Resistensi Antibiotik Bisa Jadi Pembunuh Nomor Satu
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Resistensi kuman terhadap obat antibiotik dinilai mengancam kesehatan warga dunia. Jika tidak ada upaya global yang efektif dan tepat waktu, resistensi antimikroba bisa menjadi ”mesin pembunuh” nomor satu di dunia pada 2050.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita pada konferensi pers penyelenggaraan ”Pekan Kesadaran Antibiotik” di kantor Kementerian Pertanian di Jakarta, Rabu (8/11), menyatakan, berdasarkan perkiraan para ahli, resistensi antimikroba (AMR) akan menjadi penyebab kematian nomor satu pada 2050. Tingkat kematian akibat AMR bisa mencapai 10 juta jiwa pada 2050 jika tidak ada upaya global yang efektif dan tepat waktu.
Resistensi kuman terhadap obat antimikroba (antibiotik), baik pada manusia maupun hewan, dinilai terus meningkat beberapa dekade terakhir. Kondisi itu dipicu oleh pemakaian antibiotik yang berlebihan dan tidak sesuai.
Kerugian ekonomi akibat AMR diperkirakan mencapai 1,5 miliar euro per tahun, antara lain karena biaya perawatan naik dan produktivitas yang turun.
Pemerintah telah melarang penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan ternak.
Ketut menambahkan, pemerintah melalui Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Pertahanan menyusun rencana aksi nasional penanggulangan AMR.
Khusus di peternakan, pemerintah telah melarang penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan (growth promoter) ternak.
”Kementerian Pertanian juga memulai pengawasan AMR di Jawa Barat, Banten, dan Jabodetabek serta survei pemakaian antimikroba di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan pada 360 peternak ayam pedaging,” kata Ketut.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian bersama FAO ECTAD (Food and Agriculture Organization Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases), lembaga ReAct (Action on Antibiotic Resistance), Center for Indonesian Veterinary Analytical Study (CIVAS), Yayasan Orang Tua Peduli (YOP), dan Pinsar Petelur Nasional menggelar sejumlah kegiatan pada pekan kesadaran antibiotik. Tahun ini kegiatan diselenggarakan di fakultas kedokteran hewan sejumlah perguruan tinggi, antara lain di Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Hasanuddin.
Pendiri YOP, Purnamawati Sujud, menambahkan, pemakaian antibiotik pada manusia dan pangan masih sangat tinggi. Ironisnya, banyak warga belum tahu bahwa antibiotik tidak bisa membunuh virus.
Semua pihak terkait diajak untuk meningkatkan komunikasi dan kolaborasi dalam mengendalikan pemakaian antibiotik di semua sektor.
Dia mengutip sebuah survei yang menemukan bahwa hanya 43 persen responden di Eropa yang tahu bahwa antibiotik tidak bisa membunuh virus dan 56 persen yang tahu bahwa antibiotik tidak efektif untuk batuk dan pilek.
Purnamawati mengajak semua pihak terkait meningkatkan komunikasi dan kolaborasi dalam mengendalikan pemakaian antibiotik di semua sektor.
Harapannya, dunia tidak lagi kembali ke era sebelum antibiotik ditemukan, yakni era ketika infeksi bakteri dan penyakit ringan tidak bisa ditangani dan dapat berujung kematian.