Merek Nasional sebagai Transformator BUMN
Di era Industri 4.0 ini perlu ada transformasi rezim kekayaan intelektual sebagai formula pembaruan model bisnis BUMN berupa merek nasional yang dikelola oleh negara sebagai pemilik dan prinsipal.
Melalui metode analisis Altman Z-score, diketahui terdapat 68 persen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) penerima penyertaan modal negara (PMN) dalam kondisi distress atau terancam bangkrut (CNBC Indonesia, 2021). Berdasarkan parameter lain, misalnya laba-rugi, terdapat 60 persen BUMN penerima PMN yang menghasilkan laba, sementara 40 persen masih rugi (Tempo, 2021). Berdasarkan rasio utang terhadap ekuitas, terdapat 25 persen BUMN penerima PMN mengalami overleverage dengan debt to equity ratio (DER) lebih dari 3, 33 persen relatif aman, 1 persen underleverage, dan 9 persen negatif (Tempo, 2021).
Demikian halnya dengan Garuda Indonesia (Garuda), BUMN yang bergerak di bidang penerbangan yang merupakan flag carrier Indonesia. Garuda telah mengalami beberapa pengelolaan manajemen seperti struktur keuangan yang buruk sehingga menimbulkan kesulitan dalam membayar utang yang terlampau besar, skandal window dressing dan financial beautification, hingga kondisi pandemi yang memaksa untuk grounded.
Berbagai hal ini memaksa Garuda untuk menjalani Penyelesaian Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), yang bilamana tidak berhasil akan mengakibatkan pailit secara otomatis, dan menghilang. Padahal, International Air Transportation Association (IATA) memperkirakan Indonesia akan menjadi pasar perjalanan udara terbesar keempat di dunia pada 2039.
Baca Juga: Bukan Sekali Ini Garuda Bangkrut
Berdasarkan amanat Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003, BUMN memiliki berbagai tujuan lain selain mencari keuntungan (profit oriented). Karena itu, BUMN, terutama yang berbentuk perseroan, memiliki kesulitan dalam mengoptimalkan fungsi menghasilkan keuntungan bagi negara karena selalu mengalami kerugian dalam memenuhi peran sebagai agen pembangunan.
Agar BUMN yang merugi dapat terus beroperasi, negara perlu untuk terus-menerus memberikan dana dalam bentuk PMN yang bersumber dari APBN. Hal ini pada akhirnya tentu akan membebani dan semakin memberatkan negara dalam menjalankan fungsi pemerintahan lainnya.
Untuk mengurangi beban bagi negara, Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2005 mengatur mekanisme restrukturisasi yang meliputi pembubaran/likuidasi, serta merger dan konsolidasi (peleburan tanpa likuidasi). Namun, cara pandang pengelolaan tradisional ini penulis nilai belum efektif karena tidak banyak BUMN yang menguntungkan bagi negara, pun kembali merugi.
Karena itu, perlu dipertanyakan bentuk dan mekanisme BUMN yang selama ini berlangsung. Selain itu juga mencari solusi perihal pengelolaan dan kemandirian BUMN yang terkait dengan keuangan negara (APBN) secara efektif dan efisien agar dapat memberikan dampak yang optimal.
Sebuah bisnis yang sukses memahami sumber daya yang digunakannya, bagaimana fungsinya dalam model bisnisnya, dan bagaimana memanfaatkannya sebaik mungkin. Sumber daya diperlukan untuk menciptakan nilai bagi suatu bisnis, merupakan aset yang dibutuhkan untuk mempertahankan dan mendukung bisnis.
Baca Juga: Utang BUMN
Dalam hal ini, sumber daya dapat dikategorikan ke dalam empat kategori utama. Pertama, sumber daya fisik, seperti bahan mentah, bangunan, kendaraan, transportasi, fasilitas penyimpanan, mesin dan pabrik. Kedua, sumber daya manusia, seperti insinyur berbakat atau pakar pemasaran. Ketiga, sumber daya intelektual, seperti merek, paten, hak cipta, kemitraan, dan basis data pelanggan. Keempat, sumber daya keuangan, seperti uang tunai, kredit.
