Selamat Tahun Baru, teman-teman pembaca. Untuk memandang ke depan, yaitu ke tahun 2022 yang penuh tantangan ini, saya justru merasa bahwa paling baik saya menoleh ke belakang. Alasannya sederhana dan, maaf, saya ada pamrih di situ: pada bulan Januari ini sudah tepat 10 tahun saya dipercaya menjadi salah seorang dari tiga pengampu kolom Udar Rasa ini. Kolom tempat penulis boleh kangin-kauh, ngalor-ngidul menulis sesuai mood-nya.
Mood saya telah banyak berubah selama 10 tahun, dari yang paling kocak, misalnya ketika saya menulis tentang evolusi pola berciuman di Indonesia; hingga yang paling serius, yakni ketika saya berbicara tentang keseimbangan strategis dunia. Namun, di belakang variasi sana-sini, kolom-kolom saya sebenarnya digerakkan oleh beberapa hal yang sederhana dan terutama oleh kekaguman terhadap upaya bangsa dan negara ini dalam menegakkan kebersamaan.
Indonesia adalah sejenis PBB kecil. Namun, berbeda dengan PBB, Indonesia telah berhasil membangun universalisme yang berfungsi. Berfungsi kenapa? Karena universalisme itu bersifat lokal, yaitu bersandar pada gagasan-gagasan dan praktik-praktik universal yang dibungkus di dalam sistem simbolis khas Indonesia. Perlu contoh? Bhinneka Tunggal Ika!! Idenya banal, tetapi ia berakar pada tradisi sastra Jawa. Demikian pula prinsip Pancasila dan rumus visualnya, yaitu Sang Garuda.
Dalam Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila ditemui semua prinsip ideologi yang telah mewarnai kehidupan politik manusia modern: keadilan sosial, kebangsaan, demokrasi, keragaman, kemanusiaan, dan keagamaan. Namun, prinsip itu tidak dipersepsikan sebagai sesuatu yang asing dan abstrak, tetapi sebagai sesuatu yang konkret dan asli Indonesia. Seimbang satu dengan lainnya. Semua lapis identiter diakui: bangsa, agama, suku, daerah, bahkan kelas. Hasil ramuan ini luwes dan memberikan kepada penguasa peluang untuk menekankan atau, sebaliknya, mengerem segi ini atau segi itu. Misalnya sekarang, mengerem keagamaan untuk menandingi radikalisme agama.
Lalu, apa peran yang saya berikan kepada diri saya selama 10 tahun? Mendukung sistem di atas ini. Sebisanya saya ”tidak serius”. Yang sering saya lakukan, terutama di tahun-tahun awal, adalah ”menertawakan diri” sebagai Jean Couteau atau menertawakan orang bule. Kenapa? Karena sehat. Dengan membuka secara humor, borok orang bule atau keanehan Jean Couteau itu, saya coba ”mendesakralisasikan” posisi historis orang Barat. Paling sedikit, apabila saya menyindir hal-hal nyata perihal ”bule”, tidak bakal dituduh rasis. Uuups....
Hal yang saya juga coba lakukan adalah mengempiskan dengan humor ekses-ekses pernyataan identiter. Kadang-kadang, dengan bermain-main dengan ”keseriusan” Kompas. Misalnya, meskipun saya cukup suka membaca cerita tentang Hayam Wuruk, begitu ada orang yang tampil di ranah politik dengan mengaku sebagai Raja Majapahit, pena saya sudah gatal, mungkin terlalu gatal pada waktu itu untuk redaktur Udar Rasa. Akan tetapi, perjuangan saya ini berhasil: gelar raja orang itu tidak dipakai di DPD. Turun derajatnya. He-he-he....
Perihal identitas, saya dulu amat suka sarkastis tentang busana yang merangkap pernyataan yang, hemat saya, terlampau gamblang memperlihatkan hasrat masuk surga apabila dibandingkan dengan orang yang tak jelas akan masuk apa. Saya lolos sensor oleh karena yang saya sindir adalah anggota keluarga dekat saya yang terlalu jauh untuk membaca Udar Rasa ini. Sorry, ya, dek....
Soal busana, saya juga pernah menulis tentang seorang warga Solo bernama Joko yang suka memakai baju kotak-kotak dan saya berani mempertanyakan apakah busana yang dipakainya apabila terpilih sebagai presiden akan terlalu ketat atau terlalu longgar. Ternyata sangat pas. Yess....
Kini, 10 tahun setelah saya diperkenankan berudar rasa ria di Kompas, saya mulai optimistis tentang masa depan bangsa ini. Tadinya saya khawatir kalau-kalau Indonesia terbawa gelombang ”virus identiter agama” yang menghantam Asia-Afrika dari Mali di barat hingga ke India dan Myanmar di timur, yaitu bahwa pendidikan yang masih dasar bakal melepaskan penganut-penganut dari tafsir tradisional agamanya dan menyulap agama, dengan tafsir-tafsir baru, menjadi senjata politik tak tertahankan. Ternyata Indonesia memang diserang, tetapi bertahan. Dan, apabila waswas, akan tetap bertahan dengan langgeng, ada atau tidak Udar Rasa dan Jean Couteau-nya ini. Horeee….