Mencegah dan Mengatasi Cedera Saraf Tulang Belakang
Meninggalnya seorang selebgram setelah mengalami cedera saraf tulang belakang jadi alarm mengenai bahaya masalah kesehatan tersebut. Untuk mencegah komplikasi berat, cedera tersebut mesti segera ditangani dengan tepat.
Kabar tentang seorang selebritas di media sosial atau selebgram yang meninggal setelah menderita spinal cord injury atau cedera saraf tulang belakang ramai diberitakan. Hal itu mengundang pertanyaan banyak orang mengenai apa yang terjadi jika seseorang mengalami cedera saraf jenis ini. Apakah kejadian ini bisa dicegah agar tidak berakibat fatal hingga merenggut nyawa penderitanya?
Kerusakan pada bagian mana pun dari sumsum tulang belakang atau saraf di ujung kanal tulang belakang kerap kali menyebabkan perubahan permanen pada kekuatan dan fungsi tubuh. Menurut artikel di Mayoclinic.org, jika baru mengalami cedera tulang belakang, seseorang mungkin merasakan efek dari cedera secara mental, emosional, dan sosial.
Ketua Umum Perhimpunan Spesialis Bedah Saraf Indonesia Cabang DKI Jakarta Wawan Mulyawan, dalam paparan tertulis, Kamis (16/12/2021), menjelaskan, jaringan sistem saraf membawa informasi berbentuk impuls listrik saraf ke dan dari seluruh tubuh serta mengatur semua aktivitas tubuh. Unit dasar sistem saraf adalah sel saraf (neuron), terdiri dari badan sel, akson, dan dendrit.
”Selain otak, sumsum tulang belakang sebagai bagian terpenting jaringan dalam sistem saraf dan disebut sistem saraf pusat (SSP). Selain SSP, sistem saraf yang lain disebut sistem saraf perifer (di luar saraf di otak dan sumsum tulang belakang),” kata Wawan yang juga Konsultan Bedah Saraf Tulang Belakang Rumah Sakit Umum Bunda, Jakarta.
Ada dua sistem utama yang menyampaikan informasi dari otak ke tubuh melalui sumsum tulang belakang. Jalur pertama yakni jalur keluar (eferen) mengirim perintah dari otak untuk mengendalikan otot gerak (jalur motorik) serta jalur otonom yang mengendalikan jantung, usus, dan organ lain. Jalur kedua disebut jalur masuk (aferen), mengirim informasi dari luar melalui kulit, otot, dan organ lain ke otak (jalur sensorik). Hal itu berada di sumsum tulang belakang.
Baca juga: Bergerak, Kunci Menjaga Kesehatan Tulang
Setiap segmen di sumsum tulang belakang meliputi segmen servikal (setinggi leher), segmen totakal (setinggi dada), lumbal (setinggi area pinggang), dan sakral (setinggi panggul). Segmen daerah servikal mengontrol saraf ke dan dari leher, lengan, serta tangan. Saraf di area torakal mengontrol saraf ke dan dari daerah dada depan dan belakang, saraf di segmen lumbal mengontrol saraf ke dan dari pinggul dan kaki. Saraf segmen sakral mengontrol ke dan dari jari kaki.
Penyebab kecacatan
Wawan menjelaskan, cedera saraf tulang belakang secara langsung (kecelakaan ataupun jatuh) maupun tidak langsung (infeksi bakteri atau virus) bisa memicu kecacatan menetap atau kematian (definisi dari Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia atau PERDOSSI, 2006). Cedera tulang belakang dapat menyebabkan di antaranya paralisis dan paraplegia.
Selain otak, sumsum tulang belakang sebagai bagian terpenting jaringan dalam sistem saraf dan disebut sistem saraf pusat.
Secara global, seperti dikutip di laman National Center for Biotechnology Information (NCBI), setiap tahun, 250.000 dan 500.000 orang menderita cedera saraf tulang belakang. Mayoritas kasus ini sebenarnya bisa dicegah, seperti kekerasan dan kecelakaan kendaraan. Di Amerika Serikat, ada sekitar 17.000 kasus baru cedera tulang belakang setiap tahun dan sekitar 282.000 orang di antaranya hidup dengan cedera tersebut.