Perkembangan teknologi dan Industri 4.0 memperlihatkan bahwa sumber daya yang semakin bernilai penting adalah sumber daya yang berkaitan dengan manusia dan intelektual. Dalam hal ini, penulis melihat perlu ada transformasi rezim kekayaan intelektual sebagai formula pembaruan model bisnis BUMN berupa merek nasional yang dikelola oleh negara sebagai pemilik dan principal. Pembaruan model pengelolaan inilah yang penulis terapkan pada Garuda Indonesia.
Perlu ada transformasi rezim kekayaan intelektual sebagai formula pembaruan model bisnis BUMN berupa merek nasional yang dikelola oleh negara sebagai pemilik dan principal.
Bisnis menggunakan nama dan merek (brand) sebagai identitas yang membedakan antara satu pelaku usaha dan pelaku usaha lain ataupun produk satu dengan produk lain. Dalam bisnis, terdapat perbedaan antara nama resmi (legal name), nama dagang (trade name), dan merek dagang (trade mark).
Nama resmi adalah nama orang atau badan usaha yang memiliki bisnis. Dalam hal ini, nama resmi harus terdaftar di pemerintah suatu negara dan menyertakan status hukum dari badan usaha tersebut, seperti PT atau Tbk. Nama resmi ini digunakan dalam hal berkomunikasi dengan pemerintah.
Sedangkan, nama dagang secara umum digunakan dalam operasional bisnis untuk tujuan periklanan dan penjualan, atau nama yang dikenal oleh publik (doing business as/ DBA). Sebagai contoh adalah nama dagang McDonald's yang memiliki nama resmi McDonald's Corporation.
Merek dagang
Dalam hal ini, sebuah perusahaan dapat memilih untuk memiliki nama perusahaan dan nama dagang yang sama, atau pun berbeda. Di sisi lain, merek dagang adalah penggunaan nama terhadap benda atau jasa yang mencakup setiap kata, nama, simbol, perangkat, atau kombinasi apa pun, yang digunakan atau dimaksudkan digunakan untuk mengidentifikasi dan membedakan barang/jasa dari satu penjual atau penyedia dari yang lain, dan untuk menunjukkan sumber dari barang/jasa. Sebagai contoh, Happy Meal adalah merek dagang dari McDonald's atau McDonald's Corporation.
Sebagai identitas, sering kali sulit untuk menentukan valuasi dari suatu merek. Merek itu sendiri merupakan jenis aset tidak berwujud yang tidak terbatas (indefinite intangible asset) karena tetap ada bersama dengan perusahaan atau pelaku usaha yang memproduksi keberadaan merek tersebut.
Baca juga: Asa Publik pada Perusahaan Negara
Aset tidak berwujud dapat dibedakan menjadi yang dapat diidentifikasi (identifiable) dan tidak dapat diidentifikasi (unidentifiable). Dalam hal ini, aset yang dapat diidentifikasi adalah aset seperti kekayaan intelektual, paten, hak cipta, merek dagang, dan nama dagang. Sedangkan, aset penting yang tidak dapat diidentifikasi adalah branding dan reputasi.
Nilai dan daya tarik dari suatu merek dapat dikaitkan dengan fakta bahwa merek merupakan penjiwaan ruh dalam arti yang sangat nyata. Merek dapat dilihat sebagai mata uang, bahasa dan alat navigasi (Balmur & Gray, 2004).
Dalam hal ini, merek sebagai mata uang karena tidak hanya memiliki nilai di pasar dalam negeri, tetapi juga bernilai sama atau lebih tinggi di luar negeri. Sebagai contoh adalah American Express, BP dan Mercedes Benz.
Merek perusahaan tidak hanya memiliki peran penting dalam hal perilaku pembelian konsumen tetapi juga pentingnya bagi karyawan, investor, dan mitra bisnis lain.
Merek juga merupakan bahasa karena banyak (tetapi tentu saja tidak semua) nilai merek perusahaan melampaui batas-batas bahasa dan negara sehingga berlaku sebagaimana lingua franca seperti halnya bahasa internasional, memiliki karakteristik yang sama karena tidak hanya memiliki scope tetapi juga indepth. Sebagai contohnya adalah BBC, Heinz, Levis, dan McDonald. Sementara dalam hal alat navigasi, merek perusahaan tidak hanya memiliki peran penting dalam hal perilaku pembelian konsumen, tetapi juga penting bagi karyawan, investor, dan mitra bisnis lain.
