Minimnya keterwakilan kaum perempuan menjadi calon pemimpin dalam perhelatan pilpres tak bisa dilepaskan dari kondisi sosial budaya masyarakat. Untuk mengubahnya, perlu pendidikan berdemokrasi di keluarga.
Oleh
MAULANA JANAH
·4 menit baca
Sejak bergulirnya Reformasi tahun 1998 menjadi momentum untuk melakukan shifting kepemimpinan dalam bingkai demokrasi. Pada tingkat nasional, Indonesia telah menggelar pemilihan presiden secara langsung sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 2004, 2009, 2014, dan tahun 2019.
Hampir dua dekade pasca-Reformasi 1998, calon dan kepemimpinan nasional masih didominasi kaum laki-laki, kecuali pada pemilihan tahun 2004 dan tahun 2009. Data ini menunjukan bahwa keterwakilan perempuan dalam pilpres masih banyak kendala dan problematik.
Paling tidak ada dua kendala. Pertama, kendala internal dalam diri kaum perempuan seperti keinginan (will), kepercayaan (trust), dan keyakinan (belief). Kedua, kendala lingkungan kebudayaan yang membentuk persepsi masyarakat terhadap kaum perempuan yang menjadi calon presiden.
Masyarakat Indonesia memiliki persepsi yang berbeda-beda tentang pemimpin yang dipilihnya. Biasanya, dalam urusan memilih pemimpin atau menjadi seorang calon pemimpin berbanding lurus dengan tradisi yang mereka yakini. Oleh karena itu, sebagai sebuah catatan dan refleksi, sangat menarik apabila melihat kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia yang dihubungkan dengan minimnya keterwakilan kaum perempuan untuk menjadi calon pemimpin dalam perhelatan Pilpres 2024.
Citra domestik dan publik
Ada banyak persoalan yang menyebabkan rendahnya keterwakilan calon peserta pemilu perempuan dalam setiap pemilihan umum, mulai dari persoalan kodrat perempuan dan peran sosial perempuan. Secara kodrati, perempuan diciptakan sebagai manusia yang memiliki perbedaan fisik dengan laki-laki. Namun, secara peran sosial dan kebudayaan, perempuan memiliki banyak kesamaan dengan laki-laki. Dan secara persepsi kebudayaan, citra perempuan di Indonesia masih menjadi kelas kedua setelah kaum laki-laki.
Karena itu, salah satu kajian penting yang patut dikaji dan dicari jawabannya adalah terkait dengan perilaku atau tindakan pemilih. Perilaku atau tindakan pemilih tersebut berkaitan dengan penentuan keputusan dalam memilih calon, maju menjadi calon, dan memilih partai politik tertentu.
Terkait dengan tindakan pemilih tersebut, faktor apakah yang menjadi dasar atau ukuran seseorang mengambil keputusan memilih dan menjadi calon pemimpin? Ada dua faktor penting dalam menjawab pertanyaan tersebut.
Pertama, setiap pemilih memiliki nilai-nilai yang diyakini oleh suatu kebutuhan tertentu. Sikap dan tingkah laku politik seseorang ditentukan oleh apa yang terkandung di dalam dirinya sendiri, seperti idealisme, tingkat kecerdasan, faktor biologis, keinginan, dan kehendak hatinya. Kedua, setiap pemilih memiliki keterkaitan dengan suasana lingkungan kebudayaan, kehidupan beragama, kondisi sosial politik, dan ekonomi.
Berdasarkan jawaban sederhana di atas, terlihat bahwa masyarakat memiliki dasar dan anggapan tertentu pada saat pemilihan presiden, anggapan itu terkait dengan suasana lingkungan kebudayaan yang ada. Misalnya, terkait rendahnya keterwakilan perempuan dalam pemilihan presiden sejak tahun 2004 sampai tahun 2019 disebabkan masih munculnya pola pikir masyarakat yang menganggap kaum laki-laki lebih ”utama”. Pola pikir ini menganggap bahwa laki-laki merupakan pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam berbagai peran sosial.
Masyarakat memiliki dasar dan anggapan tertentu pada saat pemilihan presiden, anggapan itu terkait dengan suasana lingkungan kebudayaan yang ada.
Sebagai contoh, perempuan dalam tradisi Jawa dan Sunda. Di Jawa, perempuan diberi istilah wadon yang diadaptasi dari bahasa Kawi wadu yang berarti kawula atau abdi. Perempuan diartikan sebagai abdi bagi laki-laki yang dalam konsep pernikahan merujuk pada suami.
Sementara dalam masyarakat Sunda, perempuan sering kali diberi istilah dulang tinande. Istilah ini menggambarkan bahwa sifat perempuan yang senantiasa turut dan patuh pada keinginan suami.
Apabila dianalisis, istilah ini sangat melekat dalam alam pikiran masyarakat Jawa dan Sunda. Sisa-sisa tradisi tersebut dapat dilihat dan dirasakan dalam pergaulan masyarakat, terutama pada masyarakat perdesaan.
Stigma dan sakralitas tradisi
Sebagian masyarakat Jawa dan Sunda masih memandang dan menempatkan perempuan dalam dominasi kaum laki-laki. Diperkuat pula oleh pandangan sebagian perempuan yang menganggap sepanjang masih ada kaum laki-laki, merekalah yang layak menjadi pemimpin.
Masih banyak kaum perempuan belum bisa melepaskan diri dari stigma tersebut. Artinya, mereka belum bebas dan mandiri dalam mengambil keputusan untuk memilih maupun untuk maju menjadi calon pemimpin. Masyarakat masih terjebak pada tradisi yang dianggap ”sakral” dalam lingkungannya, bahkan ada sebagian masyarakat yang memandang tradisi itu sebagai bagian dari ”kesakralan agama”.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa agar terjadi proses perubahan dalam masyarakat, perlu upaya pendidikan berdemokrasi di dalam lingkungan keluarga. Sebab, keluarga merupakan miniatur dari kehidupan masyarakat.
Dalam satu keluarga, keputusan memilih calon atau menjadi calon presiden sangat bergantung pada peran, pemikiran, dan restu sang suami. Inilah yang membuat perempuan yang masih terjebak dalam stigma tradisi yang ada. Apakah pada tahun 2024, paradigma seperti itu akan bisa berubah?
Mulana Janah
Dosen Sosiologi Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Cipasung