Semoga Indonesia bisa memiliki pabrik baterai terbesar di dunia, pabrik-pabrik mobil listrik, dan berperan serta signifikan dalam upaya mengatasi perubahan iklim dengan mengubah gaya hidup keseharian.
Oleh
Endang TR
·7 menit baca
Rubrik Humaniora Kompas (Kamis, 2/12/2021) memuat berita literasi digital berjudul ”Informasi Berkualitas untuk Pendidikan”. Saya, nenek dari seorang cucu, mengusulkan literasi digital tentang perubahan iklim untuk anak-anak Indonesia.
Pengalaman menjadi supernanny cucu, yang kebetulan home schooling, untuk membangkitkan daya imajinasi, saya rajin mencari informasi daring dan luring—di luar pelajaran dasar membaca-menulis-menghitung—tentang berita science isu-isu terkini. Perubahan iklim makin nyata saat cucu saya berumur 19 tahun, 10 tahun mendatang.
Namun, saya belum menemukan informasi yang secara sederhana bisa saya olah menjadi percakapan dengan cucu. Satu contoh tentang transportasi, akan mudah bagi saya menanamkan nilai atas perubahan iklim jika anak-anak dapat menghitung berapa kontribusi kerusakan iklim yang dia timbulkan jika dia mengendarai motor, mobil dengan empat penumpang, bus dengan 50 penumpang, kereta api, kapal laut, atau pesawat terbang.
Atau contoh lain, seperti saat mencuci baju dan seprai menggunakan detergen, serta contoh-contoh lain yang lekat dengan keseharian. Saya belum menemukan tabel sederhana perubahan iklim yang bisa saya ajarkan kepada cucu. Tabel ini mudah dibuat jika ada transparansi dari manufaktur, pabrik, dan produsen.
Rubrik Opini Kompas (Jumat, 3/12/2021) memuat judul ”Menaklukkan Dunia” yang membahas cadangan nikel Indonesia dan kendaraan listrik. Ada benang merah spiritual yang ingin saya tarik, semoga Indonesia bisa memiliki pabrik baterai terbesar di dunia, pabrik-pabrik mobil listrik, dan berperan serta signifikan dalam upaya mengatasi perubahan iklim dengan mengubah gaya hidup keseharian. Ini bisa dimulai dari anak-anak Indonesia.
Endang TR
Bukit Pamulang Indah, Tangerang Selatan, 1541
Tanggapan First Media
Menanggapi surat Bapak Antyo R (Kompas, 4/11/2011) berjudul ”Sewa Modem”, dengan ini kami sampaikan beberapa informasi berikut.
Kami telah menghubungi pelanggan untuk menjelaskan masalah yang dikeluhkan. Perihal perangkat dan biaya sewa, keluhan ini telah kami terima sebelumnya yang kemudian kami tindak lanjuti dengan informasi dan solusi.
Setiap paket layanan Cable TV dan Fixed Broadband Internet First Media merupakan satu kesatuan dengan perangkat pendukung, termasuk modem, router, dan sebagainya. Setiap perangkat memiliki spesifikasi yang disesuaikan dan diintegrasikan dengan sistem First Media. Informasi ini tertuang dalam Syarat dan Ketentuan Layanan First Media, dapat diakses melalui situs web resmi First Media.
Terima kasih telah memilih layanan First Media untuk mendukung aktivitas dan produktivitas Anda sekeluarga.
Niki Sanjaya
Head of Marketing Communication, PT Link Net Tbk (First Media)
Pohon Trembesi
Iklan Djarum Trees For Life di Kompas (Senin, 29/11/2021) dengan judul ”Jutaan Pohon untuk Negeri, Serap Karbon Selamatkan Bumi” membuat mata saya terbuka.
Beberapa hari lalu ketika melewati ”terowongan” pohon di Jalan Raya Serang, antara Bitung dan Citra Raya Cikupa, saya takjub dan merasa benar-benar dalam terowongan. Itu hasil bentukan dua buah pohon besar di sisi kanan kiri Jalan Raya Serang tersebut.
