Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengingatkan, manusia telah merusak ekosistem pendukung kehidupan. Tanpa upaya restorasi, kita berisiko kehilangan sumber makanan dan air bersih.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Teknologi dan peradaban yang semakin berkembang ternyata malah membuat Bumi semakin menderita. Perlu upaya agar Bumi dan penghuninya berkelanjutan.
Memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Sabtu (5/6/2021), Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengingatkan, manusia telah merusak ekosistem pendukung kehidupan. Tanpa upaya restorasi, kita berisiko kehilangan sumber makanan, air bersih, dan sumber daya untuk bertahan hidup (Kompas, 6/6/2021).
Manusia memang telah mengeksploitasi Bumi habis-habisan. Dengan ilmu pengetahuan yang berkembang luar biasa, manusia membangun kekuatan dahsyat yang bisa mengantar kehidupan ke pinggir jurang. Dominasi manusia telah mengubah bentang alam sedemikian rupa dengan konsekuensi pada keberlanjutan Bumi dan segenap penghuninya.
Sebenarnya, di sisi lain, manusia juga bukannya tak berkesadaran. Dengan pengetahuan yang sama, manusia paham dampak buruk yang sudah mereka buat. Bahkan, Rachel Carlson dalam bukunya, Silent Spring (1962), sudah berupaya membangunkan kesadaran untuk menyelamatkan lingkungan. Ia memaparkan, penggunaan pestisida yang berlebihan telah merusak tanah, air, udara, dan kehidupan di dalamnya. Manusia perlu ingat, ia hanya bagian kecil dari kehidupan di Bumi agar kemajuan tidak berujung bencana.
Sejumlah konferensi internasional tentang lingkungan dan kehidupan juga telah diselenggarakan. Konferensi Lingkungan Hidup Manusia, misalnya, diselenggarakan di Stockholm, Swedia, tahun 1982. Konferensi Tingkat Tinggi yang dikenal sebagai KTT Bumi berlangsung di Rio de Janeiro, Brasil, tahun 1992. Agenda-21 sebagai cetak biru pembangunan berwawasan lingkungan juga telah dihasilkan. Bahkan para kepala negara pun telah memberikan komitmen politiknya.
Namun, situasi lingkungan hidup manusia di Planet Bumi masih memburuk. Hari-hari ini, di awal Juni yang seharusnya sudah memasuki kemarau di Indonesia, hujan petir bahkan masih berlangsung setiap hari. Paulus Agus Winarno, pakar meteorologi dan geofisika, menyimpulkan bahwa naiknya suhu Bumi—gara-gara emisi industri di atmosfer telah memerangkap panas—menjadi pemicu pembentukan awan kumulonimbus yang menghasilkan hujan badai.
Dengan ilmu pengetahuan yang berkembang luar biasa, manusia membangun kekuatan dahsyat yang bisa mengantar kehidupan ke pinggir jurang.
Perubahan iklim menjadi ancaman paling mengkhawatirkan saat ini. Tidak hanya berdampak bencana, tetapi juga mengancam cadangan pangan dunia.
Direktur Eksekutif Program Lingkungan Hidup PBB (UNEP) Inger Andersen dan Direktur Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Qu Dongyu mengingatkan, kerusakan lingkungan telah berdampak pada 3,2 miliar penduduk atau 40 persen populasi dunia. Setiap tahun dunia kehilangan manfaat ekosistem senilai lebih dari 10 persen ekonomi global.
Seperti seruan Guterres, dunia memang harus bertindak segera, terutama dalam hal komitmen politik dan pendanaan, agar peningkatan skala restorasi ekosistem bisa signifikan.