Parodi: Pembelajaran
Sayalah orang yang bisa memberi makna sehingga saya kuat, saya tangguh, saya menjadi lebih bijak. Pembelajarannya adalah makna hidup itu kekuatan dan saya sejatinya tidak berkonsentrasi pada penderitaan.
Saya merasa bahwa tahun 2021 berjalan dengan sangat cepat. Tentu itu perasaan saya saja. Saya tak tahu perasaan Anda. Karena seharusnya perjalanan setiap tahun sama saja lama dan panjangnya. Meski ada guyonan yang saya dengar, tahun ini setelah Januari kemudian Februari selanjutnya Desember.
Masalah
Sesuai dengan judul di atas, tentu Anda telah bisa menebak bahwa saya akan mengajukan pertanyaan kepada Anda sekalian, pembelajaran apa yang didapat selama tahun 2021 ini. Tidak. Tidak sama sekali. Saya tak berencana menanyakan itu kepada Anda sekalian, pembaca. Saya yang mau bercerita pembelajaran apa saja yang saya dapati pada tahun yang terasa cepat itu jalannya. Semoga Anda tak membalikkan halaman koran ini secepatnya.
Baik. Saya mulai dari bulan Januari. Jangan kaget dulu, saudara-saudari. Saya tak akan bercerita bertele-tele karena jatah saya menulis dalam satu kali artikel ini hanya 5.000 karakter. Itu terlalu sedikit untuk urusan 12 bulan yang mau diringkas.
Tahun ini merupakan kelanjutan tahun 2020 saat pandemi masih berlangsung dengan tak mengenal belas kasihan. Januari adalah bulan di mana saya berulang tahun. Tahun ini saya tak merayakan sama sekali. Bagaimana mau merayakan kalau saya sendiri deg-degan ketemu orang lain. Jadi, untuk pertama kalinya, saya berulang tahun dengan rasa takut.
Tahun lalu, ketika pandemi mengalami puncaknya, saya justru tak takut sama sekali, tetapi entah mengapa memasuki 2021 saya malah semakin keder. Ulang tahun itu merupakan bertambahnya usia, di masa pandemi ini saya banyak membaca dan melihat mereka yang meninggal karena virus keparat itu. Maka, ulang tahun tahun ini seperti weker yang mengingatkan saya bahwa kematian itu seperti berkawan karib dengan bertambahnya usia.
Maka, pikiran saya makin menjalar ke mana-mana, memikirkan kematian di hari jadi. Itu tak pernah terjadi sebelumnya. Saya tak pernah berpikir akan mati saat saya meniup kue ulang tahun.
Pada akhir April, saya terpaksa harus melakukan operasi di sebuah situasi pandemi. Di rumah saja saya kedernya setengah mati, ini harus ke rumah sakit. Saya seperti sedang menjalankan operasi bunuh diri.
La wong virus seganas itu sedang menyerang, saya malah harus operasi. Pembelajarannya adalah saya harus tetap menerima bahwa dalam situasi buruk keburukan akan tetap menimpa. Saya dulu berpikir, kalau saya sedang terpuruk, yaaa… alam ini tak akan menindih saya dengan kejadian buruk lainnya. Ternyata tak demikian adanya.
Makna hidup
Maka, sudah jatuh tertimpa tangga itu terjadi lagi pada akhir Juli. Saya harus melakukan operasi untuk kedua kali di tengah situasi yang semakin runyam. Rumah sakit semakin penuh, banyak pasien yang tak mendapat tempat, berita kematian terus saja terjadi. Namun, apa boleh buat, saya harus operasi dan kali ini harus terbang ke Surabaya.
Bayangkan saudara-saudari, di rumah saya keder, di rumah sakit saya makin keder, maka di dalam pesawat saya rasanya sudah tak bisa bernapas. Saya harus duduk satu jam sekian dalam sebuah ruang tertutup dengan orang-orang lain yang tak saya kenal dan yang tak saya ketahui sehat atau tidak.
Pembelajarannya adalah, kalau saya tertimpa tangga, ada tangga lain lagi yang akan menimpa saya. Dan, sekesal apa pun, semuanya harus dihadapi. Saat itu, Tuhan seperti tak mendengar doa saya, seperti tak mau mengerti bahwa kalau saya ini sudah harus dioperasi dalam sebuah situasi yang sama sakitnya, hambok bebannya diringankan sedikit. Ternyata tidak.
Nah, apakah semua masalah itu akhirnya memberi makna hidup kepada saya? Dulu, saya sering kali berucap, bahkan berterima kasih, bahwa penderitaan atau masalah apa pun membuat saya lebih kuat, lebih sabar, lebih mengerti orang lain. Pokoknya yang ada lebihnya. Karena itu, saya bercerita kepada teman-teman bahwa kalau masalah itu datang, kita itu harus bersyukur. Bersyukurnya bukan karena ujiannya, melainkan perubahan yang terjadi di dalam diri seseorang selama badai itu berlangsung.
Namun, tahun ini saya mulai berpikir bahwa penderitaan itu atau masalah seberat apa pun itu tidak memberi makna hidup apa pun kepada saya. Penderitaan atau masalah itu hanya bisa menjadi masalah. Ia tak bisa membuat saya memiliki makna hidup. Sayalah yang meletakkan makna hidup di masa penderitaan itu berlangsung.
Kalau saya mengatakan hal-hal baik di atas dan berterima kasih kepada masalah, saya merasa itu sangat keliru besar. Sayalah orang yang bisa memberi makna sehingga saya kuat, saya tangguh, saya menjadi lebih bijak. Pembelajarannya adalah makna hidup itu kekuatan dan saya sejatinya tidak berkonsentrasi pada penderitaan, tetapi pada makna hidup. Jadi, saya itu mampu melewati karena saya berpegang pada makna hidup yang lahir karena penderitaan, tetapi bukan diberikan penderitaan. Makna hidup itu lahir dari pemikiran, dari akal saya. Masalah atau penderitaan itu sebuah kata benda yang tak punya akal. Jadi, ia tak bisa memberi apa-apa.
Saya tak akan berterima kasih pada penderitaan atau masalah. Tidak sekarang dan tidak untuk selama-lamanya.