Sejauh ini, menurut Wawan, data nasional dan regional di dunia memperkirakan ada 300-1.300 penderita cedera saraf tulang belakang di antara 1 juta penduduk. Jika mengacu angka ini, diperkirakan ada sekitar 200.000 orang menderita cedera saraf tulang belakang di Indonesia.
Dalam artikel di Mayoclinic.org disebutkan, meski cedera tulang belakang biasanya akibat kecelakaan kendaraan bermotor, faktor-faktor tertentu dapat membuat Anda berisiko lebih tinggi mengalami cedera tulang belakang. Beberapa faktor risiko itu meliputi, antara lain, berjenis kelamin pria, berusia 16-30 tahun dan 65 tahun ke atas, penggunaan alkohol, serta perilaku berisiko, misalnya berolahraga tanpa perlengkapan keselamatan.
Wawan memaparkan, ada dua kerusakan akibat cedera saraf tulang belakang. Pertama, kerusakan langsung akibat benturan atau penekanan (kerusakan primer). Cedera pada saraf tulang belakang biasanya terjadi akibat trauma pada tulang belakang mulai dari leher sampai tulang belakang sakral. Tulang yang retak atau patah akan menekan sumsum tulang belakang atau bahkan merobeknya.
Cedera saraf tulang belakang dapat terjadi tanpa patah tulang belakang, tapi sebaliknya seseorang bisa mengalami patah tulang belakang tanpa terjadi cedera tulang belakang. Pada sebagian besar cedera saraf tulang belakang, sumsum tulang belakang tertekan atau robek. Berat ringannya kerusakan saraf bergantung pada kekuatan penekanan saraf oleh tulang belakang dan lama baru mendapat pertolongan.
Kedua, kerusakan tambahan atau sekunder. Kerusakan ini dapat terjadi akibat terus berlangsungnya kerusakan primer karena kurang cepatnya pertolongan atau tidak tepatnya pertolongan sehingga kerusakan yang seharusnya lebih ringan menjadi lebih berat atau menjadi permanen dibandingkan dengan kerusakan langsung di awal cedera/benturan.
Baca juga: Jangan Abaikan Cedera di Tengah Pandemi
Karena begitu banyak kerusakan muncul setelah cedera awal, maka menjadi penting kecepatan dan ketepatan penanganan untuk mempertahankan fungsi saraf sensorik, motorik, dan otonom. Dalam beberapa menit setelah cedera, jika tidak segera ditangani, pengiriman nutrisi dan oksigen tidak cukup ke sel saraf sehingga sel saraf mati permanen.
Ketika sel saraf di sumsum tulang belakang, akson, atau astrosit cedera, jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat, bahkan akan bisa merusak dirinya sendiri (self-destruction) akibat memproduksi bahan kimia beracun yang disebut zat radikal bebas.
Dampak lanjutan
Sel saraf pusat di sumsum tulang belakang jika mati tak bisa beregenerasi karena kerusakan kompleks dan memburuk. Jika sel saraf di sumsum tulang belakang mati, fungsi saraf sensorik (rasa nyeri) hilang.
Demikian juga fungsi saraf motorik bisa hilang sehingga lengan dan tangan atau tungkai dan kaki lemah, bahkan lumpuh (jika empat alat gerak lumpuh disebut tetraplegia, jika hanya kedua kaki yang lumpuh disebut paraplegia).
Jika saraf otonom rusak, bisa terjadi gangguan buang air kecil atau buang air besar, suhu tubuh, tekanan darah, dan sistem sirkulasi darah, bahkan pada pria bisa menyebabkan alat vitalnya tak bisa ereksi. Beberapa akson di sel saraf mungkin utuh dan membawa sinyal ke sumsum tulang belakang, tapi tak bisa menjalankan fungsi saraf dengan normal karena jumlahnya terlalu sedikit.
Orang dengan cedera di atas tulang leher bagian atas bahkan memerlukan alat bantu napas (ventilator) untuk tetap bisa bernapas. Akibat tambahan cedera saraf tulang belakang menyedihkan. Terlalu lama berbaring karena lumpuh menyebabkan luka akibat tubuh menekan alas tidur atau disebut decubitus dan mudah terinfeksi (biasanya sistem paru-paru dan saluran kencing), bahkan meningkatkan tekanan darah yang mengancam nyawa.
