Tantangan yang dihadapi industri jasa keuangan pada 2022 sama dengan tantangan yang dihadapi dalam pemulihan ekonomi, yakni ancaman penyebaran Omicron, kendati Omicron diyakini tak seganas Delta.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Otoritas Jasa Keuangan memproyeksikan akselerasi pertumbuhan sektor jasa keuangan pada 2022, sejalan dengan target pertumbuhan ekonomi nasional 5,2 persen.
Pertumbuhan penyaluran kredit ditargetkan meningkat dari 5,2 persen pada 2021 menjadi sekitar 7,5 persen plus minus 1 persen pada tahun 2022. Pertumbuhan diprediksi juga terjadi di industri keuangan nonbank, seperti perusahaan pembiayaan, asuransi jiwa, asuransi umum, dan dana pensiun (Kompas, 21/1/2022).
Optimisme Otoritas Jasa Keuangan (OJK) didasarkan pada berbagai capaian positif indikator industri jasa keuangan pada 2021, seperti rasio kredit bermasalah (NPL) yang membaik dan rasio kecukupan modal (CAR) perbankan yang meningkat signifikan. Juga rasio solvabilitas (RBC) industri asuransi jiwa dan asuransi umum yang sangat positif. Selain itu, kinerja sektor inovasi keuangan digital, seperti industri teknologi finansial pinjaman antarpihak (peer to peer lending) dan securities crowdfunding, juga impresif.
Intermediasi perbankan sebagai salah satu mesin penggerak ekonomi nasional sempat mati suri dan mengalami kontraksi selama pandemi Covid-19. Pemicunya terutama tingginya risiko gagal bayar kredit yang meningkat akibat meningkatnya ketidakpastian ekonomi dan menurunnya permintaan kredit oleh konsumen dan pelaku usaha, sebab menurunnya permintaan akan barang dan jasa akibat kebijakan pembatasan mobilitas manusia.
Bauran kebijakan ekonomi makro yang bersifat akomodatif dan kontrasiklikal banyak membantu memulihkan fungsi intermediasi perbankan sejak paruh kedua 2021.
Secara umum, tantangan yang dihadapi industri jasa keuangan pada 2022 juga sama dengan tantangan yang dihadapi dalam pemulihan ekonomi, yakni ancaman penyebaran Omicron, kendati Omicron diyakini tak seganas Delta. Lonjakan kasus Omicron bisa memicu kebijakan baru pembatasan mobilitas manusia dan turunnya permintaan masyarakat.
Selain itu, juga dampak kebijakan tapering dalam bentuk kenaikan suku bunga oleh bank sentral AS, yang diprediksi bisa terjadi empat kali dalam tahun ini. Mau tak mau, negara berkembang, termasuk Indonesia, harus menyesuaikan, dan ini bisa memicu kenaikan suku bunga di dalam negeri di saat kita justru tengah memacu pemulihan ekonomi nasional.
Percepatan normalisasi kebijakan stimulus terkait Covid-19 di negara maju juga bisa mengancam stabilitas sistem dan jasa keuangan domestik dan tekanan terhadap nilai tukar, terutama jika itu memicu pelarian modal ke luar negeri. Namun, seperti diungkapkan Presiden Joko Widodo, penyebaran kasus Covid-19 yang semakin terkendali pada paruh kedua 2021 menjadi modal untuk mendorong percepatan pemulihan pada 2022.
Dengan percepatan vaksinasi, plus dimulainya program vaksin penguat dan penerapan protokol kesehatan yang ketat, penyebaran Omicron tak seburuk Delta, bisa dikendalikan. Pengaruh ekonominya juga lebih terbatas sehingga pemulihan ekonomi bisa berlanjut. Kolaborasi pemangku kepentingan dibutuhkan, termasuk kesiapan dan dukungan, jika dinamika pengendalian penyebaran Omicron menuntut dilakukan perubahan kebijakan dari waktu ke waktu.