Tekanan Ekonomi Dari Dua Sisi
Rencana Bank Sentral Amerika menaikkan suku bunganya menambah tantangan bagi pemulihan ekonomi Indonesia. Selain beban di dalam negeri, pemulihan ekonomi juga dihadapkan pada beban di luar negeri.
Perekonomian Indonesia semester kedua tahun 2021 menghadapi ujian yang tidak ringan. Optimisme yang terbangun sejak dimulainya program vaksinasi pertengahan Januari lalu dihadapkan pada pemburukan kasus covid-19 sepanjang Juni ini.
Selain itu, kabar dari The Fed, Bank Sentral Amerika Serikat, pada pertengahan Juni lalu turut memberi alarm Indonesia harus bersiap dengan dampak AS menaikkan suku bunga acuannya lebih cepat. Tekanan bagi pemulihan ekonomi datang dari dua sisi, dalam dan luar negeri.
Pemulihan ekonomi Indonesia dari pukulan pandemi Covid-19 sudah mulai tampak sejak kuartal pertama 2021. Tren pemulihan ekonomi terus berlanjut meski pertumbuhan masih minus.
Setelah mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi yang dalam pada kuartal kedua tahun 2020, yaitu -5,32 persen, kuartal selanjutnya pertumbuhan bergerak menjadi -3,49 persen. Pada kuartal terakhir 2020 pertumbuhan naik lagi menjadi -2,19 persen. Pertumbuhan ekonomi secara tahunan pada 2020 hanya minus 2,07 persen.
Pemulihan kembali diindikasikan oleh pertumbuhan ekonomi yang tercatat -0,74 persen pada kuartal pertama 2021. Dengan tren seperti itu, pemerintah pun optimistis akan mencapai pertumbuhan 5 persen pada 2021. Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto bahkan menyebutkan pertumbuhan sebesar 6,9-7,8 persen bisa tercapai pada triwulan kedua 2021.
Masih dalam kerangka optimisme, pemulihan ekonomi Indonesia diprediksi akan terjadi lebih cepat pada semester kedua 2021. Hal itu oleh karena sudah lebih banyak masyarakat yang divaksin, sehingga akan meningkatkan mobilitas. Mobilitas yang tinggi akan memengaruhi belanja masyarakat.
Semakin tinggi mobilitas, semakin tinggi nilai belanja masyarakat. Semakin tinggi belanja, berarti ekonomi menggeliat dan produksi berjalan. Kondisi itu masih ditambah lagi dengan pencairan dana program pemulihan ekonomi nasional (PEN) sebesar Rp 699,43 trilliun.
Namun demikian, skenario pemerintah harus dievaluasi seiring dengan pemburukan kasus Covid-19. Penambahan kasus baru Covid-19 secara harian di Indonesia menunjukkan tren naik sejak awal Juni 2021. Tren kenaikan ini bertolak-belakang dengan kondisi global yang mulai melandai.
Rekor tertinggi penambahan kasus Covid-19 harian di Indonesia terjadi pada tanggal 27 Juni 2021 yang mencapai 21.342 kasus. Sementara itu, program vaksinasi hingga 28 Juni 2021 baru mencapai 27,7 juta orang yang menerima dosis pertama dan 13,2 juta orang yang sudah divaksin lengkap. Artinya, penduduk yang sudah divaksin lengkap masih kurang dari 10 persen dari target 181,5 juta penduduk. Masih jauh untuk mencapai kekebalan komunal.
Pemburukan kasus Covid-19 di Indonesia ini berarti dua hal. Pertama, peningkatan kasus akan menguji daya tahan pelayanan kesehatan dalam menangani pasien Covid-19. Daya tahan terkait ketersediaan tempat perawatan untuk pasien, juga daya tahan tenaga medis untuk melayani setiap orang.
Kita melihat dan mendengar kesulitan penderita positif Covid-19 untuk mendapat ruang perawatan. Selain itu, akibat jumlah kasus yang tidak terkendali, ketersediaan obat-obatan untuk jangka panjang akan terancam kelangkaan mengingat penyediaan obat-obatan kita bergantung pada impor.
Kedua, pemburukan kasus akan mengerem perputaran roda ekonomi akibat pembatasan-pembatasan kegiatan masyarakat yang kembali diberlakukan. Mobilitas akan melambat, belanja masyarakat akhirnya juga berkurang.
Akibat dari kedua hal tersebut bisa dipastikan akan memengaruhi penerimaan negara, sementara biaya untuk program pemulihan akan bertambah. Beban keuangan negara akan meningkat.
Anggaran untuk PEN bisa melampaui target Rp 699,43 triliun yang direncanakan. Sampai dengan 18 Juni 2021, dana PEN yang sudah direalisasikan adalah sebesar Rp 226,6 triliun atau 32,4 persen dari pagu.
Menyikapi pelonjakan kasus Covid-19 sekarang ini, pemerintah pun merevisi target pertumbuhan ekonomi triwulan kedua 2021 ke batas bawah.
