UU Cipta Kerja Belum Berdampak pada Sektor Hulu Migas
Kemudahan dan kecepatan perizinan di sektor hulu minyak dan gas bumi masih terkendala kendati UU Cipta Kerja sudah terbit. Pemerintah menyiapkan terobosan lewat aturan baru.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku industri hulu minyak dan gas bumi menilai bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja belum mempercepat aliran investasi di sektor tersebut. Secara teknis, pelaku industri ini masih menemui tantangan ketidakpastian dalam mengurus perizinan.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, total realisasi nilai investasi pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) pertambangan minyak bumi, gas alam, dan panas bumi pada triwulan I-2021 sebesar 33,17 juta dollar AS yang terdiri atas 24 proyek. Realisasi pada periode sama tahun 2019 dan 2020 masing-masing mencapai 22,83 juta dollar AS (33 proyek) dan 34,84 juta dollar AS (34 proyek).
Sepanjang 2019 dan 2020, data BKPM menunjukkan, total realisasi penanaman modal asing pada KBLI yang sama 174,8 juta dollar AS (47 proyek) dan 187,3 juta dollar AS (17 proyek). Realisasi penanaman modal dalam negeri pada 2019 dan 2020 secara berturut-turut senilai 197,5 juta dollar AS (15 proyek) dan 29,27 juta dollar AS (19 proyek).
Vice President Legal, Commercial & Planning Premier Oil Natuna Sea BV Ali Nasir menilai, saat ini UU Cipta Kerja belum mengakselerasi realisasi investasi. ”Kami mengharapkan prosedur izin teknis lebih sederhana. Jangan sampai lebih berat dibandingkan dengan sebelumnya,” katanya dalam webinar yang berjudul ”Peluang dan Tantangan Investasi Migas Pasca Terbitnya Omnibus Law” pada Rabu (14/7/2021).
Aspek waktu menjadi penentu monetisasi produksi migas itu sendiri. Nilai keekonomiannya dapat berbeda seiring berjalannya waktu.
Ali menambahkan, waktu 8-12 bulan yang bisa dihemat dari pengurusan administrasi perizinan sangat berharga bagi pelaku industri migas. Aspek waktu menjadi penentu monetisasi produksi migas itu sendiri. Nilai keekonomiannya dapat berbeda seiring berjalannya waktu.
Saat ini, dia menilai, perizinan tidak memiliki tenggat. Selain itu, investor juga masih waswas karena ketidakpastian tersebut. Meskipun sudah memenuhi sejumlah persyaratan, investor belum tentu memperoleh izin karena ada perubahan aturan mendadak dari regulator.
Secara keseluruhan, Kepala Divisi Hukum pada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Didik Sasono Setyadi menyebutkan, jumlah izin yang berpotensi perlu diurus investor dapat mencapai 106 perizinan. Waktu yang dibutuhkan untuk mengurus izin tersebut bergantung pada kompleksitas proyek dan lokasi proyek.
Didik mengilustrasikan, proyek migas yang berada di kawasan hutan dapat lebih cepat dibandingkan proyek yang berada di kawasan hutan, pesisir, dan laut sekaligus. Keberadaan infrastruktur penunjang, seperti pelabuhan, helipad, dan perpipaan yang melintasi jalan publik, juga dapat menambah jumlah perizinan dan waktu yang ditempuh untuk diurus.
Meskipun sudah memenuhi sejumlah persyaratan, investor belum tentu memperoleh izin karena ada perubahan aturan mendadak dari regulator.
Dalam rangka mempercepat realisasi perizinan bagi investor, dia menyebutkan, pemerintah sudah menerbitkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 123.K/HK.02/MEM.M/2021 tentang Tim Koordinasi Percepatan Perizinan Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi. Dengan aturan ini, penerapan perizinan setelah berlakunya UU Cipta Kerja dapat dievaluasi.
Pada 2030, pemerintah menargetkan produksi minyak 1 juta barel per hari dan gas bumi 12 miliar standar kaki kubik per hari. Didik memperkirakan, investasi yang dibutuhkan dapat mencapai 250 miliar dollar AS.
Sementara itu, anggota Komite Investasi pada Kementerian Investasi Rizal Calvary Marimbo mengatakan, pemerintah tengah menyusun aturan mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) dalam tata perizinan. Dia berharap regulasi ini dapat memberi kepastian bagi investor dalam hal pengurusan izin.
Dengan adanya aturan tersebut, akan ada batas waktu dalam mengurus dan memperoleh izin. Ia mencontohkan, apabila dalam pengurusan izin analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) tidak segera keluar rekomendasi teknis dari sebuah instansi sesuai waktu yang ditentukan, Kementerian Investasi berhak menandatangani izin tersebut atas nama instansi terkait yang berwenang mengeluarkan izin amdal.
”Izin lokasi di daerah, misalnya, dalam sebulan tidak keluar, maka itu akan ditandatangani pusat, dalam hal ini Menteri Investasi. Jangan seperti dulu, sudah tiga tahun, 10 tahun, enggak jelas-jelas. Semoga ini menjadi momentum perbaikan,” ujarnya.