Tiada yang mendamba juara sedalam hasrat suporter tim sepak bola Indonesia. Terakhir, gelar juara ”Garuda” adalah saat meraih medali emas SEA Games 1991, atau 30 tahun silam. Tuah Shin Tae-yong mengakhiri paceklik ini?
Oleh
Adi Prinantyo
·5 menit baca
Shin Tae-yong. Nama pelatih asal Korea Selatan ini mengguncang dunia saat menangani tim Korsel di Piala Dunia Rusia 2018. Setelah menelan dua kekalahan pada dua partai awal Grup F, yakni 0-1 dari Swedia dan 1-2 dari Meksiko, tim ”Negeri Ginseng” harus meladeni juara bertahan Jerman.
Semua prediksi mengunggulkan Jerman, yang masih diperkuat para bintang yang membawa tim ”Panser” juara dunia di Brasil 2014, seperti Manuel Neuer, Mats Hummels, dan Mesut Oezil. Jerman harus menang demi lolos ke fase gugur setelah baru mengemas satu kemenangan, yakni 2-1 atas Swedia. Laga melawan Meksiko berakhir dengan kekalahan tim ”Panser”, 0-1.
Korsel sudah dua kali tumbang, 0-1 dari Swedia dan 1-2 dari Meksiko. Kemenangan atas Jerman tak akan membawa Son Heung-min dan kawan-kawan lolos ke fase gugur. Hanya kebanggaan yang mungkin bakal dirayakan di seantero negeri dan sepanjang hayat bahwa mereka pernah menundukkan dan menyingkirkan Jerman dari Piala Dunia.
Di Stadion Kazan Arena, kota Kazan, Rusia, peristiwa bersejarah itu terjadi. Dua gol Korsel, yakni oleh Kim Young-gwon dan kapten Son Heung-min, membawa tim asuhan Shin Tae-yong menang 2-0 atas Jerman. Hasil ini menyingkirkan Jerman sekaligus menghadirkan kemurungan di ruang ganti tim asuhan Joachin Loew.
Sebaliknya, kemenangan ini membuahkan sukaria luar biasa di tim Korsel. Untuk kali pertama, Jerman tersisih di penyisihan grup putaran final Piala Dunia, dan itu di tangan Korsel. Bahkan, ini bukan cuma kebanggaan Korsel, tetapi juga Asia, yang selama ini dikenal sebagai dunia ketiga di sepak bola setelah Eropa dan Amerika.
Tertunda pandemi
Pada 28 Desember 2019, PSSI mengonfirmasi posisi Shin Tae-yong sebagai pelatih tim nasional Indonesia menggantikan Simon McMenemy. Pandemi Covid-19 membuat Shin Tae-yong belum dapat membuktikan kemampuannya karena pembatalan berbagai kejuaraan.
Praktis, hanya dalam kejuaraan Piala AFF 2020, yang baru digelar Desember 2021, Shing Tae-yong dapat membuktikan kepiawaiannya meracik tim. Bermodal tiga kemenangan dan sekali seri, Indonesia meluncur ke semifinal menantang tuan rumah Singapura.
Di fase grup, aksi tim ”Merah Putih” tergolong fenomenal dengan menang 4-2 atas Kamboja, 5-1 atas Laos, 4-1 atas Malaysia, dan draw tanpa gol dengan Vietnam. Evan Dimas dan kawan-kawan menjadi tim paling produktif, dengan 13 kali membobol gawang lawan, 4 kemasukan gol.
Kemenangan atas Malaysia menjadi titik balik keyakinan publik pencinta sepak bola Indonesia terhadap tim nasional. Tertinggal lebih dulu 0-1, tim asuhan Shin Tae-yong menyamakan skor lewat gol cantik dari permainan terbuka oleh Irfan Jaya, yang kemudian ditambah tiga gol berikutnya melalui satu gol lagi dari Irfan Jaya, Pratama Arhan, dan Elkan Baggott.
Kemenangan atas Malaysia menjadi titik balik keyakinan publik pencinta sepak bola Indonesia terhadap tim nasional.
Posisi sebagai juara grup membawa Indonesia bertemu Singapura di semifinal, yang lalu disingkirkan dengan agregat gol 5-3. Laga kedua yang begitu dramatis, berakhir dengan kemenangan 4-2 bagi Indonesia, menyisakan pertanyaan skeptis di kalangan pendukung tim ”Garuda” ataupun fans tim Singapura. Dengan tim Singapura tersisa sembilan pemain, dan begitu susahnya Indonesia menang, mampukah kita menundukkan Thailand di final?
