Pandemi memperparah ketidaksetaraan atau ketimpangan ekonomi dan kesejahteraan di dunia. Di Indonesia pun distribusi kekayaan belum terlalu merata. Siapa yang diuntungkan?
Oleh
Gianie
·5 menit baca
Dunia semakin tidak setara dalam aspek ekonomi dan kesejahteraan. Ketidaksetaraan itu dipengaruhi oleh pilihan kebijakan banyak pemerintahan yang cenderung melakukan deregulasi dan liberalisasi. Pandemi memperparah ketidaksetaraan atau ketimpangan tersebut karena kemampuan dan kecepatan pemulihan ekonomi antarnegara berbeda.
Laporan World Inequality Report 2022 (WIR) yang dilansir oleh World Inequality Lab pada 7 Desember 2021 menyebutkan, pada 2021 sebanyak 62,2 juta penduduk dunia atau kurang dari 1 persen populasi dunia memiliki kekayaan minimal 1 juta dollar Amerika Serikat. Rata-rata kekayaan mereka adalah 2,8 juta dollar AS per orang.
Total kekayaan miliuner dan triliuner ini mencapai 174 triliun dollar AS. Nilai tersebut setara dengan 7,5 kali produk domestik bruto (GDP) negara Amerika Serikat tahun 2021 atau 158 kali GDP Indonesia tahun yang sama.
Yang menarik, laporan tersebut juga menyebutkan terdapat sembilan orang yang masing-masing memiliki kekayaan rata-rata146,78 miliar dollar AS. Suatu kekayaan individu yang setara dengan GDP negara berkembang seperti Qatar, Kuwait, atau Algeria.
Merujuk pada data Forbes tentang orang-orang terkaya di dunia tahun 2021, beberapa orang yang kekayaannya di atas 146,78 miliar dollar AS, antara lain, adalah Jeff Bezos dengan kekayaan sekitar 177 milliar dollar AS dan Elon Musk dengan 151 miliar dollar AS.
Keduanya dari Amerika Serikat. Yang satu bergerak di bidang teknologi, yang satunya lagi di bidang otomotif. Di samping itu, juga ada Bernard Arnold bersama keluarganya dari Perancis yang memiliki kekayaan sekitar 150 miliar dollar AS. Kekayaan Bernard bersumber dari usaha yang bergerak di bidang mode dan ritel.
Selain itu, laporan tersebut juga menyebutkan 10 persen penduduk teratas yang merupakan orang kaya di dunia saat ini menguasai 52 persen pendapatan global.
Sementara 50 persen kelompok terbawah yang merupakan orang miskin hanya menguasai 8,5 persen saja dari pendapatan global. Rata-rata orang kaya yang masuk dalam 10 persen tersebut menerima pendapatan 122.100 dollar AS per tahun. Sedangkan orang miskin yang jumlahnya 50 persen hanya menerima 3.920 dollar AS per tahun.
Gambaran ketimpangan yang lebih lebar terlihat dari kekayaan. Sebanyak 50 persen penduduk yang merupakan orang miskin bisa dibilang tidak memiliki kekayaan karena hanya menguasai 2 persen dari total kekayaan global.
Adapun 10 persen penduduk yang berada di piramida teratas menguasai 76 persen kekayaan secara global. Rata-rata 50 persen penduduk terbawah hanya memiliki kekayaan 4.100 dollar AS per orang dewasa. Sedangkan penduduk 10 persen teratas memiliki kekayaan rata-rata 771.300 dollar AS.
Kekayaan penduduk kelompok 10 persen ini meningkat cukup signifikan. Dibandingkan dengan 2018 sebelum pandemi, 10 persen kelompok teratas menguasai 70 persen kekayaan secara global, khususnya di negara-negara Eropa, China, dan AS. Sementara kelompok 50 persen terbawah hanya menguasai kurang dari 2 persen kekayaan global.
Diperkirakan, pada 2050, kekayaan kelompok 0,1 persen teratas bahkan akan mengungguli kekayaan 40 persen kelompok kelas menengah.
Ketimpangan kekayaan ini terus berlanjut. Jika demikian, diperkirakan pada tahun 2050, kekayaan kelompok 0,1 persen teratas bahkan akan mengungguli kekayaan 40 persen kelompok kelas menengah.
