Singapura Tumbuh 7,2 Persen, Indonesia Harus Bisa
Indonesia yang modern, maju, dan menyejahterakan rakyatnya pun tak mungkin dilakukan dalam sekejap. Bahkan Indonesia yang adil dan makmur itu merupakan “never ending business”.
The pessimist sees the difficulty in every opportunity. The optimist sees the opportunity in every difficulty
Winston Churchill
Sudah hampir dua tahun dunia dihadapkan pada ketidakpastian karena pandemi Covid-19. Hara -pan bagi upaya pemulih -an kini terganggu lagi oleh munculnya varian Omicron.
Varian yang pertama kali muncul di Afrika Selatan kini menyebar ke seluruh dunia dengan tingkat penularan yang sangat cepat. AS bahkan sudah menembus angka satu juta warga yang terinfeksi varian baru ini.
Belajar dari pengalaman varian Delta, wajar apabila semua negara khawatir. Langkah berjaga-jaga pun segera diambil dengan kembali melakukan pembatasan keluar-masuk orang dari luar negeri. Tak terkecuali Indonesia yang mengharuskan semua orang yang datang dari luar negeri menjalani karantina. Bahkan terhadap negara yang kasusnya tinggi, untuk sementara dilakukan pelarangan masuk ke wilayah Indonesia.
Presiden Joko Widodo meminta untuk tak memberikan dispensasi kepada siapa pun yang baru kembali dari luar negeri. Semua harus menjalani karantina—tak boleh berinteraksi dengan orang lain selama 7-10 hari sejak kedatangan—sampai dipastikan hasil tes PCR di hari terakhir hasiılnya negatif.
Semua orang memang harus mematuhi perintah itu, karena keselamatan seluruh warga tanggung jawab kita bersama. Satu orang saja tak disiplin dan kemudian menjadi carrier, maka seluruh warga akan merasakan akibatnya. Satu yang membuat kita sedikit lebih lega, Omicron ternyata lebih rendah tingkat kematiannya. Meski lebih cepat penularannya, infeksi yang diakibatkan tak sampai merusak paru-paru halnya Delta. Akibatnya, tak diperlukan ventilator kepada mereka yang terinfeksi Omicron.
Selain itu, jumlah orang yang terinfeksi tak banyak yang membutuhkan perawatan di rumah sakit. Laporan The New York Times menyebutkan, jumlah orang yang perlu dirawat di rumah sakit hanya sepertiga dibandingkan mereka yang terinfeksi varian Delta.
Semua orang memang harus mematuhi perintah itu, karena keselamatan seluruh warga tanggung jawab kita bersama.
Dengan fakta seperti itu, Pemerintah Singapura, misalnya, lebih percaya diri dalam menghadapi varian Omicron. Meski jumlah orang yang terinfeksi sudah di atas 2.000 orang, tetapi jumlah tempat tidur yang terpakai hanya sekitar 7 persen. Oleh karena itu, mereka yang terinfeksi diperkenankan untuk menjalani perawatan mandiri di rumah, sepanjang tidak ada gejala yang berat.
Kunci utama dalam menghadapi Omicron adalah vaksinasi. Setiap orang wajib menjalani vaksinasi agar memiliki kekebalan tubuh yang lebih ketika terinfeksi varian Omicron. Hal kedua yang wajib dilakukan adalah menggunakan masker ketika berada di luar rumah. Kampanye “Masker dan Vaksin” seperti yang dilakukan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 merupakan langkah tepat untuk selalu mengingatkan masyarakat tentang perlunya melakukan perlindungan diri terhadap Omicron.
Hidup bersama Omicron
Dengan lebih memahami karakter dari virus varian Omicron, maka setiap negara harus berupaya hidup bersama Omicron. Sebab, tak mungkin kita terus dibayang-bayangi ketakutan, apalagi sampai memilih menutup diri. Pada akhirnya hidup ini harus terus berlanjut dan semua orang harus mampu beradaptasi dengan kondisi pandemi ini.
Langkah pembatasan yang dilakukan sekarang ini harus dijadikan momentum untuk menciptakan prosedur standar yang baru. Prosedur standar harus disesuaikan dengan kondisi setiap negara, terutama melihat ketahanan nasional yang dimiliki serta fasilitas sistem kesehatan yang ada. Semua kebijakan harus dijalankan secara dinamis di mana keseimbangan antara faktor kesehatan dan ekonomi harus jadi pertimbangan.
Baca juga : Bangkit dengan Berhati-hati
Mantan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill pernah mengingatkan perbedaan antara orang yang pesimistis dengan orang yang optimistis. Orang pesimistis selalu melihat peluang sebagai sebuah kesulitan. Sebaliknya orang yang optimistis selalu melihat setiap kesulitan sebagai peluang.
Singapura salah satu contoh negara yang tak pernah mau terbenam dalam persoalan. Pandemi Covid-19 tentu memukul juga Negara Singa ini. Mereka harus menggunakan tabungan nasional milik generasi mendatang, demi menyelamatkan kehidupan negara sekarang ini.
Lebih dari 100 miliar dollar Singapura terpakai untuk memberikan stimulus ekonomi. Dengan berbagai cara Singapura mencoba mencari jalan keluar dari kesulitan. Pemerintah memberikan bantuan keuangan ke setiap warganya. Bahkan pemerintah turun tangan membayari gaji pegawai agar tak terjadi pemutusan hubungan kerja.