Terowongan alami itu dibentuk akibat truk-truk kontainer yang saat lewat memotong ranting dan dedaunan sehingga membentuk dinding atas yang rapi. Jalan raya dengan lebar empat jalur kendaraan itu bisa tertutup rapat oleh pohon yang sangat besar.
Membaca karakteristik pohon trembesi pada iklan tersebut, saya berkesimpulan itu adalah pohon trembesi.
Ketika bekerja di sebuah pabrik di Jalan Raya Serang Km 12 tahun 1992, tiap hari saya menumpang kendaraan umum melewati kedua pohon tersebut. Tidak ada yang istimewa karena pohon-pohon masih muda. Jalan Raya Serang kala itu panas dan berdebu, tetapi kini sejuk dengan pohon-pohon besarnya. Perlu 25-30 tahun (1992-2021) untuk menikmati pohon besar seperti sekarang. Sungguh waktu yang panjang.
Terima kasih kepada mereka yang terlibat penanaman pohon trembesi dan menghijaukan Indonesia.
Djoko Madurianto Sunarto
Jl Pugeran Barat, Yogyakarta 55141
Kritik Itu Perlu
Mengamati saling serang di media sosial, sungguh memprihatinkan. DPR sebagai lembaga seyogianya berfungsi benar sebagai pemegang amanat legislatif yang sehat.
Di sana tempat anggota yang katanya mewakili rakyat untuk berkiprah. Bukan malah meramaikan informasi tidak sehat di media sosial.
Contoh bentuk kritik yang sehat dan memberi tawaran perbaikan dapat kita baca dalam tiga artikel Kompas pada Kamis (2/12/2021) dan Kamis (11/11/2021). Uraian runtut M Chatib Basri, Azyumardi Azra, dan Bivitri Susanti saya anjurkan agar ditelaah pembaca.
Saya ingin memulai dengan menanggapi tulisan Azyumardi Azra. Otda melahirkan raja-raja kecil di daerah. KKN tumbuh subur. Keluarga kepala daerah, istri, anak, mantu ditangkap dalam kasus korupsi dan jual beli jabatan.
Munculnya kasus korupsi baru tidak dapat dilepaskan dari berbagai upaya pelemahan pemberantasan korupsi. Misalnya Revisi UU Antikorupsi, yang merupakan tanggung jawab dari pemerintah juga. Untuk situasi darurat korupsi seperti dinyatakan Kompas, sebagai awam saya lebih percaya langkah Presiden yang dikritisi Azyumardi lebih tepat dibandingkan kekenesan daulat rakyat.
Daulat pemerintah diharapkan dapat mengamankan kebijakan pemerintah. Namun, ini hanya sebagai tindakan sesaat jangka pendek. Tantangannya, apakah pendamping presiden cukup loyal dan kompeten mendukung kebijakan dalam lingkungan politik transaksional seperti saat ini.
Tulisan Bivitri dapat mendukung pendapat Azyumardi dari sisi pandang substansi demokrasi.
Hari-hari ini demokrasi seperti cangkang kosong. Terlihat bagus di luar, tetapi tidak berisi. Nilai-nilai demokrasi substantif tidak diterapkan karena yang dihitung hanya pandangan umum fraksi yang dikontrol elite partai. Individu anggota DPR hanya melengkapi jumlah anggota.
Pendapat Bivitri (Kompas, 11/11/2021) juga mendukung tulisan Chatib Basri dalam hal ketimpangan. Data Credit Suisse Global Wealth Databook 2019 menunjukkan, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6 persen kekayaan nasional dan 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 74,1 persen kekayaan nasional.
Dapat dibayangkan terbentuknya oligarki politik melihat mereka yang mengisi kursi di DPR ataupun MPR.
Chatib bertukar pikiran dengan pemenang Nobel, Amartya Sen, yang datang dari negara dengan beberapa kemiripan dengan Indonesia. Cuplikannya menarik: pemulihan ekonomi pascapandemi menuntut pembangunan yang semakin inklusif. Mengapa?