Tingkat ketidaksetaraan atau ketimpangan pendapatan berbeda setiap negara. Kawasan Eropa sering disebut paling setara, sementara Kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (Middle East and North Africa atau MENA) adalah yang paling tidak setara.
Di Eropa, 10 persen kelompok teratas menguasai 36 persen dari total pendapatan, sementara di MENA menguasai 58 persen dari total pendapatan. Di Asia Timur, 10 persen teratas menguasai 43 persen dari total pendapatan dan di Amerika Latin menguasai 55 persen.
Ketimpangan pendapatan dan kekayaan terus meningkat di sejumlah negara sejak 1980-an seiring dengan diterapkannya kebijakan-kebijakan deregulasi dan liberalisasi di banyak negara.
Peningkatan ketimpangan tidak seragam. Beberapa negara mengalami kenaikan ketimpangan secara spektakuler, termasuk seperti yang dialami AS, Rusia, dan India. Sementara negara-negara lain, seperti di Eropa dan China, kenaikan ketimpangan relatif lebih kecil.
Perbedaan ketimpangan ini bukannya tidak bisa dihindari. Akan tetapi, penyebab makin lebarnya jurang ketimpangan ini sering kali dikaitkan dengan kondisi yang menjurus pada pilihan (political choice), lewat kebijakan-kebijakan yang diambil oleh suatu pemerintahan.
Bisa itu terkait kebijakan perdagangan internasional, misalnya, di mana yang memiliki faktor produksi melimpah yang akan lebih diuntungkan atau kebijakan terkait pengelolaan sumber daya alam, minyak dan gas bumi, serta komoditas pangan.
Wabah korona membuat ketimpangan di dalam suatu negara atau antarnegara semakin melebar. Hal itu dipicu oleh melambatnya perekonomian dan menurunnya permintaan barang dan jasa selama diberlakukannya pembatasan kegiatan masyarakat di banyak negara.
Laporan PBB dan berbagai lembaga keuangan internasional memperingatkan akan terjadinya kesenjangan pemulihan ekonomi antarnegara. Sekitar 90 persen negara maju diproyeksikan dapat mencapai level pendapatan per kapita seperti sebelum pandemi pada 2022. Sementara negara-negara miskin dan berkembang memerlukan waktu jauh lebih lama (Kompas, 10/12/2021).
Di Indonesia, pada 2021 rata-rata pendapatan nasional berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity/PPP) adalah Rp 69 juta. Adapan kelompok 50 persen terbawah mendapat Rp 17,1 juta, sedangkan 10 persen kelompok teratas rata-rata mendapat Rp 331,6 juta atau 19 kali lipat dari kelompok terbawah.
Secara historis, ketimpangan pendapatan yang lebih dikuasai oleh kelompok 10 persen teratas ini sudah terjadi sejak 1900 dan meningkat tajam pada 1980-an setelah dikeluarkannya paket-paket kebijakan deregulasi di bidang ekonomi, keuangan, dan perbankan. Ditambah pula akibat krisis multidimensi di akhir 1990-an dan awal 2000-an yang membuat Indonesia membuka lebar pintu bagi swasta dan asing.
Setelah 1999, Indonesia mengalami peningkatan kesejahteraan yang cukup signifikan, yang ditandai juga dengan kenaikan pendapatan per kapita. Pendapatan (PDB) per kapita Indonesia meningkat tajam dalam dua dekade, yaitu dari 823 dollar AS pada tahun 2000, menjadi 3.869 dollar AS pada 2020. Tahun 2021, pendapatan per kapita Indonesia berdasarkan laporan Dana Moneter Internasional (IMF) mencapai 4.225 dollar AS di peringkat ke-117 dunia.
Saat ini, kelompok 50 persen terbawah yang berarti jumlahnya sekitar 135 juta penduduk Indonesia, memiliki kekayaan rata-rata hanya Rp 8,3 juta atau setara dengan 5,5 persen dari total kekayaan nasional.
Sedangkan kekayaan kelompok 10 persen teratas rata-rata adalah Rp 450 juta, menguasai pangsa kekayaan 80 persen. Adapun kelompok 1 persen teratas atau 2,7 juta orang memiliki kekayaan rata-rata Rp 2,2 miliar. Jumlah ini menguasai porsi sebanyak 29,4 persen dari total kekayaan nasional.
Kebijakan untuk bisa meredistribusi kekayaan di Indonesia masih menjadi tantangan. (LITBANG KOMPAS)