Di kancah Piala AFF, ini final keenam bagi Indonesia. Terhitung empat pelatih berbeda telah mengantarkan tim ”Garuda” hingga laga puncak Piala AFF, tetapi belum ada yang berhasil membawa Indonesia juara. Perjuangan di final dimulai pada Piala AFF 2000 saat Indonesia dilatih Nandar Iskandar, dan kalah dari Thailand, 1-4, pada laga puncak.
Pada perhelatan berikutnya, 2002, Indonesia kembali lolos ke final setelah menyisihkan Malaysia di semifinal. Malang tak kuasa ditolak, Bambang Pamungkas dan kawan-kawan yang kala itu dilatih Ivan Kolev (Bulgaria) kalah 2-4 lewat adu penalti dari Thailand setelah skor 2-2 bertahan hingga perpanjangan waktu.
Pencapaian final kembali diraih pada kejuaraan berikutnya 2004, seiring gelaran piala AFF yang siklus dua tahunan. Indonesia yang saat itu dilatih Peter Withe (Inggris) kalah agregat 2-5 dari Singapura dalam final berformat tandang dan kandang. Kekalahan Indonesia di final kala itu ibarat antiklimaks seiring aksi impresif skuad ”Merah Putih” melalui penampilan sejumlah bintang, seperti Boaz Solossa dan Ilham Jaya Kesuma.
Dua penampilan berikutnya pada final 2010 dan 2016, tim Indonesia dipandu pelatih asal Austria, Alfred Riedl. Pada 2010, Malaysia tampil sebagai juara setelah menang agregat gol 4-2 atas Indonesia. Adapun 2016, lagi-lagi Thailand mengandaskan mimpi Indonesia menjadi kampiun setelah unggul agregat 3-2.
Jika dirunut jauh ke belakang lagi, penantian prestasi Indonesia sudah berlangsung sejak 1991 saat terakhir kali kita meraih medali emas sepak bola SEA Games. Ketika itu ditangani pelatih Anatoli Polosin, Ferril Hattu dan kawan-kawan menang 4-3 lewat adu penalti atas Thailand, setelah skor seri tanpa gol bertahan hingga perpanjangan waktu.
Terdata 20 pelatih tim nasional Indonesia yang berjuang demi gelar juara setelah era Polosin. Mulai dari Ivan Toplak, Romano Matte, Danurwindo, Henk Wullems, Rusdy Bahalwan, Bernhard Schumm, Nandar Iskandar, Benny Dollo, Ivan Kolev, dan Peter Withe. Selain itu juga Alfred Riedl, Wim Rijsbergen, Aji Santoso, Nil Maizar, Rahmad Darmawan, Jacksen F Tiago, Pieter Huistra, Luis Milla, Bima Sakti, dan Simon McMenemy.
Akankah Shin Tae-yong yang pada Piala Dunia Rusia 2018 mencatat sejarah emas bersama tim Korsel mampu mengakhiri paceklik prestasi Indonesia selama 30 tahun? Dua laga final, Rabu (29/12/2021) dan Sabtu (1/1/2022) akan membuktikannya.
Akankah Shin Tae-yong yang pada Piala Dunia Rusia 2018 mencatat sejarah emas bersama tim Korsel mampu mengakhiri paceklik prestasi Indonesia selama 30 tahun?
Dalam wawancara di awal dia bertugas di Indonesia, Shin Tae-yong pernah berjanji akan mereplikasi spirit timnas Korsel itu di dada tim ”Garuda”. Baginya, sepak bola tidak sekadar teknik, kerja kaki atau gaya filosofi penuh retorika, tetapi juga hati. Sepak bola adalah soal etos kerja, keuletan, kedisiplinan, mental bertarung, dan pengorbanan.
Etos kerja, keuletan, kedisiplinan, mental bertarung, dan pengorbanan itu setidaknya tergambar dari bagaimana permainan Evan Dimas dan kawan-kawan hingga semifinal. Bagaimana Witan Sulaeman gigih mengejar bola di kotak penalti Malaysia sehingga ia bisa mengoper bola kepada Kushedya Yudo, meski tak berbuah gol, adalah wujud etos kerja dan keuletan itu.
Para pemain asuhan Shin Tae-yong perlu mewujudkan spirit yang ingin dijelmakan si pelatih itu dalam penampilan pada dua laga final melawan Thailand. Jika spirit itu terwujud, kita bisa mengakhiri 30 tahun penantian gelar juara bagi tim ”Garuda”.