Kasus kekerasan seksual bukan lagi kondisi darurat, melainkan akut sehingga negara harus hadir dengan instrumen hukum yang kuat, dalam bentuk undang-undang. Karena itu, tidak ada alasan menunda RUU TPKS.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Keputusan DPR menyetujui Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk diajukan sebagai inisiatif DPR merupakan langkah maju yang ditunggu-tunggu selama ini.
Alarm darurat kekerasan seksual sudah berkali-kali berbunyi nyaring, mengetuk kepekaan dan kepedulian kita, terutama negara, untuk melakukan tindakan nyata guna mencegah dan mengatasi masalah ini.
Sudah banyak pelajaran berharga, terutama dari kasus kekerasan seksual yang berujung pada hilangnya nyawa korban, seperti kasus NWR baru-baru ini dan kasus Yuyun, pelajar SMP di Bengkulu, pada 2016.
Data Komnas Perempuan menunjukkan, pada periode 2015-2020 terdapat 11.975 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan ke Komnas Perempuan (Kompas, 9/12/2021).
Jika menilik kasus kekerasan terhadap perempuan yang terus meningkat, pada Januari-Oktober 2021 terdapat 4.500 kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan atau meningkat dua kali lipat dibanding tahun 2020, dipastikan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan pun meningkat.
Kasus yang tidak dilaporkan dipastikan lebih banyak lagi. Tidak adanya perlindungan hukum yang memadai bagi korban membuat banyak korban/keluarga korban memilih diam untuk menghindari viktimisasi bertingkat terhadap mereka.
Sejumlah kasus yang sampai ke ranah hukum pun tidak memberikan keadilan bagi korban. Ini mulai dari pembuktian yang dibebankan kepada korban hingga hukuman terhadap pelaku yang terbilang ringan, bahkan tak jarang pelaku bebas.
Hukum pidana hanya menempatkan kekerasan seksual sebagai tindak pidana kejahatan kesusilaan, padahal ini merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan.
Hukum pidana hanya menempatkan kekerasan seksual sebagai tindak pidana kejahatan kesusilaan, padahal ini merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, pelanggaran hak asasi manusia. Daya dukung pemulihan korban pun terbatas, padahal kasus kekerasan seksual bisa berdampak trauma seumur hidup, termasuk hilangnya masa depan korban.
Kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja, terutama perempuan dan anak perempuan, dan bisa terjadi di mana saja termasuk di institusi pendidikan. Setelah mencuat kasus kekerasan seksual di kampus, muncul kasus kekerasan seksual di pendidikan dasar dan menengah.
Ini pun hanya fenomena gunung es, relasi kuasa antara pelaku dan korban membuat kasus kekerasan seksual di institusi pendidikan sering kali tak mudah terdeteksi.
Karena itu, kasus kekerasan seksual bukan lagi kondisi darurat, melainkan akut sehingga negara harus hadir dengan instrumen hukum yang kuat, dalam bentuk undang-undang. Tidak ada alasan lagi untuk menunda-nunda, DPR harus segera membahas dan mensahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
Mengingat urgensinya pencegahan kekerasan seksual serta perlindungan maupun pemulihan korban, juga belajar dari kasus UU Cipta Kerja, pembahasan RUU TPKS harus benar-benar berperspektif pada korban.
Proses pembahasan merupakan waktu untukmenyempurnakan kekurangan-kekurangan yang masih ada, dan semua pihak mempunyai tanggung jawab untuk mengawal proses pembahasan RUU TPKS.