Jalan Panjang Pengabdian Politik Perempuan
Hasil penelitian menunjukkan anggota parlemen perempuan lebih banyak bekerja untuk konstituennya dibandingkan dengan legislator laki-laki. Gaya kepemimpinan perempuan juga cenderung kooperatif dan inklusif.
Jalan politik perempuan di Indonesia sama terjalnya dengan perjuangan mereka di bidang kehidupan yang lain. Sejak lama dunia politik didominasi laki-laki. Perspektif patriarkis yang bias pun kerap kali menjatuhkan penilaian kepada perempuan sebagai orang yang tidak dapat memimpin, atau terjun ke politik. Kalaupun mereka terjun ke politik, mereka berisiko dilabeli dengan tidak cakap, tidak pintar, atau hanya bermodalkan relasi. Apakah betul demikian?
Anggapan perempuan tidak cakap memimpin, atau kurang layak terjun ke dunia politik, tak terhindarkan lagi menunjukkan bias pandangan yang menempatkan perempuan sebagai golongan masyarakat kelas dua, tidak berdaya, tidak memiliki kemampuan, dan sekadar pelengkap kehidupan. Dalam praktik budaya hal ini bahkan terinternalisasi dengan ungkapan seperti konco wingking yang mendudukkan posisi perempuan sebagai pelengkap penderita.
Persepsi tentang rendahnya kualitas politisi perempuan menjadi problem ketika membahas kualitas, yang lebih banyak dipersepsikan sebagai kurang berkualitas ialah perempuan. Persepsi negatif itu jarang disampirkan pada politisi laki-laki. Padahal, sebagian besar produk kebijakan di Tanah Air saat ini justru dihasilkan oleh pejabat atau politisi yang umumnya adalah laki-laki.
Baca Juga: Mematahkan Pedang Bermata Dua
Sebagai gambaran, di parlemen, jumlah perempuan anggota legislatif hasil Pemilu 2019 ialah 20,8 persen dari total 575 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jumlah ini masih minim dibandingkan dengan dorongan 30 persen perempuan di parlemen yang sejak lama disuarakan pegiat isu perempuan dan demokrasi di Indonesia. Kendati demikian, hasil 20,8 persen dari Pemilu 2019 sudah membaik dibandingkan dengan hasil Pemilu 2014.
Data dari Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), pada Pemilu 2009 ada 18,2 persen perempuan yang menjadi anggota legislastif. Capaian itu turun pada Pemilu 2014, yakni menjadi 16,8 persen saja. Pada Pemilu 2019, angka itu membaik menjadi 20,8 persen.
Catatan sedikit berbeda diberikan oleh Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP-RI) yang menilai adanya tren peningkatan jumlah perempuan anggota lembaga legislatif pada periode 2019-2024. Baik KPPI maupun KPP-RI keduanya sama-sama kaukus perempuan yang bergulat dalam isu-isu pemberdayaan dan kesetaraan perempuan dalam politik.
Baca Juga: Perempuan di Parlemen, Penyeimbang yang Bukan Sekedar Hiasan
KPP-RI mencatat, pada 1 Oktober 2019, perempuan anggota DPR RI berjumlah 118 orang (20,52 persen) dari total jumlah anggota DPR RI 575 orang. Adapun perempuan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI berjumlah 42 orang dari total 136 Anggota (30,88 persen).
Dalam perkembangannya, ketika ada pergantian antarwaktu (PAW) yang dilakukan oleh partai politik (parpol), jumlah legislator perempuan bertambah. Pada September 2020, jumlah legislator perempuan bertambah menjadi 122 orang (21,21 persen). Pada Januari 2021, jumlah itu kembali bertambah menjadi 124 orang (21,56 persen).
Terlepas dari masih adanya bias terhadap kualitas legislator perempuan, penambahan kuantitas masih menjadi bagian dari agenda emansipasi politik perempuan. Oleh karena itu, KPP-RI bersama-sama dengan kelompok perempuan lainnya mendorong paling sedikit keterwakilan perempuan ialah 30 persen di parlemen. Bahkan, targetnya ialah 50:50 pada tahun 2030.
Dalam konteks perjuangan perempuan dalam politik, menurut Ketua Umum KPP-RI Diah Pitaloka, hal ini sesungguhnya bukan hanya agenda kelompok perempuan. Dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) KPP-RI, 26 Februari 2021, Diah yang hadir secara daring mengatakan, kata kunci dalam perjuangan politik perempuan ialah tindakan afirmatif. Tindakan afirmatif itu bertujuan memberikan kesempatan pada perempuan untuk berkontribusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tindakan afirmatif pada dasarnya ialah upaya positif untuk mendorong emansipasi perempuan. Praktik emansipasi (persamaan hak) itu juga bagian dari perjuangan demokrasi itu sendiri.
”Harus dipahami bahwa affirmative action ini bagian dari agenda besar perjuangan demokrasi kita. Kalau affirmative action tidak disadari sebagai bagian perjuangan demokrasi, agak sulit sebenarnya, karena di dalam affirmative action itu ada emansipasi, yang itu juga prinsip demokrasi. Di situlah sesungguhnya gerakan politik perempuan Indonesia ini hadir, yakni menjadi bagian dari agenda demokrasi, bukan hanya agenda kelompok perempuan,” ucap Diah.
