Terjadinya overlapping dalam praktik legislasi pasca-pengundangan Cipta Kerja menjadi sangat berisiko dan potensial menambah volume regulasi.
Oleh
IDUL RISHAN
·4 menit baca
Setahun pasca-pengundangan Cipta Kerja, metode undang-undang sapu jagat (omnibus law) telah melahirkan 47 peraturan pemerintah (PP) dan empat peraturan presiden (perpres). Angka ini diproyeksikan terus bertambah mengingat besarnya kebutuhan sektoral pada Undang- Undang Cipta Kerja (UUCK).
Bahkan saat ini, pemerintah telah menyiapkan 32 rancangan peraturan menteri yang merupakan dampak turunan dari pengundangan Cipta Kerja. Proyeksi awal, metode omnibus diklaim mampu menekan volume regulasi dari segi kuantitas.
Cetak biru itu bahkan diterjemahkan dengan tegas ke dalam Naskah Akademik UUCK. Bahwa ide yang melatarbelakangi metode ini tidak dapat dipisahkan dari keinginan pemerintah untuk merampingkan postur regulasi di tingkat pusat maupun daerah.
Hipotesis awal pemerintah secara tak sadar telah meleset dari proyeksi awal.
Meleset
Proses injeksi metode omnibus law dalam sistem hukum nasional, kenyataannya masih menyisakan sejumlah problem yang tak kunjung tuntas. Hipotesis awal pemerintah secara tak sadar telah meleset dari proyeksi awal. Setahun pasca- pengundangan omnibus law Cipta Kerja, sebenarnya tak terjadi upaya perampingan (re-shaping) postur regulasi dalam peraturan pelaksana di bawah UU (secondary legislation).
Setidaknya ada tiga hal yang dipetakan penulis sebagai alasan yang mendasari bahwa metode omnibus law tak kompatibel dalam menekan volume regulasi. Pertama, dilihat dari sisi teknik yang ditawarkan melalui metode omnibus law.
Berdasarkan teori dan praktik, metode omnibus law digunakan untuk menyederhanakan teknik legislasi. Metode ini dipakai agar pembentukan hukum tertulis dapat tercapai dengan waktu relatif singkat dan tanpa menelan biaya besar (Jimly Asshiddiqie, 2020).
Sebab, dari segi proses, teknik ini sangat dimungkinkan untuk menyusun, membentuk dan mengubah beberapa ketentuan pengaturan yang sifatnya multi sektoral ke dalam satu produk UU. Sebab, jika ditempuh melalui prosedur yang normal, cenderung akan memakan waktu, biaya, dan perdebatan yang alot.
Artinya metode omnibus menjadi salah satu alternatif teknik penyederhanaan legislasi, bukan dalam hal menyederhanakan volume regulasi.
Persepsi di atas kemudian menjadi kabur ketika pembentuk UU masih mencampuradukkan penyederhanaan teknik legislasi dengan penyederhanaan regulasi. Sebab dua hal itu menjadi sangat berbeda dan tak memiliki titik singgung satu sama lain. Artinya, jika metode omnibus dianggap mampu mengefisiensi legislasi dari segi proses, maka hal itu dapat dibenarkan. Namun jika diproyeksikan mampu menyederhanakan volume regulasi maka itu menjadi lain soal.
Sebagai contoh dalam kluster administrasi pemerintahan di dalam UUCK. Ada tiga UU terdampak dengan metode ini yaitu UU Pemerintahan Daerah, UU Administrasi Pemerintahan dan UU Desa. Ketentuan perubahan dan pembentukan pasal baru ke dalam UUCK, tidak dalam kapasitas mencabut UU maupun peraturan pelaksana yang lama. Melainkan, hanya mengubah beberapa pasal tertentu ke dalam satu UU.
Beberapa pengaturan yang terdampak omnibus law Cipta Kerja tetap memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang pasal-pasal di dalamnya tak mengalami perubahan. Ini berlaku secara mutatis mutandis terha -dap peraturan pelaksana di bawah UU seperti PP atau perpres. Artinya, tak terjadi simplifikasi atas volume aturan perundang-undangan yang ada.
Ambang batas
Kedua, sistem perundang-undangan nasional pada dasarnya belum mengenal ambang batas pembentukan regu -lasi. Bila diibaratkan dengan anatomi tubuh manusia, seseorang bisa dikatakan obesitas jika melebihi ambang batas berat tertentu. Begitupun dalam konteks regulasi, dengan peta volume regulasi yang banyak, pemerintah sebenarnya belum mampu mengolah data yang ada, sehingga tak ada instrumen secara kuantitatif untuk mengukur batas kapasitas regulasi nasional ataupun daerah.
Singkatnya, sungguhpun jumlahnya banyak, namun belum ada jawaban yang benar -benar presisi atas ukuran dan di mana letak hiper regulasi itu terjadi. Berbeda halnya jika, sistem perundang-undangan kita sudah mengenal ambang batas pembentukan regulasi. Misalnya dalam satu UU, ada batasan jumlah tertentu atas delegasi pengaturan yang dapat dibentuk pada PP maupun perpres.
Dengan model pendekatan kuantitatif di atas, volume regulasi menjadi lebih terukur dan efisien.
Dengan model pendekatan kuantitatif di atas, volume regulasi menjadi lebih terukur dan efisien. Dengan demikian menjadi keniscayaan untuk menentukan kapan terjadinya hiper-regulasi dalam peta perundang-undangan nasional.
Ketiga, penerapan metode omnibus law akan membutuhkan beban sinkronisasi yang kompleks dan daya tambah volume regulasi (Patrick Keyzer, 2020). UU yang terdampak oleh Omnibus Law Cipta Kerja sangat dimungkinkan mengalami perubahan, sebagai contoh revisi UU Perikanan.
Kebutuhan sinkronisasi itu menjadi sangat kompleks karena tak ada kewajiban konstitusional bagi pembentuk UU untuk melakukan sinkronisasi dengan omnibus law Cipta Kerja.
Sebab, omnibus law dan UU secara hierarkis memiliki tingkat kedudukan yang sama. Berkaca pada kecenderungan di atas, maka tak menutup kemungkinan pengaturan di dalam perubahan UU yang terdampak kembali mengubah ketentuan yang sebenarnya sudah diatur dengan omnibus law Cipta Kerja.
Potensi terjadinya overlapping dalam praktik legislasi pasca-pengundangan Cipta Kerja menjadi sangat berisiko dan potensial menambah volume regulasi.
Berangkat dari tiga kondisi faktual di atas, setidaknya setahun pasca-pengundangan cipta kerja menegaskan tidak ada korelasi antara penerapan metode omnibus dan upaya menekan volume regulasi.
Idul RishanPengajar Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII)