Resistansi antimikroba merupakan ancaman kesehatan dan pembangunan global, yang membutuhkan tindakan multisektoral yang mendesak. Untuk itu, diharapkan setiap negara mengembangkan rencana aksi nasional.
Oleh
FX WIKAN INDRARTO
·5 menit baca
Pekan Kesadaran Antimikroba Sedunia diadakan pada 18-24 November setiap tahun. Tema pada 2021 adalah ”Spread Awareness, Stop Resistance” (Sebarkan Kewaspadaan, Hentikan Resistansi) untuk menyerukan kepada pemangku kepentingan, pembuat kebijakan, penyedia layanan kesehatan, dan masyarakat umum supaya terlibat dalam kewaspadaan tentang resistansi antimikroba. Apa yang menarik?
Resistansi antimikroba (AMR) merupakan ancaman kesehatan dan pembangunan global. Hal ini membutuhkan tindakan multisektoral yang mendesak untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) karena AMR adalah salah satu dari 10 besar ancaman kesehatan masyarakat global yang dihadapi umat manusia. Antimikroba meliputi antibiotik, antivirus, antijamur, dan antiparasit, yaitu obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati infeksi pada manusia, hewan, dan tumbuhan.
Pada tahun 2019, indikator AMR baru dimasukkan dalam kerangka pemantauan SDGs. Indikator ini memantau frekuensi infeksi darah atau sepsis, yang disebabkan dua patogen yang telah resistan terhadap obat tertentu, yaitu Staphylococcus aureus (MRSA) yang resistan terhadap methicillin dan E coli resistan terhadap sefalosporin generasi ketiga (3GC).
Pada tahun 2019, terdapat 25 negara yang memberikan data tentang infeksi aliran darah atau sepsis akibat MRSA dan 49 negara memberikan data tentang E coli. Dengan demikian, tingkat rata-rata S aureus (salah satu jenis bakteri) yang resistan terhadap methicillin adalah 12,11 persen dan untuk E coli yang resistan terhadap sefalosporin generasi ketiga adalah 36,0 persen.
Strain Mycobacterium tuberculosis penyebab TBC yang resistan terhadap antibiotik mengancam kemajuan dalam mengatasi epidemi tuberkulosis global. Pada tahun 2018 ada sekitar setengah juta kasus baru TBC yang resistan terhadap rifampisin (RR-TB), obat TBC paling poten saat ini, dan sebagian besar menjadi TBC yang resistan terhadap berbagai obat (MDR-TB), suatu bentuk tuberkulosis yang resistan terhadap dua obat anti-TBC yang paling kuat. Padahal, hanya sepertiga dari sekitar setengah juta orang MDR/RR-TB pada tahun 2018 yang terdeteksi dan dilaporkan.
MDR-TB memerlukan paket pengobatan yang lebih lama, kurang efektif, dan jauh lebih mahal dibandingkan dengan TBC yang tidak resistan. Selain itu, hanya kurang dari 60 persen MDR/RR-TB yang berhasil disembuhkan. Pada tahun 2018, diperkirakan 3,4 persen kasus TBC baru dan 18 persen dari kasus yang sebelumnya diobati berubah menjadi TB-MDR/RR-TB, dan munculnya resistansi terhadap obat TBC ”pilihan terakhir” baru benar-benar merupakan ancaman besar.
Resistansi obat antivirus semakin mencemaskan karena telah terjadi pada sebagian besar antivirus, termasuk obat antiretroviral (ARV) untuk HIV. Semua ARV, termasuk kelas yang lebih baru, berisiko menjadi sebagian atau seluruhnya tidak aktif karena munculnya HIV yang resistan terhadap obat (HIVDR). Pedoman ARV WHO terbaru merekomendasikan obat baru, dolutegravir, sebagai pengobatan lini pertama untuk orang dewasa dan anak.
Munculnya jenis parasit yang resistan terhadap obat merupakan salah satu ancaman terbesar terhadap pengendalian malaria dan mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas malaria. Terapi kombinasi berbasis artemisinin (ACT) adalah pengobatan lini pertama yang direkomendasikan untuk malaria P falciparum tanpa komplikasi dan digunakan oleh sebagian besar negara endemik malaria.
Prevalensi infeksi jamur yang resistan terhadap obat meningkat dan memperburuk situasi pengobatan yang sudah sulit. Banyak infeksi jamur memiliki masalah saat diobati, seperti toksisitas, terutama untuk pasien dengan infeksi lain yang mendasarinya (misalnya HIV).
