Memegang senjata memengaruhi perasaan seseorang. Pegang pisau, golok, orang jadi lebih berani. Apalagi pegang pistol. Orang jadi percaya diri luar biasa, bahkan cenderung jadi congkak dan semena-mena.
Oleh
Bre Redana
·3 menit baca
Akhir Oktober bersama saudara-saudara dalam lingkaran persaudaraan persatuan gerak badan kami menyelenggarakan retreat di padepokan Guru di bilangan Cisarua, Jawa Barat. Hampir dua tahun kami tidak pernah bertemu langsung, kalau dibandingkan masa sebelumnya bertemu boleh dibilang tiap hari. Ketika keadaan kami rasa cukup memungkinkan kami menentukan berkumpul kembali—kangen-kangenan.
Padepokan berada di tengah jantung kawasan wisata Puncak. Dibangun almarhum Suhu Subur Rahardja tahun 70-an dulu tempat ini seperti tempat jin buang anak saking sepinya. Dikarenakan magnet seorang Suhu, pada era 70-an inilah oase bagi anak-anak muda yang sedang resah, termasuk keresahan mencari spiritualitas baru yang merupakan Zeitgeist masa itu.
Bukan hanya yang berminat pada olah tubuh datang ke sini tapi juga para seniman aktivis seperti Rendra, Sjumandjaja, Adi Kurdi, Hardi, Ibrahim Zakir, dan lain-lain. Bahkan komposer/spiritualis India Ravi Shankar yang namanya selalu dikaitkan dengan The Beatles pernah berkunjung ke sini.
Seiring zaman yang berubah cepat kawasan ini jadi ramai luar biasa, rumah dan vila berimpitan, mobil penuh sesak di akhir pekan, terlebih sekarang ketika orang terjangkit euforia pelesiran. Padepokan adalah sedikit tempat yang masih sepi meski mata air serta parit-parit di sekeliling telah lama mengering.
Malam dalam suara hujan kami berbincang tak berkejuntrungan sama seperti cuaca yang tak keruan. Mengingat ini perguruan silat, banyak teman menuturkan bahwa dulu mereka ke sini karena ingin jadi pendekar, siapa tahu bisa ginkang, bisa terbang seperti dalam film-film silat. Sebagian dari mereka dulu tukang berkelahi.
Kalau seminggu tidak berkelahi badan pegel-pegel, ada yang berucap demikian. Pada kesudahannya umumnya mengakui kebenaran nasihat almarhum Suhu, yang perlu dikembangkan adalah api cinta kasih. Ilmu yang baik sifatnya memelihara kebudayaan, bukan merusaknya.
Ilmu yang baik sifatnya memelihara kebudayaan, bukan merusaknya.
”Kalau ada yang datang bilang mau belajar silat agar bisa mengalahkan banyak orang saya usir dia,” kata teman pelatih asal Italia yang kini tinggal di Bali.
Teman yang lain, dari Yogya, menceritakan temperamentalnya dia pada masa lalu. Ia pernah ikut workshop penggunaan senjata.
”Satu pegang pistol satu pegang pisau, dalam jarak lima meter kans fifty-fifty,” ucapnya. ”Jarak tiga meter lebih cepat pisau,” tambahnya.
Dia diajari mengendalikan sifat temperamennya dengan memegang pisau yang diletakkan di meja. Cuma memegang, sampai senjata tidak memengaruhi dirinya.
”Memegang senjata memengaruhi perasaan seseorang. Pegang pisau, golok, orang jadi lebih berani. Apalagi pegang pistol. Orang jadi percaya diri luar biasa, bahkan cenderung jadi congkak dan semena-mena,” katanya.
Mendengarkan ceritanya, saya yang tadinya terkantuk-kantuk tak peduli sontak bangkit, ingat rohaniawan, budayawan, arsitek, pembela kemanusiaan mendiang Y Mangunwijaya. Saya selalu ingat ucapan Romo Mangun, bahwa orang kalau memegang bedil akan menjadi manusia berbeda. Itu semacam peringatan dia: hati-hati dengan militerisme.
Kita sama-sama melihat, pemegang bedil nyatanya memang sering tak terkontrol melakukan tindak kekerasan secara eksesif. Pengunjuk rasa digebuki, mahasiswa dibanting, antarmereka saling tembak. Kesudahannya hanya dianggap salah paham.
Budaya kekerasan dan menang-menangan melekat pada kekuasaan, dan pada gilirannya menggoda banyak pihak mengadopsi budaya tersebut. Jalan raya dibikin bising oleh mobil dengan sirene dan lampu biru berkerjap-kerjap menyingkirkan mereka yang lemah. Lembaga sipil negara yang berkewajiban menjaga supremasi sipil memakai seragam mirip militer.
Quo vadis kita ini?
Malam kian dingin. Teman-teman makin bersemangat bercerita mengenai masa lalu. Bagaimana dari masa lalu yang mereka anggap berantakan, kini mereka merasa menjadi manusia yang sedikit lebih baik.
Sejatinya hanya masa lalu yang bisa diperbaiki. Selain yang tengah kita jalani, kehidupan adanya pada masa lalu. Bukan masa depan. Masa depan adalah void, kosong, tidak ada. Penguasa yang baik adalah penguasa yang sanggup membereskan urusan masa lalu, bukan meneruskan kebrengsekan masa lalu sembari mengumbar janji tentang masa depan.
Saya tidak pernah percaya pada orang yang menjanjikan masa depan. Makin gencar dia bicara masa depan, apalagi disertai foto diri dalam baliho-baliho besar, saya anggap makin besar bohong yang bersangkutan.***