Ada soal besar menanti: ketimpangan pendapatan, risiko memburuknya kualitas manusia (pendidikan dan kesehatan), dan ketimpangan jender. Perekonomian memang berangsur membaik, tetapi ada risiko pemulihan yang timpang. Namun, Chatib juga menawarkan solusi.
Bivitri mengingatkan, pembangunan infrastruktur tidak boleh dilihat sebagai tujuan, tetapi cara menyejahterakan warga (baca: manusia).
Sekiranya saja tiga pandangan para pengamat profesional di atas dijadikan masukan, dalam sisa waktu yang pendek periode kedua Presiden Jokowi akan memperoleh jalan pemecahan banyak masalah. Keberpihakan kepada kepentingan rakyat banyak perlu dibuktikan dengan nyali politik. Tingkat kepercayaan masyarakat perlu dibina dan pengganggu kebijakan yang anarkistis perlu ditangani.
VUCA 2.0 Bill George menjadi relevan. Semoga.
Hadisudjono Sastrosatomo
Anggota Tim Pengarah Etika Bisnis dan Organisasi SS-PEBOSS–STM PPM
Menteng Raya, Jakarta 12970
Bayar atau Gratis?
Pada Senin (8/11/2021), saya ke Kantor Kas BNI Cempaka, Kelurahan Sungai Besar, Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
Saya, yang antre di layanan pelanggan (CS) untuk mengganti kartu ATM dengan yang bercip, mengamati kejadian aneh oleh petugas CS itu.
Saat giliran saya, ia meminta Rp 25.000 sebagai biaya penggantian kartu ATM dengan yang bercip. Saya minta kuitansi dan diberi kuitansi biaya kartu.
Beberapa bulan lalu, ketika pertama kali ada program penggantian kartu ATM BNI dengan kartu bercip, saya juga diminta biaya yang sama. Esok harinya saya tunjukkan notifikasi di HP saya bahwa penggantian kartu ATM dengan yang bercip gratis. Lalu, uang saya dikembalikan.
Tampaknya pungutan itu juga dilakukan kepada orang lain. Selama menunggu, saya mengamati pemungutan itu beberapa kali.
Apakah memang ada pungutan untuk mengganti kartu ATM dengan yang bercip? Apakah juga ada biaya resmi untuk membuka rekening?
Kalau memang ada biaya, sebaiknya pakai kuitansi dan jangan cash ke petugas CS karena bisa menimbulkan banyak dugaan tidak sehat.
Syakrani
Bumi Cahaya Bintang, Banjarbaru, Kalsel
Pasien Covid-19
Pada 17 Juli 2021, istri saya dinyatakan positif Covid-19. Dokter kemudian merujuk pasien ke IGD RSBM Telukbetung, Bandar Lampung.
Selama 22 hari, pasien dirawat di ruang isolasi. Pada 10 Agustus, atas permintaan pasien, dilakukan tes PCR dan hasilnya negatif. Lalu, pasien dipindah ke ruang perawatan biasa hingga 14 Agustus.
Pasien adalah peserta BPJS Kesehatan aktif. Namun, sejak dirawat di ruang IGD, ruang isolasi, dan ruang rawat biasa, kami beberapa kali diminta membayar deposit ke RSBM.
Hingga pasien pulang, total biaya RS Rp 98.877.736. Keluarga terpaksa membayar mengingat kondisi pasien memerlukan penanganan medis yang baik.
Pemerintah telah menetapkan Covid-19 sebagai pandemi dan bersifat kedaruratan nasional sehingga pembiayaan rawat pasien Covid-19 ditanggung pemerintah.
Kami telah mengajukan klaim ke Dirjen Yankes via e-mail, Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung, BPJS Kesehatan Cabang Lampung, dan pihak RSBM. Namun, dijelaskan bahwa RSBM bukan RS rujukan sehingga tidak bisa melayani pengajuan klaim.