu menyalahi peraturan, tetapi orang lain berkata sebaliknya.
Hal itu terjadi, antara lain, akibat tidak diketahui yang mana deforestasi yang direncanakan itu. Jarang sekali publik mengetahui rencana pembangunan yang terkait dengan konversi hutan deforestasi yang legal. Dokumen lingkungan hidup yang seharusnya terbuka bagi publik sering kali menjadi dokumen rahasia.
Kenyataan seperti itu menjadi lebih diperburuk akibat pelaksanaan perizinan berusaha yang menyalahi peraturan, tetapi masyarakat mendapat tekanan agar menganggap bahwa kegiatan itu sebagai kegiatan yang benar, padahal dilaksanakan dengan membabat hutan yang dilarang. Di situ makna deforestasi menjadi kabur dan cenderung dipandang sebagai aktivitas yang buruk.
Pada kondisi seperti itu bahkan bisa berkembang berbagai pendapat yang merugikan.
Pada kondisi seperti itu bahkan bisa berkembang berbagai pendapat yang merugikan. Penebangan di hutan alam dan hutan tanaman, misalnya, yang menjadi bagian dari manajemen pengelolaan hutan lestari, dianggap sebagai perbuatan yang keliru.
Ketiga, luas yang diperhitungkan sebagai kegiatan reforestasi, yaitu luas hutan yang sudah terbangun, bukan luas hutan yang sudah ditanami. Secara fungsional, tentu saja dapat dimengerti ketika deforestasi, berarti kehilangan hutan yang sudah mampu menyerap karbon, kompensasinya juga berupa hutan dengan kemampuan kurang lebih sama.
Hal ini menjadi penting, sekaligus sebagai pendorong profesionalisme kehutanan melalui peran masyarakat, pengusaha, ataupun para ahli yang benar-benar mampu membangun hutan. Bukan menjalankan proyek reboisasi dan rehabilitasi lahan yang biasanya hanya intensif dilakukan sampai dengan tahun keempat, karena regulasinya seperti itu. KLHK sudah mengarah pada perbaikan kelembagaan pelaksanaan reforestasi ini.
Keempat, perdebatan mengenai besar-kecilnya luas deforestasi ditengarai terkait dengan ”agenda tersembunyi” atas siapa yang diuntungkan untuk solusi yang akan dijalankan. Dalam pembahasan ini mengemuka suatu pernyataan, antara lain, apabila sawit diakui sebagai tanaman hutan, persoalan deforestasi selesai.
Pernyataan seperti itu dapat diinterpretasikan bahwa cara penyelesaian deforestasi yang luas ingin dilakukan dengan sekaligus menjalankan kebijakan untuk menyelesaikan persoalan kebun-kebun sawit. Apabila kebun sawit adalah hutan, konversi hutan menjadi kebun sawit bukanlah deforestasi.
Keinginan seperti itu diharapkan dapat menjadi opsi penyelesaian terhadap 3,6 juta hektar kebun kelapa sawit yang lokasinya di dalam kawasan hutan, berdasarkan data KLHK (2020). Tentu saja hal itu bertentangan dengan kebijakan dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang sudah diturunkan menjadi peraturan pemerintah dan peraturan menteri.
Dalam kebijakan itu sudah terdapat opsi untuk menyelesaikannya, yang dapat dilepaskan dari kawasan hutan negara.
Dalam kebijakan itu sudah terdapat opsi untuk menyelesaikannya, yang dapat dilepaskan dari kawasan hutan negara. Namun, untuk usaha besar—dengan kondisi tertentu—tetap harus membayar denda administrasi ataupun pajak dan nonpajak yang belum dibayar. Jika kebun sawit terdapat di dalam areal usaha kehutanan, juga mendapat opsi untuk saling bekerja sama.
Menimbang kondisi demikian itu, sangat baik apabila pemerintah menegaskan posisinya serta menjalankan langkah-langkah konkret penyelesaian persoalan tumpang tindih penggunaan kawasan hutan tersebut. Pada titik ini, juga menjadi sangat penting, bagaimana kawasan hutan negara itu ditetapkan. Tidak hanya untuk memenuhi legalitas, tetapi juga legitimasi untuk memastikan diakuinya ruang hidup masyarakat ataupun kepastian iklim berusaha.
Kelima, mengungkap fenomena deforestasi di masa lalu sebagai dasar perdebatan saat ini. Bahwa seluruh negara telah melakukan deforestasi untuk membuka ruang hidup—umumnya untuk fasilitas sosial dan ekonomi—yang bisa didayagunakan dan dinikmati manfaatnya hingga saat ini.
Baca juga : Indonesia Masih Mendua Merespons Deforestasi
Argumen ini biasanya digunakan untuk membantah desakan pengendalian deforestasi oleh negara-negara lain yang dianggap tidak adil karena negara-negara yang mendesak itu juga melakukannya di masa lalu. Dengan kata lain, pengulangan kegiatan yang menyebabkan deforestasi saat ini mempunyai justifikasi moral sama baiknya dengan apa yang dilakukan di masa lalu.
Walaupun pernyataan seperti itu dapat diutarakan dalam diskusi formal, biasanya tidak menjadi posisi resmi dari suatu lembaga. Ini tampak lebih sebagai semacam bentuk kekesalan atau kondisi yang dialami seseorang, ketika sudah kehilangan argumen. Walaupun begitu, dapat menambah keraguan untuk menolak terjadinya deforestasi saat ini. Untuk itu, sekali lagi, posisi pemerintah diperlukan untuk menegaskan pentingnya pengendalian deforestasi itu.
Akhir kata, dari berbagai catatan mengenai deforestasi di atas, dapat ditunjukkan bahwa untuk menjalankan kebijakan penyerapan bersih, diperlukan kejelasan pengertian, keterbukaan, dan kelancaran komunikasi maupun perhatian terhadap kepentingan di baliknya, serta berbagai bentuk pemaknaan simbolis yang dapat menghambatnya.
Pada ujungnya, penetapan deforestasi adalah suatu tanggung jawab melalui akuntabilitas dalam pelaksanaannya. Sebagaimana disebut Courtney Lynch: ”Leaders inspire accountability through their ability to accept responsibility before they place blame.”
Apabila deforestasi bisa disebut sebagai kegagalan dan reforestasi sebagai keberhasilan, persoalannya bukan di situ, melainkan tanggung jawab untuk menanganinya, guna manfaat saat ini dan di masa depan.
Hariadi Kartodihardjo
Guru Besar pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan dan Fellow pada Center for Transdisciplinary and Sustainability Sciences, IPB