Kemandirian Relatif Industri Media
Dalam rangka membangun kemandirian relatif penerbit terhadap platform digital dan mengikhtiarkan keberlanjutan media ke depan, penerbit juga perlu mewujudkan kemandirian data. Data pengguna adalah tiang utama periklanan.
Transformasi digital adalah suatu keniscayaan. Tidak ada sektor yang dapat menghindar dari terpaannya. Semua pihak mesti mempersiapkan diri untuk menerima kebaikan sekaligus mengantisipasi keburukannya. Tanpa terkecuali dalam hal ini adalah sektor media. Para pengelola media di mana pun saat ini semakin sulit menghindari integrasi ke dalam ekosistem distribusi konten, data pengguna, dan periklanan yang dikendalikan platform digital global.
Persinggungan jurnalisme dengan teknologi penunjang distribusi konten, penambangan data, dan layanan periklanan yang dioperasikan platform digital sepertinya hanya soal waktu dan intensitas. Semua media massa akan mengalaminya, tanpa terkecuali media ternama dunia, seperti The New York Times, The Guardian, CNN, dan The Sun.
Teknologi digital menghadirkan kemungkinan baru yang menggiurkan untuk memproduksi konten, menciptakan interaksi di sekitar konten, menjangkau khalayak secara lebih intens, serta untuk menjalankan mode pariwara yang lebih menjamin presisi dan akurasi.
Dalam perkembangannya, memang banyak pengelola media yang kecewa terhadap perilaku platform digital dan berpikir untuk meninggalkannya. Namun, sangat sedikit yang benar-benar melakukannya!
Meskipun demikian, penerbit semestinya tidak sepenuhnya tergantung pada platform digital.
Meskipun demikian, penerbit semestinya tidak sepenuhnya tergantung pada platform digital. Penerbit tidak seharusnya hanya mengandalkan kerja sama dengan platform digital dalam mendistribusikan konten, meraih pendapatan, dan mengelola data pengguna. Penerbit harus memiliki opsi lain di luar kolaborasi dengan platform digital untuk tiga hal itu.
Kemandirian relatif penerbit di hadapan platform digital sangat fundamental sifatnya untuk keberlanjutan hidup media. Platform digital memang peduli terhadap kualitas jurnalisme dan demokratisasi arus informasi. Namun, motif utama di balik uluran tangan platform digital ke kalangan penerbit sesungguhnya bukan di situ.
Platform digital adalah kekuatan bisnis yang orientasi utamanya optimalisasi keuntungan ekonomi untuk diri mereka sendiri. Jika perlu, hal ini akan mereka lakukan dengan memanfaatkan ”jerih payah” pihak lain, termasuk memanfaatkan konten, jaringan, dan kekuatan merek penerbit media.
Lebih dari itu, fakta-fakta menunjukkan kerja sama penerbit dengan platform digital adalah bentuk hubungan yang timpang. Platform digital lebih banyak mengendalikan, penerbit lebih banyak dikendalikan.
Baca juga : ”New York Times” Tambah 2,73 Juta Pelanggan Digital Selama Pandemi
Platform digital dapat secara tiba-tiba mengubah sistem algoritma dengan dampak yang serius terhadap distribusi konten dan mode konten berbayar penerbit, tanpa memberitahukannya terlebih dahulu. Platform digital dapat memaksakan bentuk kerja sama yang cenderung merugikan penerbit secara sepihak. Selain itu, tidak ada transparansi tentang nilai iklan dan data pengguna terkait dengan konten penerbit yang dimanfaatkan platform digital, yang semestinya menguntungkan kedua belah pihak.
Kolaborasi dan kompetisi
Dalam konteks ini, untuk menjaga eksistensinya, para penerbit hendaknya mengombinasikan strategi kolaborasi sekaligus kompetisi. Bekerja sama dengan platform digital bukan pilihan yang sepenuhnya buruk, bahkan merupakan pilihan yang realistis.
Namun di sisi lain, penerbit semestinya juga siap untuk berhadap-hadapan dengan platform digital dalam negosiasi yang bisa jadi konfliktual, serta untuk mendukung langkah-langkah yang mengoreksi monopoli platform digital, katakanlah dalam konteks pelembagaan publisher right.
