Di situ ia menceritakan dua dari anak-anak keluarga Soejono dari Indonesia yang pada Perang Dunia II berdiri di pihak Belanda ikut melawan fasisme Jerman di Eropa sekaligus memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Oleh
Bre Redana
·3 menit baca
Teman baik Joss Wibisono menyelesaikan pendidikan master di Universitas Amsterdam dengan membahas soal fasisme dan genosida oleh Jerman pada tahun 1940-an. Saya gembira mendengarnya. Selain saya sendiri senantiasa mimpi sekolah lagi tapi tak kunjung kesampaian hingga kini, saya tertarik karena dia membahas fasisme—subyek yang entah mengapa kurang mendapat perhatian di Indonesia.
Subjudul tesisnya ”The Soejono family in the Dutch resistance during World War II and their struggle for independence of their home country”. Di situ ia menceritakan dua dari anak-anak keluarga Soejono dari Indonesia yang pada Perang Dunia II berdiri di pihak Belanda ikut melawan fasisme Jerman di Eropa, menyembunyikan orang-orang Yahudi dari kejaran tentara Jerman, sekaligus memperjuangkan agar Indonesia diberi kesempatan menentukan nasib sendiri lepas dari kolonialisasi Belanda.
Membaca tesis yang ia tulis dalam bahasa Inggris dengan cermat, sebagaimana kecermatannya dalam menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa apa saja, seketika saya ingat kawasan Osdorp, Amsterdam. Di pojok jalan tempat kami biasa kongko minum bir, terdapat papan nama bertulis Irawan Soejonostraat, artinya Jalan Irawan Soejono. Inilah yang mengilhaminya memilih subyek tadi.
Soejono, ayah Irawan, adalah menteri pemerintahan Belanda di pengasingan (di London) tatkala Belanda diserbu Jerman pada awal Perang Dunia II. Dua dari empat anak keluarga Soejono, Irawan dan kakak perempuannya Mimi, waktu itu tetap tinggal di Belanda. Irawan yang masih duduk di bangku kuliah di Universitas Leiden melakukan kegiatan spionase dan sabotase terhadap Jerman.
KOMPAS/NELI TRIANA
Sepeda, kanal, jembatan, dan bunga warna-warni menjadi pemandangan umum di Amsterdam, Belanda yang dikenal memiliki banyak akses untuk pesepeda maupun pejalan kaki ini. Gambar diambil pada 1 Juli 2019.
Selain itu, bersama teman-temannya ia membikin terbitan berkala bertajuk ”De Bevrijding”. Media cetak harus punya roh, dan roh terbitan berkala ini menurut berbagai arsip di Belanda adalah Irawan Soejono. Sejumlah pihak ikut menyebarluaskan secara diam-diam, termasuk Mimi yang berjibaku mengecoh tentara Jerman membawa terbitan itu ke mana-mana.
Berjuang bagi kalangan mahasiswa yang terhimpun dalam Perhimpoenan Indonesia (PI, sebelumnya bernama Indische Vereeniging) bukanlah hal yang asing. Mereka menyembunyikan para keluarga Yahudi dan anak-anak dari ancaman pembantaian oleh pasukan Jerman. Mereka mencarikan tempat perlindungan, bagi-bagi kupon, uang, dan menyediakan makanan. Untuk yang terakhir itu, Irawan ikut memasak—hal istimewa kalau mengingat dia adalah lelaki putra priayi.
Tidak hanya sebatas membikin penerbitan dan memberikan perlindungan bagi keluarga Yahudi, Irawan angkat senjata, membentuk pasukan bernama Komando Soerapati.
Dalam gejolak perjuangan tersebut tercatat nama-nama lain, seperti Slamet Faiman, Moen Soendaroe, Sidartawan, dan Maroeto Daroesman. Nama terakhir itu nantinya muncul dalam peristiwa Madiun tahun 1948. Para pejuang ini umumnya memang orang-orang kiri.
Malang tak dapat ditolak. Saat itu Irawan tengah bersepeda, membawa mesin cetak stensil yang usai direparasi. Ia terperangkap razia tentara Jerman, ditembak mati di daerah yang saya sebut di atas, pojok jalan yang kini bernama Irawan Soejonostraat. Tanggal 13 Januari 1945. Waktu itu usianya 25 tahun.
Beberapa teman seperjuangan mengalami nasib sama. Moen Soendaroe dan Sidartawan tewas di kamp konsentrasi.
Tentang Maroeto Daroesman yang nantinya menikah dengan Mimi, ia sempat menduduki jabatan menteri di masa awal republik, di bawah Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin. Tahun 1948, bersama nama-nama lain, seperti Soeripno, Setyadjit, mereka terlibat peristiwa Madiun dan semua dieksekusi mati.
Menurut Joss kepada saya, sebenarnya ada penyintas orang Yahudi bernama Celina dan Jarti yang ketika itu ikut diselamatkan, berniat mengusulkan Irawan dan Slamet Faiman sebagai penerima hadiah Yad Vashem dari pemerintah Israel. Hanya saja Faiman, yang meninggal tahun 1985, tidak bersedia diusulkan sebagai penerima hadiah.
Pejuang tidak menuntut upah. Yang menuntut upah, hadiah, jabatan, bukan pejuang melainkan makelar.
Lalu apa yang mereka perjuangkan? Mereka berdiri di pihak yang melakukan kolonialisasi atas negerinya, di lain pihak memperjuangkan kemerdekaan negeri.
Mereka memperjuangkan nilai. Bukan sosok, tokoh, yang mereka bela. Memuja orang kita bakal kecewa. Apalagi memuja penguasa. Selain tidak ada manusia sempurna, kadang penguasa yang kita bela sejatinya penipu, psikopat.
Yang mereka bela kebebasan, humanisme, dan kemanusiaan. ***