Maraknya pemasangan reklame luar ruangan membuat ruang publik menjadi ruang patembayatan sosial tidak ramah lingkungan dan nir-ramah visual bagi warganya. Tak hanya menimbulkan sampah visual, tetapi juga bencana visual.
Oleh
SUMBO TINARBUKO
·5 menit baca
Baliho Besar Ambruk di Sleman, Izin Pemasangan Harus Dievaluasi. Seperti itulah judul liputan Kompas(12/1/22) yang mewartakan robohnya sebuah billboard di kawasan perempatan Condongcatur, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tumbangnya papan reklame raksasa itu ditengarai akibat hujan deras yang berkolaborasi dengan tiupan angin super kencang. Akibatnya, kaki serta lengan papan reklame luar ruang itu patah dan dipaksa untuk mencium bumi milik Ibu Pertiwi.
Peristiwa seperti itu layak diberi tetenger sebagai bencana visual. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebut bencana sebagai sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian, atau penderitaan; kecelakaan; bahaya.
Realitas sosial bencana visual di ruang publik mencatat keberadaan papan reklame luar ruang terlihat rapuh dan kumuh. Konstruksinya tidak kuat menahan terpaan angin kencang yang meradang pada musim penghujan.
Robohnya billboard yang berujung bencana visual senantiasa menimbulkan kerugian finansial. Selain itu juga menelan korban jiwa, ada yang terluka, bahkan meninggal.
Tempat kejadian bencana visual tidak hanya di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Bencana visual akibat robohnya billboard juga menimpa daerah lain di Indonesia. Bencana visual senang memilih kota besar. Bencana visual menyerbu kotamadya, kabupaten, atau daerah di bawah pimpinan gubernur yang rela menyerahkan ruang publiknya untuk dikuasai pesan komersial milik merek barang atau jasa dan propaganda politik oleh partai politik.
Paparan di atas merupakan sekelumit cerita yang selalu berulang pada musim hujan. Narasi tersebut menyimpan jejak digital sebuah bencana visual yang diakibatkan ketamakan pesan komersial dan propaganda politik yang direkatkan di papan reklame luar ruang. Keberadaannya senantiasa menebarkan teror visual di ruang publik.
Robohnya billboard, ambruknya baliho, robeknya spanduk dan rontek yang menjadi penanda visual ekonomi bergerak, senantiasa mengkambinghitamkan musim hujan serta embusan angin kencang.
Mitos modern yang dikumandangkan para pihak itu, senantiasa menjadi berita hangat nan krispi yang mampu menyedot perhatian publik. Amplifikasi serta dengungannya semakin membahana manakala direkonstruksi menjadi konten media sosial.
Warganet pemburu rente like, comment, dan share secara bersamaan membombardir linimasa akun medsos milik mereka. Mereka sangat ambisius menjadi orang pertama yang mengabarkan ambyarnya papan reklame luar ruang (berujud billboard, baliho, spanduk dan rontek), akibat angin kencang yang mempergelarkan tariannya di ruang publik.
Dalam unggahannya di medsos, warganet menjadi saksi kunci yang memberatkan. Lewat jejak digital yang di-posting, mereka bersaksi lewat telepon pintar bahwa keberadaan billboard, baliho, spanduk, dan rontek yang ditancapkan di ruang publik, menjadi kehilangan bentuk dan fungsi komunikasi visual sebagai papan reklame luar ruang.
Tanda zaman
Tanda-tanda zaman akan munculnya bencana visual, sejatinya sudah lama menunjukkan gejala pergerakannya. Hal itu tampak dari penurunan kualitas ruang publik. Daerah Istimewa Yogyakarta dan kota besar lainnya menjadikan ruang publik sebagai ruang bersama untuk menampung sampah visual iklan komersial maupun media propaganda politik bagi partai politik. Hal itu ditambah perilaku ceroboh yang dijalankan pejabat negara pengelola pemerintahan. Etos kerja yang sangat minimalis seperti itu mengakibatkan cedera ergonomi visual dan amburadulnya tata kelola kota.
