Presidensi Indonesia pada G-20 merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk berkontribusi lebih besar di panggung global. Ini harus dimulai dari dalam negeri agar presidensi Indonesia tak sebatas seremonial belaka.
Oleh
DARWIN DARMAWAN
·5 menit baca
Presidensi G-20 Indonesia mengusung tema “Recover Together, Recover stronger”. Presiden Jokowi mengatakan, presidensi tersebut adalah kesempatan bagi Indonesia untuk berkontribusi lebih besar dalam membangun tiga hal penting: tata kelola kesehatan yang inklusif, tata kelola pemerintahan yang lebih adil, dan berkelanjutan (Kompas, 1/12/2021). Presiden Jokowi berharap, KTT G-20 yang akan berlangsung di Bali (2022) tidak menjadi seremoni, tetapi menghasilkan kerja sama konkret sehingga masyarakat dunia merasakan dampak positif G-20.
Tiga fokus yang akan dikerjakan pemerintahan Indonesia sebagai presidensi G-20 relevan untuk dunia pasca-pandemi. Covid-19 yang telah mengguncang dunia, menyingkapkan tiga ekses negatif modernitas (Rutazibwa,2020). Pertama, modernitas ternyata tidak mampu menghadapi pandemi Covid-19. Fasilitas dan sistem kesehatan negara-negara maju seperti Italia, Amerika, Inggris tidak baik dalam merespon Covid-19.
Kedua, modernitas gagal membawa keadilan dan kesejahteraan bagi mayoritas manusia. Data Forbes tentang kekayaan yang dimiliki masyarakat tahun 2021 menyebutkan bahwa 10 persen penduduk teratas yang merupakan orang kaya di dunia, saat ini menguasai 52 persen pendapatan global. Sementara 50 persen kelompok terbawah yang merupakan orang miskin hanya menguasai 8,5 persen saja dari pendapatan global.
Ketiga, semangat membangun dalam modernitas merusak ekologi. Ekosistem yang rusak membuat kontak hewan liar dengan manusia menjadi lebih dekat. Kontak ini ditenggarai menjadi sumber lompatan virus Corona dari hewan yang terinfeksi ke manusia (Vidal, 2020).
Paradoks kekuasaan
Bagaimana agar presidensi Indonesia pada G-20 tidak sebatas seremonial belaka? Karena terkait dengan kekuasaan, pemerintah yang tergabung dalam G-20 perlu menyadari kecenderungan buruk kekuasaan.
Kekuasaan membuat orang yang memilikinya dikuasai impuls melayani diri sendiri (Keltner, 2016). Akibatnya, penguasa cenderung defisit empati. Dalam karya Shakespear, Macbeath, ada kisah tentang seorang pria yang ketika berkuasa kehilangan empati. Ia tidak mampu merasakan kesedihan ketika isterinya meninggal. Setelah berkuasa puluhan tahun, raja ini tidak ingin mendengar apa pun, kecuali pujian. Ia bahkan membuang putrinya Cordelia, yang menyatakan kebenaran kepadanya (Zakaria, 2020).
Pandemi Covid-19 membuka selubung kekuasaan yang cenderung miskin empati.
Pandemi Covid-19 membuka selubung kekuasaan yang cenderung miskin empati. Achille Mbembe, ilmuwan politik asal Kamerun, memakai istilah necropolitics untuk menjelaskan kekuasaan yang demikian. Menurutnya, necropolitics adalah kuasa untuk menentukan siapa yang dianggap penting dan tidak, siapa yang perlu diprioritaskan dan tidak dalam kehidupan bersama.
Di Amerika, dua kali dalam setahun, yaitu di tahun 2008 dan 2020, pemerintah Federal mengeluarkan triliunan dollar AS untuk menyelamatkan perusahaan besar dan aset orang kaya. Sayangnya, kebijakan untuk membelanjakan miliaran dollar untuk pendidikan dan perumahaan banyak dikritisi karena dianggap memiliki ekses negatif untuk penerima bantuan.