Hasil kerja keras yang dilakukan hampir dua tahun ini tidaklah sia-sia. Pertumbuhan ekonomi Singapura 2021 lebih tinggi dari perkiraan. Meski angka resminya belum keluar, angkanya diperkirakan mencapai 7,2 persen. Ini tertinggi dalam 10 tahun terakhir.
Angka pertumbuhan tinggi bukan hanya disebabkan oleh pertumbuhan yang sangat tinggi pada kuartal II, tetapi sepanjang tahun lalu pertumbuhan ekonomi Singapura bergerak positif. Bahkan pada kuartal IV saat varian Omicron mulai muncul, ekonomi Singapura masih bisa tumbuh sebesar 5,9 persen.
Dilihat dari sektor, hampir semua sektor tumbuh signifikan. Terutama konstruksi yang tumbuh paling pesat. Sektor properti bahkan mengalami booming di mana harga meningkat sangat tajam. Pemerintah bahkan berani menaikkan pajak penjualan properti, karena permintaan yang begitu tinggi.
Waspada tanpa takut
Dengan modal ekonomi dan modal sosial yang jauh lebih luar biasa, Indonesia seharusnya tak kalah dari Singapura. Indonesia bukan hanya memiliki sumber daya alam (SDA) jauh lebih melimpah, tetapi juga pasar dalam negeri yang sangat besar. Ketika membuka perdagangan perdana Bursa Efek Indonesia 2022, Presiden Jokowi menyampaikan, indeks kepercayaan konsumen maupun investasi sudah lebih tinggi dari sebelum pandemi.
Sekarang yang dibutuhkan tinggal kepercayaan diri dan keberanian untuk melakukan eksekusi. Tentu pengalaman buruk pada Juli dan Agustus ketika varian Delta masuk ke Indonesia membuat kita trauma. Tetapi jangan sampai itu melahirkan ketakutan berlebihan.
Kita perlu segera memperbaiki kelemahan sistem yang masih ada.
Dari pengalaman buruk tahun lalu, bangsa Indonesia harus belajar. Kita perlu segera memperbaiki kelemahan sistem yang masih ada. Pengalaman itu harus melahirkan kewaspadaan diri, bukan ketakutan. Jangan lupa bangsa Indonesia punya cita-cita tinggi yakni pada peringatan 100 Tahun Kemerdekaan Indonesia 2045, kita mampu meraih Indonesia Emas.
Presiden Jokowi menggambarkan Indonesia Emas itu sebagai Indonesia yang tak lagi berada dalam perangkap negara berpendapatan menengah. Produk Domestik Bruto Indonesia saat itu mencapai 7 triliun dollar AS dan pendapatan per kapita rakyat Indonesia sebesar 25.000 dollar AS.
Target itu sebenarnya bukan sesuatu yang terlalu muluk. Kalau Indonesia bisa tumbuh rata-rata enam persen per tahun, target itu akan bisa diraih. Persoalannya kemudian lebih terletak pada prasyarat yang harus bisa dipenuhi.
Pertama, dibutuhkan rasa percaya diri dari seluruh masyarakat. Kita harus segera bangkit dari pandemi Covid-19. Setelah itu kita harus meninggalkan sikap saling menyalahkan dan selalu mengeluh. Bangsa Indonesia harus keluar dari perangkap “blaming and complaining society” seperti sekarang ini. Bahwa banyak hal yang masih harus dibenahi dan dikritik, tentunya silakan dilakukan.
Baca juga : Kasus Omicron Meningkat, Presiden Putuskan Vaksinasi ”Booster” Dimulai 12 Januari
Di era demokrasi, kebebasan berekspresi itu dibenarkan. Namun jangan membuat seakan-akan bangsa ini tak memiliki kemampuan dan tak ada hal positif yang dimiliki. Kalau semuanya dianggap salah dan tak ada benarnya, maka kita akan jadi bangsa yang tak pernah memiliki kepercayaan diri. Tanpa ada kepercayaan diri, kita tak pernah akan jadi bangsa yang besar. Hanya dengan kepercayaan diri, bangsa Indonesia akan bisa lebih kreatif dan mampu membangun perekonomian yang punya nilai tambah tinggi. Singapura yang tak memiliki SDA, bisa melesat tinggi karena mampu menghasilkan produk bernilai tambah tinggi.
Kedua, kelemahan yang dimiliki selama 76 tahun merdeka adalah belum mampunya kita membangun institusi yang kuat. Kita harus terus memperkuat proses institusionalisasi agar institusi yang ada semakin profesional dan sesuai dengan kaidah tata kelola pemerintahan, governance, yang berlaku di seluruh dunia. Dalam proses pembangunan institusi ini dibutuhkan kesabaran.
Jangan setiap kali hanya diteriaki, dipersalahkan, apalagi sebentar-sebentar ada keinginan merombak, menghapuskan, dan bahkan mengganti dengan yang baru. Konsistensi dalam proses pembangunan dibutuhkan, karena pada akhirnya sistem membutuhkan orang dan orang membutuhkan sistem demi tercapainya masa depan lebih baik.
Roma tidak dibangun dalam satu malam. Indonesia yang modern, maju, dan menyejahterakan rakyatnya pun tak mungkin dilakukan dalam sekejap. Bahkan Indonesia yang adil dan makmur itu merupakan “never ending business”. Yang terpenting jangan pernah bangsa ini kehilangan harapan dan jangan pernah berhenti mencintai Indonesia.
Suryopratomo Duta Besar Indonesia untuk Singapura