Oleh karena itu, sekali lagi, kemandirian relatif penerbit, yang antara lain terwujud dengan adanya sumber pendapatan lain di luar skema kerja sama dengan platform digital, menjadi sangat menentukan.
Dengan demikian, para penerbit tidak terombang-ambing oleh permainan platform digital, juga dapat bertahan hidup jika sewaktu-waktu platform digital mengancam berhenti bekerja sama, misalnya saja sebagai penolakan atas rencana pemberlakuan regulasi publisher right.
Perlu ditegaskan bahwa strategi kolaborasi sekaligus kompetisi itu sesungguhnya juga diterapkan platform digital pada sisi sebaliknya. Meskipun sering mengklaim konten penerbit memberikan kontribusi kecil terhadap keseluruhan konten yang mereka kelola, juga memberikan keuntungan bisnis kurang signifikan, platform digital sesungguhnya mengambil keuntungan yang lain.
Penerbit secara berkelanjutan menghasilkan konten yang relatif terjaga kredibilitas dan kualitasnya dibandingkan dengan konten buatan pengguna pada umumnya. Penerbit juga memiliki kekuatan merek di mata pengiklan, publik, dan pemerintah. Dua hal ini menjadi daya tarik penerbit yang sulit didapatkan platform digital di tempat lain.
Bekerja sama dengan penerbit yang kredibel akan melahirkan citra sebagai penyokong good journalism. Hal ini menjelaskan mengapa di balik sikap kerasnya terhadap penerbit terkait dengan isu publisher right, platform digital tetap bersedia bernegosiasi dengan penerbit untuk isu remunerasi berita. Platform digital menawarkan konsesi untuk penerbit melalui skema Google News Showcase, Facebook News Tab, dan lain-lain. Platform digital di sini secara ambigu juga menerapkan strategi kompetisi sekaligus kolaborasi dengan penerbit.
Dengan mempertimbangkan hal-hal itu, yang perlu dikembangkan bukanlah perlawanan frontal penerbit terhadap platform digital global.
Dengan mempertimbangkan hal-hal itu, yang perlu dikembangkan bukanlah perlawanan frontal penerbit terhadap platform digital global. Bukan pula sikap menolak transformasi digital. Yang perlu dikembangkan adalah sikap berjarak dan independensi relatif industri media terhadap platform digital. Sikap terbuka sekaligus penuh selidik penerbit terhadap perubahan yang dibawa sekaligus kerja sama yang ditawarkan platform digital dalam kaitannya dengan distribusi konten jurnalistik, pengelolaan data pengguna, atau periklanan digital.
Hal yang sama mendasari upaya komunitas media dan Pemerintah Australia untuk melembagakan News Media Bargaining Code. Tujuan regulasi ini lebih kurang adalah mewujudkan kolaborasi yang menjamin praktik berbagi konten benar-benar menghasilkan praktik berbagi pendapatan.
Keadaan yang diharapkan bukanlah putus hubungan sama sekali antara penerbit dan platform digital, melainkan pertukaran dua arah yang saling menghidupi (two-way value exchange). Dengan kata lain, persaingan usaha yang memungkinkan terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara penerbit dan platform (mutually beneficial relationship between the news publisher and the digital platform).
Baca juga : Mempersoalkan Imparsialitas Platform Digital
Terang sekali bukan sikap antiplatform digital yang dikedepankan di sini, melainkan kemendesakan untuk meletakkan operasionalisasi platform digital dalam iklim persaingan usaha yang sehat dan tidak monopolistik.
Mengembangkan model bermedia
Hal yang tidak kalah penting adalah mengembangkan model bermedia secara terus-menerus. Publisher right bukan satu-satunya fondasi untuk mewujudkan keberlanjutan media. Regulasi ini sangat penting untuk menjamin transparansi, keadilan, dan kesetaraan dalam hubungan antara penerbit dan platform digital.
Namun selebihnya, penerbit harus bekerja keras menemukan model bisnis dan pendekatan jurnalistik yang adaptif terhadap arus evolusi ekologi bermedia dalam masyarakat.