Baca juga : Memutar Roda Ekonomi Lebih Kencang
Rencana The Fed
Di saat menghadapi situasi lonjakan kasus Covid-19, alarm peringatan datang dari negeri Paman Sam. Dalam pertemuan Komite Pasar Terbuka The Fed (Federal Open Market Committee) pada 15-16 Juni lalu, The Fed mengisyaratkan kenaikan suku bunga acuan pada tahun 2023 untuk mengetatkan kebijakan moneternya. Kenaikan itu bisa terjadi sebanyak dua kali.
Padahal, sebelumnya di bulan Maret The Fed menyatakan tidak akan menaikkan suku bunga sampai tahun 2024. Namun, ekonom M Chatib Basri sudah mengingatkan bahwa kebijakan tersebut terbuka untuk ditinjau kembali jika pemulihan ekonomi AS menyebabkan konsumsi naik. Konsumsi yang tinggi akan meningkatkan inflasi.
Rencana kenaikan suku bunga tersebut mempertimbangkan pemulihan ekonomi AS yang terjadi lebih cepat setelah berhasil menahan laju penyebaran virus korona baru dengan vaksinasi.
Pertumbuhan ekonomi AS kuartal pertama 2021 tercatat 6,4 persen. Terkait vaksinasi, sampai dengan 24 Juni 2021, data dari Centers for Desease Control and Prevention menyebutkan bahwa di AS sudah didistribusikan sebanyak 379,2 juta dosis vaksin dan 84 persen di antaranya sudah digunakan.
Sekurangnya 178.331.677 orang atau 54 persen dari total penduduk AS telah mendapatkan vaksin dosis pertama. Secara keseluruhan, ada 151.252.034 orang atau 48 persen dari total penduduk yang telah mendapatkan vaksin dosis lengkap.
Perekonomian AS pulih dengan cepat didukung oleh ketersediaan likuiditas yang cukup besar di masyarakat berkat penggelontoran dana yang dilakukan Presiden Joe Biden. Hal itu baik melalui pembelian obligasi (pemerintah atau korporasi) maupun pemberian stimulus untuk penanganan kesehatan dan bantuan sosial antara lain bagi keluarga dan orang yang kehilangan pekerjaan.
Likuiditas yang berlebih ini memicu inflasi. Semula, The Fed mengharapkan inflasi 2021 hanya naik hingga 2,4 persen, lalu turun menjadi 2 persen pada 2022. Namun, diperkirakan inflasi bahkan akan naik menjadi 3,4 persen.
Tekanan bagi pemulihan ekonomi datang dari dua sisi, dalam dan luar negeri.
Merespons hal tersebut, muncullah rencana untuk menaikkan suku bunga pada tahun 2023. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di negara-negara emerging markets seperti Indonesia yang rentan mengalami pelarian modal besar-besaran (capital outflow) karena suku bunga di AS lebih menarik bagi investor.
Timbul kekhawatiran akan terjadi krisis baru di tengah kondisi perekonomian yang belum sepenuhnya pulih. Salah satu yang dikhawatirkan adalah melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Saat ini saja, tren kurs rupiah terhadap dollar AS melemah. Pelemahan yang paling kuat terjadi pada April 2021 lalu yang mencapai angka Rp 14.648 per dollar AS.
Itulah sebabnya, dalam rentang waktu yang tersisa sebelum The Fed benar-benar menaikkan tingkat suku bunga acuannya, perekonomian Indonesia harus sudah pulih dengan fondasi yang kokoh.
Percepatan vaksin
Agar perekonomian pulih secepatnya sesuai target, prioritas upaya harus ditujukan untuk mempercepat vaksinasi bagi masyarakat. Menargetkan vaksinasi 1 juta dosis per hari merupakan langkah tepat untuk mencapai kekebalan komunal.
Sebagai langkah percepatan untuk mewujudkan vaksinasi 1 juta dosis per hari, pemerintah menyediakan pos atau tempat pelayanan vaksinasi bekerja sama dengan berbagai pihak, seperti TNI. Polri, Organisasi Kemasyarakatan, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Vertikal Kementerian Kesehatan, yaitu Kantor Kesehatan Pelabuhan, RS Vertikal, Poltekkes, serta dunia usaha.
Masyarakat diharapkan aktif mendaftarkan diri untuk divaksin tanpa syarat KTP domisili. Penyediaan vaksin dan logistik vaksinasi Covid-19 harus tetap memenuhi persyaratan mutu, efikasi, dan keamanan.
Jika percepatan ini berhasil dilakukan secara konsisten dan lonjakan kasus bisa ditekan, pertumbuhan ekonomi akan berada di jalur yang tepat. Ia akan menjadi landasan kokoh yang siap menyambut kebijakan moneter ketat yang diambil AS. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Tantangan Menjadi Ekonomi Terbesar ke-7 di Dunia