Komunikasi yang rutin dari Bank Sentral AS soal rencana ”tapering” membuat pasar lebih siap dalam mengantisipasi hal itu sehingga mengurangi potensi gejolak.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·4 menit baca
Kompas/Totok Wijayanto
Petugas mendata dan memasukkan uang kertas yang baru tiba di cash center Bank Mandiri, Jakarta, Rabu (22/9/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Dalam beberapa waktu ke depan, Bank Sentral Amerika Serikat berencana melakukan tapering atau pengurangan pembelian obligasi dari pasar yang berarti dimulainya rezim pengetatan moneter di AS. Namun, langkah tersebut diperkirakan tidak akan menimbulkan kepanikan pasar seperti terjadi pada 2013 yang dikenal dengan taper tantrum. Komunikasi yang rutin dari Bank Sentral AS soal rencana tapering membuat pasar lebih siap dalam mengantisipasi hal itu sehingga mengurangi potensi gejolak.
Tapering merupakan salah satu bentuk pengetatan kembali kebijakan moneter oleh Bank Sentral AS atau Federal Reserves (The Fed) selain kenaikan suku bunga dan pengurangan uang beredar.
Wealth Management Head Bank OCBC NISP Juky Mariska menjelaskan, hasil risalah pertemuan The Fed mengindikasikan adanya usulan dari sebagian pejabat Fed untuk memulai tapering atau pengurangan pembelian aset obligasi di akhir tahun 2021. Pidato Gubernur The Fed Jerome Powell pada simposium Jackson Hole di akhir bulan Agustus turut mengonfirmasi hal tersebut.
Kendati demikian, suku bunga Fed masih akan tetap dipertahankan di level saat ini walaupun terdapat lonjakan inflasi karena. Fed juga meyakini bahwa pemulihan sektor tenaga kerja telah berlangsung cukup baik, tetapi belum kembali ke level pra-pandemi. Akibatnya, pelaku pasar menilai bahwa pengetatan kebijakan atau tapering tidak akan terjadi secara agresif yang dapat mengakibatkan tantrum atau kepanikan pada pasar.
”Fed taper but no tantrum,” ujar Mariska dalam keterangannya yang diterima Kompas, Senin (27/9/2021) sore.
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Bank Indonesia
Head of Investment Strategy Bank of Singapore Eli Lee punya pendapat senada. ”Meski The Fed memutuskan untuk tapering, pasar diperkirakan akan tetap tenang,” ujarnya.
Untuk mengurangi risiko terjadinya taper tantrum, pihaknya memperkirakan The Fed akan menunggu sampai akhir November sebelum mengumumkan bahwa mereka akan mulai mengurangi laju pembelian obligasi. Ini dimulai dengan pemangkasan 15 miliar dollar AS pada Desember dari total pembelian yang mencapai 120 miliar dollar AS per bulan.
Waktu yang bertahap untuk mengurangi pelonggaran likuiditas melalui pengurangan pembelian obligasi ini akan menguntungkan aset berisiko karena berarti The Fed masih akan mencetak uang hingga akhir 2022.
”Kami memperkirakan imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun akan tetap pada tingkat yang sangat rendah di bawah 2 persen selama 12 bulan ke depan jika Fed hanya mengurangi pelonggaran kuantitatifnya secara perlahan. Imbal hasil yang rendah akan terus mendukung aset berisiko,” katanya.
Hal senada dikemukakan Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede. Komunikasi yang rutin dan jelas dari The Fed membuat pasar menjadi lebih siap dan antisipatif terhadap kebijakan itu. ”Akan ada taper dari kebijakan pengetatan moneter oleh The Fed, tetapi tanpa tantrum,” ujarnya.
Penyangga risiko
Tim ekonom dari DBS Group Research menjelaskan, Bank Indonesia (BI) punya sejumlah bantalan untuk mengurangi dampak apabila terjadi taper tantrum. Dibandingkan 2013, kondisi indikator penyangga risiko dalam kondisi lebih baik saat ini.
Cadangan devisa Indonesia pada 31 Agustus 2021 mencapai 144,78 miliar dollar AS. Ini sudah termasuk tambahan alokasi Special Drawing Rights (SDR) senilai 4,46 miliar SDR yang setara 6,31 miliar dollar AS dari Dana Moneter Internasional (IMF).
DIDIE SW
Ilustrasi Kebijakan Moneter AS
Posisi cadangan devisa Agustus tersebut setara dengan pembiayaan 9,1 bulan impor atau 8,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Saat terjadi taper tantrum pada 2013, cadangan devisa Indonesia berada pada posisi 100 miliar dollar AS. Saat itu cadangan devisa itu hanya mencukupi pembiayaan 7-7,5 bulan impor.
Selain cadangan devisa yang lebih kuat, penyangga risiko lainnya adalah semakin menurunnya ketergantungan dana asing di pasar obligasi. Pangsa investor asing dalam kepemilikan obligasi yang beredar telah turun dari 36 persen-38 persen pada 2013 menjadi di bawah 22 persen pada 2021.
Pada saat sama, kepemilikan obligasi investor domestik telah meningkat menjadi lebih dari 50 persen, sebagian besar dimiliki BI dan bank komersial sehingga memberikan stabilitas pada aktivitas perdagangan.
”Ini menurunkan kerentanan pasar utang domestik terhadap risiko arus keluar dana asing.”
Pada pekan lalu saat paparan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI), Gubernur BI Perry Warjiyo meminta pasar untuk tidak terlalu mengkhawatirkan soal kemungkinan terjadinya tapertantrum seperti yang terjadi pada 2013. Selain menyebutkan cadangan devisa Indonesia dalam posisi kuat untuk menjaga kestabilan nilai tukar, BI juga menyebutkan komunikasi yang baik dari The Fed akan rencananya melakukan tapering membuat pelaku pasar di seluruh dunia, termasuk Indonesia, menjadi lebih siap mengantisipasinya.