Cedera Saraf Tulang Belakang, Belajar dari Kasus Edelenyi Laura Anna
Cedera saraf tulang belakang dapat menyebabkan gangguan gerak, sensorik, dan buang air yang terjadi secara temporer atau permanen. Komplikasi akibat cedera ini dapat menyebabkan kematian. Kenali gejala klinisnya.
Oleh
ABDUL GOFIR
·4 menit baca
Selegram Edelenyi Laura Anna memang telah tiada, tetapi kisah ketegaran dan dukungannya terhadap teman yang menderita sakit menginspirasi banyak orang. Ada banyak pertanyaan dari publik seputar kasus cedera medulla spinalis atau cedera saraf tulang belakang yang dideritanya. Apakah tanda dan gejala penyakitnya? Apakah penyebab kelumpuhannya? Kenapa bisa menyebabkan kematian?
Cedera medulla spinalis atau cedera saraf tulang belakang adalah kerusakan pada saraf tulang belakang yang menyebabkan gangguan gerak, sensorik, dan buang air yang terjadi secara temporer atau permanen. Penyebab cedera medulla spinalis adalah kecelakaan sepeda motor (48 persen), jatuh dari ketinggian (16 persen), pertikaian seperti luka tembak (12 persen), kecelakaan olahraga (10 persen), dan lainnya (14 persen). Penyebab lainnya seperti gangguan pembuluh darah (stroke), tumor, infeksi, pergeseran tulang belakang, post injeksi, dan pengeroposan tulang (osteoporosis) (Chin, 2019).
Cedera medulla spinalis menyebabkan tekanan pada area tulang belakang seperti daerah leher, punggung, atau pinggang. Gejala yang mungkin muncul tergantung lokasi saraf tulang belakang mana yang terkena. Gambaran klinis yang muncul berupa mati rasa atau kesemutan, kesulitan mengontrol buang air besar atau kencing, hilangnya kemampuan menggerakkan kaki atau lengan (lumpuh), serta kekakuan leher dan punggung (Benn dkk, 2020).
Efek-efek yang terjadi di atas bisa mengakibatkan gangguan aktivitas sehari-hari pasien atau ADL-nya (activity daily living). Dampak pada penurunan ADL tersebut di antaranya menyebabkan kesulitan untuk mencuci, menyiapkan makanan, mengendarai kendaraan, merawat diri, memakai pakaian, dan lainnya.
Cedera juga bisa berdampak pada kesehatan mental.
Cedera juga bisa berdampak pada kesehatan mental. Depresi dan cemas yang merupakan masalah psikologis paling sering diderita mempengaruhi aktivitas keseharian dan menurunkan kualitas hidup. Pada tahap yang lebih lanjut, kelemahan otot pernapasan menyebabkan sesak napas dan menimbulkan kematian (Lim dkk, 2017).
Penanganan
Penanganan cedera saraf tulang belakang yang diakibatkan oleh trauma meliputi stabilisasi pada area yang terkena. Tindakan stabilisasi area cedera dilakukan dengan sangat hati-hati sehingga tidak menyebabkan cedera saraf bertambah parah.
Hubungi personel yang berkompeten melalui telepon gawat darurat rumah sakit. Tenaga medis akan melakukan penanganan fungsi dasar, yaitu pada airway (jalan napas), breathing (pernapasan), dan circulation (sirkulasi darah). Jika terdapat kelainan seperti tanda-tanda kesulitan bernapas, tim medis akan memasang alat bantu napas, menstabilkan tanda-tanda vital dan mengevaluasi kerusakan saraf yang terjadi pada pasien (Ahuja dkk, 2017).
Cedera ini merupakan kejadian yang dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi, baik di awal kejadian maupun komplikasi jangka panjang. Komplikasi yang terjadi pada pasien cedera medulla spinalis dapat mengurangi angka harapan hidup.
Dikatakan tingkat kematian pada pasien cedera saraf tulang belakang tertinggi pada tahun pertama setelah kejadian. Penyebab kematian utama dikatakan adalah akibat komplikasi jantung pembuluh darah serta pernapasan.
Tingkat kematian pada pasien cedera saraf tulang belakang tertinggi pada tahun pertama setelah kejadian.
Kejadian renjatan pada sistem saraf menyebabkan denyut jantung pasien melambat, tekanan darah juga turun, dan dapat menyebabkan kematian. Hambatan gangguan gerakakan meningkatkan kekentalan darah, menimbulkan jendalan darah dan menyumbat pembuluh darah berbagai organ (emboli paru, stroke, dan serangan jantung).
Kelemahan otot dada dan pernapasan dapat menyebabkan mengalami infeksi paru-paru (pneumonia), depresi pernapasan, dan kematian. Gangguan fungsi berkemih jika dibiarkan dapat menyebabkan infeksi saluran kencing dan batu saluran kencing.
Obat-obatan steroid yang sering dikonsumsi ataupun pengaruh gangguan saraf pada saluran cerna yang dapat menyebabkan konstipasi. Penekanan bagian tertentu tubuh terutama daerah tonjolan tulang memungkinkan luka dekubitus yang dapat menyebabkan kondisi infeksi menyeluruh (sepsis) dan kebocoran protein tubuh.
Tata laksana operatif
Penanganan cedera medulla spinalis melalui tindakan operasi dilakukan dengan mempertimbangkan umur pasien, keadaan fungsi dasar tubuh, derajat perburukan, tingkat keparahan dan kondisi kesehatan secara keseluruhan. Secara umum, pasien yang tidak membaik dengan terapi konservatif (baca: bukan operatif), mengalami gangguan berat ada fungsi buang air dan kelumpuhan yang berat dapat dipertimbangkan untuk dilakukan operasi (AANS, 2013).
Menurut Basuki (2009), tindakan operatif pada cedera medulla spinalis bertujuan untuk mencegah perburukan dan memberi kesempatan saraf pusat untuk tidak tertekan. Selain itu, tindakan operatif dapat mengembalikan struktur anatomi yang terganggu, misalnya pemasangan fiksasi untuk stabilisasi tulang belakang yang menjadi tidak stabil karena trauma.
Indikasi dilakukan tindakan operatif pada pasien cedera medulla spinalis (Perdossi, 2010) adalah fraktur dengan pecahan tulang yang menekan medulla spinalis, gambaran neurologis memburuk, fraktur atau dislokasi yang labil, terjadi herniasi diskus intervertebralis yang menekan medula spinalis.
Beberapa rehabilitasi yang medis dapat dilakukan pada pasien dengan mobilisasi sedini mungkin menggunakan fiksasi luar (semirigid/rigid external fixation) baik dengan alat bantu jalan atau tanpa alat bantu jalan, latihan di tempat tidur/latihan mobilitas (miring kiri-kanan, menggerakkan sendi ankle), latihan pernapasan, latihan lingkup gerak sendi,latihan penguatan, latihan aktivitas sehari-hari dengan mandiri, apabila perlu psikoterapi. Penanganan yang komprehensif diperlukan untuk memperbaiki kondisi pasien dan mencegah komplikasi.
Abdul Gofir, Dokter Spesialis Saraf Konsultan di Klinik Memori dan Unit Stroke RSUP Sardjito; Dosen di Departemen Neurologi FKKMK UGM