Sekarang yang mengemuka, ruang publik menjadi ruang patembayatan sosial tidak ramah lingkungan dan nir-ramah visual bagi warganya. Ruang publik menjadi ruang terbuka tidak manusiawi. Dikatakan demikian, karena ruang publik yang terdiri ruang terbuka hijau, taman kota, dan trotoar untuk pejalan kaki, secara sepihak diberi stempel merek dagang produk barang dan jasa. Sementara penggal jalan lainnya, dikuasai partai politik lewat iklan dan propaganda politik yang ditancapkan di ruang publik.
Sekarang yang mengemuka, ruang publik menjadi ruang patembayatan sosial tidak ramah lingkungan dan nir-ramah visual bagi warganya. Ruang publik menjadi ruang terbuka tidak manusiawi.
Jejak peradaban visual mencatat datangnya bencana visual ini dipicu pemikiran pragmatis pemilik merek produk barang, biro iklan, dan tukang pasang papan reklame luar ruang. Mereka secara agresif berburu tempat strategis untuk menancapkan karya komunikasi visual agar target marketing komunikasinya terpenuhi. Sementara itu, anggota dewan serta pemerintah lewat dinas terkait yang bertugas untuk mengurusi masalah perizinan dan pajak reklame juga memiliki andil atas bencana visual ini.
Mereka berpikir pendek untuk mengejar target pendapatan asli daerah yang berasal dari uang perizinan serta pajak reklame. Pola pikir cupet seperti itu secara sengaja menisbikan pola harmonisasi yang harus dijalankan parapihak terkait penetrasi visual papan reklame luar ruang di ruang publik.
Celakanya, masyarakat pun menganggap wajar atas bencana visual akibat penempatan papan reklame luar ruang tidak selaras peruntukannya. Padahal realias sosialnya, keberadaan sampah visual papan reklame luar ruang di ruang publik sudah berganti wajah menjadi teroris visual di lingkungan masyarakat.
Bangun kesadaran
Untuk mengantisipasi datangnya bencana visual, sudah saatnya unsur pentahelix membangun kesadaran bersama guna mengatur penempatan papan reklame luar ruang sesuai peruntukannya. Pemeritah, industri kreatif, media massa cetak, elektronik dan digital, komunitas kreatif, serta kampus, wajib menjalankan kerja kolaborasi secara bertanggung jawab. Pola kerja semacam itu seyogianya segera diwujudkan. Harapannya tercipta ekologi visual dan estetika kota yang bebas dari cengkeraman teroris visual papan reklame luar ruang.
Ketika hal itu dapat diejawantahkan lewat kolaborasi unsur pentahelix yang berkaitan dengan ruang publik. Pada titik ini, penempatan dan pemasangan papan reklame luar ruang tidak mendatangkan bencana visual. Selain itu, secara psikologis, masyarakat tidak diteror oleh target sepihak capaian pendapatan asli daerah.
Terpenting, dalam sudut pandang budaya visual dan komunikasi publik, papan reklame luar ruang dapat didekonstruksi secara visual sebagai untaian dekorasi kota yang artistik. Warga mendapatkan hak sosialnya atas kemerdekaan visual yang dihadirkan oleh pemerintah serta pengusaha barang dan jasa.
Ujungnya, akan tercipta penempatan papan reklame luar ruang yang ramah lingkungan. Akan terwujud pula ruang publik yang berkeadilan sosial. Muaranya, akan lahir kota bersahabat yang ramah bagi warga dan wisatawan yang berkenan mengunjungi kota tersebut. Sepakat?
Sumbo Tinarbuko, Pemerhati Budaya Visual, Komunikasi Publik dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta; linktr.ee/sumbotinarbuko/Instagram/Facebook/Twitter/Youtube/Linkedin/: @sumbotinarbuko