Apakah kita masih percaya akan negara hukum di negara ini? Ataukah negara hukum diam-diam memang sudah tergantikan dengan negara kekuasaan, yang sudah diingatkan jauh-jauh hari oleh ”founding fathers” kita?
Oleh
HARRY TJAN SILALAHI
·3 menit baca
Keriuhan di balik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 91/PUU-XVIII /2000 tentang uji formil UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja mengingatkan kita kembali pada asas dasar bernegara di republik ini, yaitu asas Pancasila dan prinsip dasar Indonesia sebagai negara hukum.
Sudah sejak awal republik ini berdiri, Soekarno sudah menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum (Rechtsstaat) bukan Negara Kekuasaan (Machtstaat). Oleh karena itu, hukum menjadi salah satu pilar penting bagi negara ini, dan prinsip ini pada umumnya disepakati oleh presiden, siapa pun di negeri ini.
Namun, sayangnya, landasan yang amat mulia tersebut dalam pelaksanaannya masih amat jauh dari harapan publik. Bahkan, hanya lebih dirasakan sebagai retorika daripada sebagai perintah imperatif Konstitusi kepada para penyelenggara negara.
Berkaca dari kasus putusan MK di atas, kita melihat bahwa salah satu putusan MK terutama menyoroti proses pembuatan UU Cipta Kerja yang tergesa-gesa dan mengabaikan kritik ataupun masukan dari pihak masyarakat. Dengan ketergesaan ini, seakan negara membungkam suara kritis terhadap UU Cipta Kerja.
Dengan ketergesaan ini, seakan negara membungkam suara kritis terhadap UU Cipta Kerja.
Keputusan MK memberikan pertanda eksplisit bahwa proses penyusunan UU Cipta kerja ”inkonstitusional”. Bila hal ini dibiarkan, itu akan menjadi kebiasaan dalam praktik negara hukum kita ini. Kita tentu berharap bahwa proses pembuatan sebuah UU juga mendapatkan penghormatan dan legitimasi dari masyarakat, memberikan ruang sebesar-besarnya bagi masyarakat berpartisipasi serta turut memberikan kritik.
Perdebatan yang sehat dalam penyusunan regulasi akan menjadikan aturan tersebut sudah mendapatkan legitimasi publik. Walaupun proses semacam ini akan memakan waktu lebih lama, jika proses sudah berjalan dan mendapat kesepakatan, kritik-kritik akan berkurang, ketimbang tidak memberi ruang kepada masyarakat untuk bersuara. Publik sudah merasakan sense of belonging regulasi yang sudah melewati perdebatan publik yang sehat.
Dengan situasi demikian, pasca-putusan MK kita seolah kembali ke titik nol dalam bahasan UU terkait Cipta Kerja. Putusan MK tak sepenuhnya menyatakan UU Cipta Kerja adalah inkonstitusional, tetapi juga memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk memperbaikinya. Namun begitu, ada kondisi di mana kekosongan aturan bisa berjalan.
Penulis pribadi juga memiliki pengalaman pribadi terkait dengan negara hukum yang tidak sepenuhnya berjalan. Penulis terlibat dalam kepengurusan Yayasan Universitas Trisakti dan sudah berkali-kali dilakukan upaya untuk mengeksekusi putusan Mahkamah Agung, tetapi di lapangan selalu terjadi kegagalan.
Sulit dieksekusi
Penulis sendiri tak mengerti mengapa hal ini terjadi, mengapa sesuatu yang sudah diputuskan oleh pengadilan tertinggi (incracht), kasus yang sudah puluhan tahun berlangsung ternyata tak dapat diikuti dengan eksekusi yang harusnya dimiliki oleh pemenang yang ditentukan oleh pengadilan.
Tentunya masih ada banyak contoh lain yang bisa kita sebut tentang bagaimana negara hukum yang kita harapkan bisa memberikan kepastian hukum, keamanan, dan kenyamanan bagi warga negara pada akhirnya tidak terlaksana secara penuh.
Kita juga melihat bagaimana dalam banyak kasus masyarakat kecil kerap kalah di pengadilan ketika berhadapan dengan kekuasaan-kekuasaan yang lebih besar dari dirinya.
Dalam kondisi ini, apakah kita masih percaya akan negara hukum di negara ini?
Dalam kondisi ini, apakah kita masih percaya akan negara hukum di negara ini? Ataukah negara hukum diam-diam memang sudah tergantikan dengan negara kekuasaan, yang sudah diingatkan jauh-jauh hari oleh founding fathers kita?
Kita tentu berharap bahwa pemerintah, aparat hukum, dan aparat pengadilan menjadi lembaga yang bisa diandalkan independensinya, bisa diandalkan dapat menegakkan hukum dan keadilan, sehingga mereka yang berperkara secara hukum akan betul bisa menumpukan harapannya pada putusan peradilan.
Tanpa putusan peradilan yang adil dan memenuhi kaidah hukum, ke mana lagi lalu keadilan akan dicari?
Harry Tjan SilalahiAnggota Dewan Pendiri CSIS Jakarta