Candida auris yang resistan terhadap obat, salah satu infeksi jamur invasif yang paling umum, sudah tersebar luas dengan meningkatnya resistansi yang dilaporkan terhadap flukonazol, amfoterisin B, dan vorikonazol serta resistansi caspofungin yang muncul. Hal ini menyebabkan lebih sulit untuk mengobati infeksi jamur, kegagalan pengobatan, tinggal di rumah sakit lebih lama, dan pilihan pengobatan yang jauh lebih mahal.
AMR merupakan masalah kompleks yang membutuhkan pendekatan multisektoral terpadu. Pendekatan one health menyatukan berbagai sektor dan pemangku kepentingan yang terlibat dalam kesehatan hewan, tumbuhan, dan manusia, baik yang hidup di darat dan air, juga produksi makanan, pakan hewan, dan lingkungan.
Rencana aksi
Diharapkan setiap negara akan mengembangkan rencana aksi nasional mereka sendiri untuk mengatasi resistansi antibiotik sejalan dengan rencana global. Untuk mencapai tujuan ini, rencana aksi global menetapkan lima tujuan strategis, yaitu (1) meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang resistansi antibiotik; (2) memperkuat pengetahuan melalui surveilans dan penelitian; (3) mengurangi kejadian infeksi; (4) mengoptimalkan penggunaan obat antibiotik; dan (5) memastikan investasi berkelanjutan dalam melawan resistansi antibiotik.
Para dokter, apoteker, dan petugas kesehatan lain dapat berperan dengan mencegah infeksi dengan memastikan tangan, instrumen medis, dan lingkungan rumah sakit bersih. Selain itu juga memberikan vaksinasi terbaru kepada pasien (up to date) ketika terjadi dugaan infeksi bakteri melakukan kultur bakteri dan pemeriksaan penunjang medik lain untuk konfirmasi, hanya meresepkan dan mengeluarkan antibiotik ketika benar-benar dibutuhkan pada dosis dan durasi pengobatan yang tepat.
Para pejabat dan pembuat kebijakan kesehatan dapat bertindak dengan menyusun rencana aksi regional atau nasional yang kuat untuk mengatasi resistansi antibiotik.
Para pejabat dan pembuat kebijakan kesehatan dapat bertindak dengan menyusun rencana aksi regional atau nasional yang kuat untuk mengatasi resistansi antibiotik, meningkatkan pengawasan infeksi bakteri yang telah resistan terhadap antibiotik, memperkuat langkah-langkah pencegahan dan pengendalian infeksi, juga mengatur dan mempromosikan penggunaan obat antibiotik yang tepat dan berkualitas. Selain itu juga membuat informasi tentang dampak resistansi antibiotik dan memberikan apresiasi atas pengembangan obat, vaksin, serta alat diagnostik yang baru.
Para petugas sektor pertanian dapat bertindak dengan memberikan antibiotik pada hewan, hanya saat digunakan untuk mengobati penyakit menular, dan di bawah pengawasan dokter hewan. Juga vaksinasi hewan untuk mengurangi kebutuhan antibiotik; dan mengembangkan alternatif tindakan, selain penggunaan antibiotik pada tanaman yang terinfeksi.
Selain itu, mempromosikan dan menerapkan praktik yang baik di semua tahap produksi ataupun pengolahan makanan dari sumber hewan dan tumbuhan; mengadopsi sistem yang berkelanjutan dengan meningkatkan kebersihan, biosecurity, dan penanganan hewan bebas infeksi; melaksanakan standar internasional untuk penggunaan antibiotik yang bertanggung jawab, yang ditetapkan oleh OIE, FAO, dan WHO. Para pelaku industri bidang kesehatan dapat membantu dengan berinvestasi untuk pengembangan antibiotik, vaksin, dan alat diagnostik baru.
Momentum Pekan Kewaspadaan Antibiotik Sedunia (World Antibiotic Awareness Week) pada 18-24 November 2021 mengingatkan kita semua bahwa ”Spread Awareness, Stop Resistance” (Sebarkan Kewaspadaan, Hentikan Resistansi) tergantung pada niat dan usaha kita bersama.
Sudahkah kita menyadari?
FX Wikan Indrarto, Dokter Spesialis Anak RS Panti Rapih; Lektor di FK UKDW, Yogyakarta