Bagaimana jurnalisme dijalankan pada era endemi disinformasi? Bagaimana agar tetap relevan dan penting bagi pembaca pada era limpah ruah informasi? Bagaimana berinteraksi dengan pembaca dan mempertahankan kedekatan dengan mereka ketika media massa bukan satu-satunya sumber informasi?
Bagaimana meyakinkan pengiklan ketika platform media sosial dan mesin pencari memiliki keunggulan komparatif skala pembaca yang sangat besar dan presisi penargetan khalayak secara individual?
Dibutuhkan kerja keras, eksperimen, kolaborasi, serta investasi yang tidak sedikit untuk menjawab pertanyaan yang tak terhindarkan itu.
Salah-satu eksperimen itu adalah konten berbayar. Konten yang disajikan secara gratis kepada pembaca (free information) jelas sangat menguntungkan pembaca dan platform digital. Pembaca dapat memperoleh informasi tentang berbagai hal secara gratis saban hari.
Platform mesin pencari, agregator berita, atau media sosial dapat menjadikan konten gratis itu sebagai ”umpan” untuk meraih trafik, data pengguna, juga pendapatan iklan. Tentu saja penerbit memperoleh trafik, juga potensi pendapatan iklan.
Namun, semakin hari semakin lazim dikeluhkan betapa rendah keuntungan yang diperoleh penerbit dari praktik berbagi konten secara gratis itu. Platform digital tidak berinvestasi untuk produksi konten, tetapi dapat memanfaatkan dan memonetisasi konten.
Berita dalam konteks ini diperlakukan sebagai ”barang publik” yang dapat dibagi-bagikan secara gratis. Lalu orang mulai lupa bahwa berita itu dibuat dengan jerih payah wartawan dan awak media yang harus memperoleh gaji dan tunjangan layak. Orang juga semakin lupa bahwa konten yang mereka akses melalui layanan platform digital adalah konten milik penerbit.
Penerbit di sini tidak hanya kehilangan nilai ekonomi dari suatu berita, tetapi juga menghadapi tren semakin memudarnya kekuatan merek penerbit di hadapan khalayak dan pengiklan. Bertolak dari kenyataan ini, untuk mewujudkan keberlanjutan bisnis dan praktik jurnalisme dalam jangka panjang, skema konten berbayar adalah keniscayaan. Penelitian di sejumlah negara menyimpulkan demikian.
Salah satunya penelitian The Centre for Media Transition tentang industri media Australia berjudul ”The Impact of Digital Platforms on News and Journalistic Content” (2018). Namun, skema konten berbayar terbentur fakta bahwa masyarakat telanjur terpola untuk mengakses berita secara gratis.
Ibaratnya skema konten gratis adalah realitas hari ini, sementara skema konten berbayar adalah proyeksi masa depan.
Apakah masih banyak orang yang mau membayar berita yang mereka nikmati saban hari? Dalam konteks ini, skema konten berbayar sepertinya tetap perlu dikombinasikan dengan skema konten gratis. Ibaratnya skema konten gratis adalah realitas hari ini, sementara skema konten berbayar adalah proyeksi masa depan.
Dalam rangka membangun kemandirian relatif penerbit terhadap platform digital dan mengikhtiarkan keberlanjutan media ke depan, penerbit juga perlu mewujudkan kemandirian data. Data pengguna adalah tiang utama dunia periklanan saat ini dan di masa mendatang. Pengiklan sangat menuntut ketersediaan data pengguna yang mendukung proses penargetan iklan secara personal.
Persoalannya, meskipun penerbit berkontribusi dalam pengumpulannya, data pengguna itu sejauh ini terkurung dalam sistem tertutup yang secara sepihak dikendalikan platform digital (data walled garden).
Ada tiga solusi yang dapat dipertimbangkan di sini: 1) menjadikan keadilan pemanfaatan data pengguna sebagai isu yang dinegosiasikan dengan platform digital; 2) mendorong terwujudnya regulasi yang mewajibkan platform digital secara proporsional berbagi data pengguna yang mereka dapatkan dari pemanfaatan konten penerbit; 3) menginisiasi aliansi log in atau aliansi data antarpenerbit—bahkan antarperusahaan lintas sektor—guna membangun sistem data pengguna di luar ekosistem data walled garden platform digital.
Agus Sudibyo, Dosen ATVI Jakarta; Anggota Dewan Pers