Perempuan Masih Dipandang Rendah untuk Menjadi Pemimpin
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perempuan masih dipandang rendah untuk dapat menjadi seorang pemimpin. Mereka memiliki banyak rintangan, terutama stigma masyarakat yang memandang perempuan harus mengurusi keluarga daripada aktif di luar rumah.
Pandangan negatif terhadap perempuan membuat sebagian dari mereka gagal menjadi pemimpin, termasuk dalam pemilihan anggota legislatif. Keterlibatan mereka sebagai calon legislator pun sekadar memenuhi kewajiban persyaratan agar partai politik memasukkan minimal 30 persen kandidat perempuan dalam daftar pencalonan mereka.
Hal itu mengemuka dalam Forum Dialog Perempuan dan Pemilu 2019 yang diselenggarakan International Foundation for Electoral Systems (IFES) dan International Republican Institute (IRI), di Jakarta, Selasa (19/3/2019).
Hadir sebagai pembicara Direktur Cakra Wikara Indonesia Anna Margret, komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Evi Novida Ginting, dan Kepala Sekretariat Presidium Mafindo Valentina Sri Wijiyati.
Anna Margret mengatakan, pencalonan perempuan dalam pemilihan legislator masih sekadar hanya untuk memenuhi persyaratan. ”Mereka dilibatkan hanya karena perpanjangan tangan atau memiliki hubungan kekerabatan dengan penguasa,” ujarnya.
Mereka (perempuan legislator) dilibatkan hanya karena perpanjangan tangan atau memiliki hubungan kekerabatan dengan penguasa.
Menurut Anna, perempuan yang dicalonkan bukan karena potensi yang dimilikinya atau seorang aktivis perempuan andal. Situasi ini menunjukkan masih rendahnya pandangan partai politik terhadap kemampuan perempuan.
Stigma masyarakat terhadap perempuan juga masih rendah. Perempuan masih dipandang negatif jika beraktivitas pada malam hari.
”Akibatnya, waktu mereka untuk dapat bertemu dengan publik terbatas. Perempuan juga dipandang harus memprioritaskan urusan keluarga dibandingkan urusan di luar rumah,” lanjutnya.
Ia berharap, perempuan memiliki solidaritas untuk memperjuangkan kepentingannya. Perempuan harus mampu bersaing untuk memperjuangkan segala keresahan dan pemikirannya.
Meskipun demikian, Anna tidak ingin perempuan bersolidaritas karena alasan jenis kelamin. Namun, mereka harus memperjuangkan kepentingan untuk kesejahteraan perempuan.
Sementara itu, komisioner KPU Evi Novida Ginting mengemukakan, KPU telah menjalankan regulasi yang dapat mempertahankan keterwakilan perempuan dalam proses pencalonan.
”Para caleg (calon anggota legislatif) yang sudah masuk tinggal bekerja keras supaya dapat terpilih,” ujar Evi.
Menurut dia, permasalahan yang sering muncul ialah ada beberapa caleg perempuan yang gagal terpilih menjadi frustrasi. Beberapa dari mereka akhirnya menyerah untuk ikut proses pencalonan kembali.
Di sisi lain, persiapan dari partai politik untuk menyiapkan kader perempuan juga masih lemah. Padahal, seharusnya perempuan sudah tersedia di partai politik.
”Akibatnya, ketika kesulitan mendapatkan caleg perempuan, partai politik hanya memotong jumlah caleg laki-laki agar kuota 30 persen ketersediaan perempuan dapat tercapai,” katanya.
Evi menambahkan, KPU juga memiliki tantangan dalam mengambil keputusan. Apabila ada jumlah suara yang sama, maka diberikan kepada perempuan. Hal itu sudah ada dalam peraturan.
Berita bohong
Caleg perempuan juga rentan menjadi obyek berita bohong. Anna menyebutkan, berita bohong yang melibatkan caleg perempuan sering menggunakan topik kehidupan pribadi untuk menjatuhkannya.
”Perempuan yang gagal dalam kehidupan pribadinya sering dihubungkan dengan ketidakmampuannya untuk menjadi pemimpin,” kata Anna.
Perempuan yang gagal dalam kehidupan pribadinya sering dihubungkan dengan ketidakmampuannya untuk menjadi pemimpin.
Bahkan, kehidupan pribadi tersebut sering dihubungkan dengan persoalan seksualitas. Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat, topik yang muncul dalam berita bohong yang menyangkut caleg perempuan ialah menggunakan isu keturunan keluarga, penggunaan kata-kata yang mengandung unsur seksualitas yang melecehkan perempuan, dan perselingkuhan.
Kepala Sekretariat Presidium Mafindo Valentina Sri Wijiyati menambahkan, motif dari pembuat konten berita bohong adalah agar suara dari korbannya berkurang, kebencian pada seseorang, atau dibayar oleh seseorang.