Pada fase akut, dokter memastikan apakah cedera saraf tulang belakang memengaruhi pernapasan yang berakibat kematian. Untuk menilai kondisi fungsi saraf tulang belakang, perlu pemeriksaan fungsi sensorik (kemampuan merasakan sentuhan), fungsi motorik (kemampuan menggerakkan tangan dan kaki), dan fungsi otonom (kemampuan buang air besar dan air kecil, serta fungsi alat vital pada pria).
Tes pencitraan membantu mendiagnosis cedera tulang dan saraf tulang belakang, yakni rontgen biasa untuk melihat ada tidaknya patah tulang atau terkilir serta CT-scan untuk melihat patah tulang, bekuan darah, atau kerusakan pembuluh darah. Adapun MRI untuk melihat kondisi saraf dan sumsum tulang belakang serta elektromiogram untuk memeriksa aktivitas listrik di otot.
Penanganan
Pasien perlu menjalani operasi gawat darurat cedera saraf tulang belakang untuk mengatasi patah tulang belakang ataupun kerusakan sumsum tulang belakang akibat patah tulang, pembekuan darah, atau jaringan lain sekitarnya yang rusak. Beberapa riset menunjukkan suntikan obat kortikosteroid membantu cedera tulang belakang jika terjadi spinal shock bersifat sementara.
Selain itu, operasi terjadwal bisa dilakukan untuk memperbaiki stabilitas tulang belakangnya, tetapi kerusakan sarafnya sudah permanen. Tujuan jangka panjang dari perawatan cedera tulang belakang yakni meningkatkan kemandirian dan kualitas hidup, mengurangi risiko kesehatan kronis, dan memulihkan fungsi saraf.
Adapun komplikasi jangka panjang cedera tulang belakang meliputi, antara lain, ketidakmampuan untuk mengatur tekanan darah atau suhu tubuh, peningkatan risiko masalah jantung atau paru-paru, kehilangan kontrol kandung kemih atau usus, kelumpuhan pada lengan atau kaki, sakit terus-menerus, kontraktur sendi, dan disfungsi seksual.
”Kebanyakan orang dengan cedera tulang belakang memerlukan rehabilitasi fisik atau terapi, baik dengan rawat inap maupun rawat jalan. Rehabilitasi membantu pasien cedera saraf tulang belakang untuk belajar menggunakan alat bantu jalan, memulihkan kekuatan dan mobilitas di area tubuh dengan fungsi saraf, serta memulihkan kemampuan untuk beraktivitas sehari-hari,” kata Wawan.
Dalam artikel di laman hopkinsmedicine.org disebutkan, pemulihan cedera tulang belakang membutuhkan rawat inap dan rehabilitasi jangka panjang. Terapi fisik menjadi bagian penting rehabilitasi untuk mencegah pengecilan otot dan kontraktur serta melatih otot lain dalam mobilitas.
Jenis terapi lain yakni okupasi untuk mempelajari cara baru menjalankan tugas sehari-hari di tengah keterbatasan fisik. Jika tertekan secara psikis setelah cedera, penderita butuh bantuan profesional kesehatan mental.
Sebenarnya risiko terkena cedera saraf tulang belakang dapat dikurangi dengan mengemudi mengenakan sabuk pengaman, menghindari bahaya jatuh seperti tangga atau lantai kamar mandi yang licin, mengenakan alat pelindung selama olahraga, dan tidak berolahraga ekstrem, seperti mendaki tebing dan bersepeda gunung pada orang lanjut usia.
Jika cedera sumsum tulang belakang lengkap, cacat atau kelumpuhannya permanen. Jika cedera tak lengkap atau hanya sebagian saraf sensorik, motorik atau otonom rusak, memungkinkan perbaikan fungsional. Biasanya operasi atau obat kortikosteroid yang terlambat menyebabkan cedera tak lengkap jadi permanen. ”Karena itu dalam penanganan cedera saraf tulang belakang ada istilah time is essential,” tuturnya.