Hal serupa terjadi di Indonesia. Kasus korupsi BLBI pada 2004 dan kewajiban obligor BLBI yang belum melunasi utangnya kepada negara, menunjukkan keberpihakan penguasa terhadap mereka yang kaya.
Populisme
Karena elite penguasa cenderung berpihak pada elite ekonomi yang kaya raya, institusi formal demokrasi tidak menjalankan fungsinya untuk kesejahteraan rakyat. Akibatnya, populisme menjadi fenomena yang muncul di banyak negara (Collin Crouch, 2019).
Ciri dari populisme adalah gerakan rakyat yang bersikap antipati terhadap elite penguasa. Gerakan ini dipimpin tokoh-tokoh populis seperti Jair Bolsonaro dari Brasil, Narendra Modi dari India, Recep Tayyip Erdogan dari Turki, Ridrigo Duterte dan Filipina. Populisme dibangun atas dasar chauvinisme kultural dan nasionalisme religius. Gerakan ini mengambil sikap vis a vis terhadap imigran, kelompok minoritas atau elite penguasa.
Populisme mengangap masalah utama kehidupan terletak pada kekuasaan yang berlaku “sosialis” kepada elite yang kaya dan “kapitalis” kepada rakyat miskin yang mayoritas.
Pandemi Covid-19 ini bisa mempertajam perbedaan kelompok elite ekonomi yang kaya dan sebagian besar masyarakat yang miskin. Kebijakan penguncian wilayah (lockdown) yang diberlakukan di negara berkembang bukan persoalan serius bagi mereka yang bisa bekerja dari rumah. Tetapi, lockdown adalah masalah besar bagi mereka yang bekerja di sektor informal. Pasca pandemi, populisme kemungkinan semakin menguat di banyak negara dunia jika penguasa menganggap necropolitics adalah hal biasa.
Pasca pandemi, populisme kemungkinan semakin menguat di banyak negara dunia jika penguasa menganggap necropolitics adalah hal biasa.
Walau bisa mengoreksi penyimpangan dalam demokrasi, populisme bukan jawaban sebab ia riskan dimanipulasi pemimpinnya demi meraih kekuasaan. Dia juga berbahaya karena menaruh hukum dan institusi demokrasi di bawah jargon kepentingan rakyat. Kebencian terhadap pihak asing atau minoritas juga berbahaya karena mereka yang minoritas saat ini bisa saja berkuasa di masa depan (Kaltwasser,2012).
"Recover together, recover stronger"
Saat awal pandemi, negara-negara di Uni Eropa masing-masing menutup diri dan saling bersaing mendapatkan peralatan medis untuk warga negaranya. Tetapi ketika Italia terguncang hebat, Uni Eropa bersepakat untuk menerbitkan obligasi agar anggotanya dapat mengakses dana untuk mengatasi pandemi Covid-19 (Zakaria, 2020). Akhirnya, Italia dan negara-negara Eropa secara perlahan dapat mengatasi pandemi. Ketika bersama- sama melakukan recovery, mereka menjadi lebih kuat lagi.
Contoh di atas menunjukkan, solusi untuk buruknya kualitas kesehatan dan ketidakadilan ekonomi adalah dengan bergandengan tangan mengatasi ancaman. Hal yang sama berlaku untuk mewujudkan tujuan pembangunan yang berkelanjutan. Kerusakan lingkungan hidup dan pemanasan global tidak bisa diatasi sendirian.
Sila ke-4 Pancasila menekankan pentingnya deliberasi (musyawarah) untuk mencapai konsensus. Sila ini menegaskan bahwa dalam hidup bersama tidak ada satu pun kelompok yang boleh ditinggalkan sekaligus tidak ada kelompok yang dianak-emaskan.
Pemerintah Jokowi perlu mendorong dan memberi teladan kepada masyarakat dalam menghidupi nilai dalam sila ke-4. Jika hal itu terjadi, negara-negara anggota G-20 akan terinspirasi oleh presidensi Indonesia sebab berhasil membuktikan bahwa “recover together, recover stronger” bukan tema presidensi yang kosong.
Darwin Darmawan, Rohaniawan di Gereja Kristen Indonesia, Sedang Studi Doktoral di Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia