Penguasaan Diri Para Politisi
Di republik ini sering terjadi keributan mungkin karena banyak orang merasa paling berjasa, pintar, bijak, seolah-olah peduli kepada rakyat yang menderita. Mereka menutup diri pada penderitaan rakyat.
Jagat media sosial riuh terkait dengan pernyataan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang meminta Presiden Joko Widodo agar segera mencopot Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Alasannya, sang menteri mengurangi anggaran MPR dan tidak menghargai undangan rapat MPR.
Alasan Menteri Keuangan mengurangi anggaran MPR sangat masuk akal, yakni adanya refocusing anggaran untuk menanggulangi persoalan akibat pandemi Covid-19. Pengurangan tidak hanya untuk MPR, tetapi juga mencakup semua lembaga negara dan instansi lainnya.
Kebijakan Menteri Keuangan yang lebih mengutamakan kepentingan masyarakat umum seharusnya diapresiasi. Namun, kebijakan dan terutama ketulusan hati Sri Mulyani sulit dipahami pimpinan MPR karena mungkin kenyamanan mereka terusik. Hal ini menunjukkan kekurangpekaan pada penderitaan rakyat.
Lihat video: Tak Hadir Bahas Anggaran, Pimpinan MPR Minta Sri Mulyani Dicopot
Di republik ini sering terjadi keributan mungkin karena banyak orang merasa paling berjasa, pintar, bijak, seolah-olah peduli kepada rakyat yang menderita sehingga mudah sombong dan bermulut besar. Akhirnya, mereka menutup diri pada ketidakmampuan dan ketidakpeduliaannya pada penderitaan masyarakat.
Penguasaan diri
Setiap orang mengalami betapa terbatasnya kemampuan mencinta, bahkan cintanya dapat bertumbuh salah. Ini barangkali berhubungan dengan sifat rapuh manusia. Namun, ada momen ketika cinta itu menjadi sempurna, selesai, genap, lengkap. Lalu, peradaban membuat cinta itu menjadi kenyataan hidup sehari-hari dalam ruang dan waktu melalui kepedulian kepada sesama.
Sejak Voltare, ahli filsafat dari Perancis, peradaban menjadi istilah sosiologis untuk menunjuk unsur budaya yang dianggap halus dan indah, seperti kesenian, ilmu pengetahuan dan teknik, kepandaian menulis, kecakapan berorganisasi, pengembangan produksi makanan, serta dagang. Peradaban menunjuk pengembangan kebersamaan yang nyata dalam sistem hubungan dan komunikasi.
Para politisi memang akan berhadapan dengan penderitaan masyarakat akibat konflik yang ada di masyarakat, yakni konflik antara kaya dan miskin; konflik kepentingan bisnis dan penyelamatan lingkungan hidup serta yang lebih mudah ”dikompor-kompori” adalah konflik mengatasnamakan agama.
Bagaimana para politisi sebagai wakil rakyat ”manusia paling unggul” dari antara rakyat hadir di tengah penderitaan masyarakat untuk melahirkan peradaban kasih?
Pertanyaannya adalah bagaimana para politisi sebagai wakil rakyat ”manusia paling unggul” dari antara rakyat hadir di tengah penderitaan masyarakat untuk melahirkan peradaban kasih? Dalam hal ini dibutuhkan keberanian para politisi untuk memberikan kesaksian yang lebih konkret, turut berempati pada rakyat yang menderita.
Tugas dan perjuangan para politisi bersama rakyat adalah untuk membangun peradaban kasih dengan mewujudkan keadilan dan kebenaran yang merupakan dua daya pengikat yang tak terpisahkan. Tujuan itu akan tercapai kalau diiringi dengan mengasah compassion dan penguasaan diri.
Sejak dahulu para filsuf Yunani telah merumuskan bahwa enkrateia (penguasaan diri) termasuk kebajikan ulung. Enkrateia (en artinya ’di dalam’ dan kratos artinya ’kekuatan/kuasa’) menunjuk kebajikan dan kemampuan politisi menguasai serta mengendalikan diri sedemikian rupa sehingga tidak membiarkan perasaan dan kepentingan pribadinya memengaruhi kebijakan politisnya. Penguasaan diri meliputi segenap aktivitas kepribadian yang menyangkut akal budi, emosi atau perasaan, dan kehendak atau kemauan.
Penguasaan diri termasuk satu aspek penting dalam kecerdasan emosi (emotional quotient). Aspek ini sangat penting karena musuh terbesar manusia bukan berada di luar dirinya, melainkan dalam dirinya sendiri. Ke mana pun seseorang pergi, ia selalu diikuti oleh ”musuh”-nya.
Terkadang, orang berdalih bahwa lingkunganlah yang membuat tidak bisa berkembang. Jika dicermati, hambatan justru muncul dari penguasaan diri yang belum berkembang secara optimal. Kebijaksanaan seseorang terlihat dari kemampuan mengendalikan dirinya. Kebajikan inilah yang membuat seseorang mampu mengendalikan dirinya sehingga dapat menunjukkan kematangan diri dan rohaninya.