BUMN, seperti Garuda Indonesia, yang merepresentasikan negara sebagai flag carrier telah memiliki brand image nasional yang baik dalam industri. Namun, mismanagement menyebabkan BUMN tersebut perlu melakukan restrukturisasi finansial, PKPU, atau bahkan dapat dipailitkan dan hilang.
Oleh karena itu, perlu dipisahkan antara merek dan perusahaan di mana merek berada. Dalam hal ini merek merupakan ruh atau jiwa yang dapat berdiri sendiri karena bersifat intangible dan tak wujud, hadir melalui persepsi dan penerimaan didalam benak dan pikiran orang-orang yang ada di dunia.
Dalam hal ini, pemerintah tidak perlu ikut campur sebagai pengelola perusahaan sebagaimana BUMN tradisional. Namun sebaiknya, pemerintah memiliki wewenang untuk melakukan regulasi dan pengawasan melalui berbagai kebijakan dan peraturan terhadap perusahaan swasta yang diberikan lisensi sebagaimana hak tertentu seperti dalam rezim hukum lingkungan dan sumber daya alam melalui lisensi, konsesi, atau pun HTI, dan memaksa agar perusahaan tersebut beroperasi sebagaimana keinginan dan arahan dari negara dan pemerintah. Regulasi yang merekayasa perilaku perusahaan dan pada akhirnya meningkatkan nilai dan memengaruhi ekonomi nasional serta dapat menguatkan identitas nasional dalam bentuk intangible aset merek nasional.
Bca Juga: Tantangan Restrukturisasi BUMN
Dalam rezim merek nasional ini, hak diperlakukan sebagaimana obyek yang dapat dialihkan atau bahkan dapat dijual atau diperdagangkan. Hal ini memunculkan perlunya ada klasifikasi rezim hukum kekayaan intelektual negara, menjadi pengelolaan brand/merek nasional yang dapat membawa nama Indonesia, seperti Garuda Indonesia.
Hal ini menjadikan pengelolaan BUMN yang fluid, di mana negara sebagai pemilik brand nasional dapat memberikan hak menggunakan brand nasional tersebut, seperti Garuda, kepada pihak perusahaan swasta, melalui mekanisme lisensi ataupun konsesi. Mekanisme ini dilakukan dapat melalui open tender terhadap perusahan pelaksana atau penyedia jasa sebagaimana procurement yang telah lazim dilakukan oleh pemerintah secara terbuka.
Dalam pelaksanaannya, lisensi atau hak tersebut berlaku dalam periode waktu tertentu yang dapat diperpanjang setelah melalui mekanisme penilaian dan evaluasi terhadap performa lisensee, yaitu dapat diperpanjang ataupun tidak diperpanjang dan dialihkan kepada perusahaan berikutnya yang berminat.
Melalui model ini, pemerintah hanya perlu berfokus untuk mengelola aset merek nasional yang ada untuk dapat bersaing dan tumbuh berkembang secara global. Bagaimana mempertahankan brand nasional agar dapat bersaing di kancah global sehingga dapat memberikan kontribusi nyata secara berkelanjutan.
Merek nasional dapat mencontoh keberlangsungan pengalihan merek sebagaimana halnya merek Sariwangi yang dibeli oleh Unilever dari perusahaan yang sebelumnya memproduksi teh tersebut. Perusahaan tersebut kemudian akhirnya pailit, sedangkan brand Sariwangi masih tetap ada hingga saat ini.
Contoh keberlanjutan pengalihan merek berikutnya adalah merek DC Shoes yang merupakan merek sepatu snowboarding dan skateboarding yang diciptakan oleh perusahan Amerika yang bernama Droors Clothing di Amerika Serikat pada tahun 1993. Perusahaan ini kemudian berhenti beroperasi, namun merek DC dibeli oleh Quicksilver Corporation pada tahun 2004 yang tetap eksis dan berkembang hingga saat ini. Merek DC itu sendiri digunakan pada pakaian, aksesoris, snowboards, tas, dll yang berkaitan dengan fesyen dan niche market sasaran.
Demikianlah model merek nasional yang ada dapat terus eksis terlepas dari perusahaan dimana merek tersebut berada dan dapat menjadi model BUMN di Era 4.0 yang berfokus pada nilai dari aset intelektual.
(Gede Khrisna Kharismawan, Mahasiswa Pasca Sarjana pada Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada; Divisi Kajian Strategis dan Advokasi KMMIH UGM)