Berbagai upaya dilakukan kelompok perempuan untuk mendorong affirmative action. Salah satunya melalui revisi Undang-Undang Pemilu, dan pembuatan peraturan presiden (perpres). Sayangnya, saat ini pembahasan RUU Pemilu kemungkinan tidak diteruskan karena sikap fraksi-fraksi yang umumnya menolak revisi. Di satu sisi, pembentukan perpres menunjukkan perkembangan menggembirakan. Kini, draf perpres tindakan afirmatif berupa regulasi tentang keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen, telah ada di meja Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA) Bintang Puspayoga.
Draf Perpres Tindakan Afirmatif tentang Keterwakilan 30 Persen Perempuan di Parlemen Kini di Meja Menteri PPA.
Bahkan, menurut Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Politik Hukum Kementerian PPA Dermawan, dalam waktu dekat, Kementerian PPA akan mematangkan kembali draf perpres itu dalam diskusi grup terarah (focus group discussion/FGD) dengan berbagai pihak dan kelompok perempuan. Perpres itu diharapkan dapat diajukan untuk ditandatangani presiden pada Agustus tahun ini.
Ragam potret perempuan
Upaya berliku untuk mendudukkan perempuan dalam politik menunjukkan perjuangan mereka yang akhirnya berhasil menjadi anggota legislatif tidaklah mudah. Banyak dari mereka yang harus bersaing dengan politisi senior di daerah pemilihan masing-masing, mengalami keterbatasan sumber daya, menghadapi persaingan tidak sehat, hingga terkendala di internal parpol.
Sebagai bentuk apresiasi terhadap legislator perempuan itulah, bertepatan dengan peringatan Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2021, KPP-RI menggelar pameran foto dan diskusi tentang anggota parlemen perempuan. Acara bertajuk ”Kiprah Caleg Perempuan, Jalan Harapan Bangsa” ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kiprah anggota parlemen perempuan yang lebih humanis dan membumi. Rangkaian acara digelar hingga 17 Maret 2021 di selasar Gedung Nusantara II dan III, Kompleks Parlemen, Senayan.
Sebanyak 124 anggota DPR dan 42 anggota DPD perempuan akan memajang tiga potretnya yang menggambarkan kegiatan mereka masing-masing. Kegiatan itu boleh di dapil masing-masing saat mengikuti rapat atau ketika sedang menyerap aspirasi, memberikan bantuan kepada korban bencana, atau saat mendampingi dan menerima pendemo. Pilihan foto atau potret legislastor perempuan itu diserahkan kepada mereka masing-masing.
Tidak ada target khusus pameran itu dilakukan, selain hanya untuk memberikan apresiasi kepada para anggota legislatif perempuan. Di Hari Perempuan Internasional, acara pameran foto dan diskusi itu layaknya kado bagi para perempuan politisi di parlemen yang telah berpeluh untuk membawa aspirasi rakyat ke badan legislatif.
”Di balik setiap kursi yang diperoleh dari para perempuan parlemen pasti ada perjuangan berat. Pameran ini hanya untuk mengapresiasi kiprah mereka selama ini. Akan ada anggota DPR yang menunjukkan kegiatannya di dapil menyerap aspirasi. Ada pula yang tampil bekerja dengan anaknya. Bahkan, kalau ada yang memajang foto sedang berdandan, juga tidak apa-apa. Itu manusiawi, kan. Tidak salah juga bekerja dengan berdandan,” tutur Diah.
KPP-RI ingin memberi ruang kepada para perempuan parlemen menunjukkan dirinya sendiri dan membiarkan publik pemerhati yang menilai. Fakta bahwa mereka sampai di sana dan membawa ribuan suara untuk digemakan sudah merupakan suatu perjuangan luar biasa, terlepas dari penilaian atas kualitas mereka yang kerap bias dengan prasangka. Di satu sisi, upaya peningkatan terus-menerus kualitas legislator, tidak hanya perempuan, adalah suatu keharusan.
Di masa depan, ”potret-potret” perempuan itu diharapkan akan lebih banyak lagi di parlemen dan pemerintahan. Sejumlah riset juga menunjukkan, semakin banyak perempuan yang duduk sebagai pengambil kebijakan diyakini akan memberikan warna lebih baik bagi kualitas demokrasi.
Perempuan yang duduk sebagai pengambil kebijakan diyakini memberi warna lebih baik bagi kualitas demokrasi.
Riset yang dilakukan Westminster Foundation for Democracy (WFD) bekerja sama dengan Global Institue for Women Leadership King’s College, misalnya, menunjukkan ada hubungan antara kepemimpinan perempuan dan perbaikan kualitas demokrasi. Perwakilan WFD Indonesia, Agus Wijayanto, mengatakan, riset itu mengkaji lebih dari 500 penelitian empiris di berbagai negara.
Hasil penelitian menunjukkan anggota parlemen perempuan lebih banyak bekerja untuk konstituennya dibandingkan dengan legislator laki-laki. Gaya kepemimpinan perempuan juga cenderung kooperatif dan inklusif, serta menjauhi kepemimpinan yang hierarkis. Ketika perempuan memimpin, mereka juga terbukti lebih memprioritaskan kepentingan perempuan.
Secara umum, ada korelasi positif antara kepemimpinan perempuan dan kualitas demokrasi. Akankah hal yang sama akan kita temui di Indonesia? Jalan ke arah sana tentu saja terbuka sepanjang ada niatan politik (political will) yang kuat.