Baca juga: Saatnya Berempati pada Rakyat
Orang yang tidak dapat menguasai diri akan jatuh dalam berbagai perbuatan kasar, menjadi manusia yang beringas dan liar tindakannya. Kondrad Lorenz mengenakan istilah ketidakmampuan menguasai diri dengan agresivitas pada kekerasan dalam kaitan dengan bagaimana binatang mengadakan pembunuhan untuk tetap survival tanpa mengindahkan dunia sekitarnya (A Storr, Human Destructivenes, New York 1975).
Agresivitas mendorong setiap orang will to power, keinginan untuk berkuasa. Will to power merupakan perjuangan lanjut demi eksistensi, untuk ”meninggikan” diri sendiri, dan sasaran akhir agresivitas adalah untuk mencapai kekuasaan.
Will to power merupakan perjuangan lanjut demi eksistensi, untuk ”meninggikan” diri sendiri, dan sasaran akhir agresivitas adalah untuk mencapai kekuasaan.
Kompetisi dalam mengejar will to power terjadi pada semua level kehidupan, dari sperma di dalam sistem genital perempuan, hingga persaingan demi afirmasi status, independensi, dan sinyifikansi. Melalui kompetisi manusia mencari status dan prestise, berkompetisi dalam turnamen-turnamen, money politic dan menabuh hoaks dalam usaha perolehan suara, memenuhi kebutuhan-kebutuhan akademis, atau mau mencapai suatu insight transendental.
Dalam arti ini power merupakan keyakinan personal bahwa seseorang bernilai berkat pengakuan dari yang lain. Sedangkan aksi merupakan bentuk penegasan diri individual seseorang dalam memperoleh power atas aneka macam kekuatan di luar dirinya.
Selanjutnya kekerasan karena tidak mampu menguasai diri bukanlah hasil logis dari agresivitas yang kompetitif. Kekerasan berakar dalam keseluruhan kebutuhan manusia untuk bertindak demi perjuangan hidup; sesuatu yang eksklusif dari hasil kecerdasan manusia dan yang berperan sebagai suatu solusi alternatif atas persoalan eksistensi.
Kekerasan merupakan reaksi terhadap ketakberkuasaan, ketakberdayaan, atau ketidakmampuan untuk ”menjadi”. Kekerasan terjadi jika seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya demi power dengan cara-cara normal.
Sederhananya, kekerasan merupakan ekspresi ketidakmampuan atau ungkapan ketakberdayaan.
Sederhananya, kekerasan merupakan ekspresi ketidakmampuan atau ungkapan ketakberdayaan. Aksi-aksi kekerasan memberikan kepada individu suatu cita rasa power yang pada gilirannya menganugerahkan kepadanya suatu cita rasa makna dan identitas.
Tampilan jalan hidup para politisi yang berbela rasa dan memiliki kemampuan menguasai diri digambarkan oleh Wallace D Wattle dalam bukunya, The Science of Being Great (Ilmu Menjadi Orang Besar), sebagai sesuatu mental attitude atau yang biasa disebut dengan gaya pikir yang diperlihatkan dalam gaya hidup. Pandangan Wallcae D Wattle dapat menjadi inspirasi salah satu gaya politik yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia untuk menghidupkan kembali karakter bangsa yang sudah sempat dibumihanguskan oleh para pemimpin politik dan negara yang menjadikan kenyamanan diri sebagai tujuan utama politik serta berakibat pada penderitaan dan pemiskinan rakyat dalam beragam dimensi.
Baca juga: Politik Era Pandemi
Terima kasih Sri Mulyani
Sejatinya masyarakat Indonesia bersama politisi harus berterima kasih dengan hadirnya putri terbaik bangsa ini, Sri Mulyani Indrawati, atas kasihnya, kehadirannya, sumbangan pikiran, dan bakti kepada masyarakat Indonesia dengan mengatur dan mengelola keuangan negara secara baik, benar, dan akuntabel.
Terima kasih berasal dari dua kata, yakni terima dan kasih. Kasih lebih dari sekadar pemberian. Kasih itu menghidupkan karena ada tiga unsur penting di dalamnya, yakni penghargaan, penerimaan, dan pengakuan. Penghargaan dimaknai sebagai apresiasi atas dedikasi yang luar biasa Ibu Sri Mulyani yang memiliki competensi (dapat diandalkan), conscience (pengetahuan), serta compassion (bela rasa dan moralitas).
Penerimaan lebih terkait pada masih ada kekurangan akibat kelemahan manusiawi, tetapi sekalipun masih ada kelemahan dalam diri Sri Mulayani, dia harus tetap diakui sebagai orang yang turut serta membangun peradaban masyarakat Indonesia melalui pelayanannya. Sementara itu, pengakuan sebagai kesempatan untuk menjadikan teladan hidup, keberanian, dan semangat yang telah ditunjukkan Sri Mulyani untuk diikuti oleh generasi berikut siapa pun nanti yang duduk mengampu tugas menteri keuangan atau menduduki jabatan strategis di negeri ini.
Elias Situmorang, Direktur Rumah Pembinaan Fransiskan Nagahuta-Simalungun, calon Peserta Kursus Reguler ke-64 Lemhannas RI