Selama ini, negara belum sepenuhnya hadir pada saat nelayan mengalami masa sulit. Sejumlah peraturan, meski bertujuan baik, mempersulit nelayan sehingga perlu diimbangi dengan dukungan alternatif usaha untuk nelayan.
Oleh
OKI LUKITO
·5 menit baca
Gelombang protes nelayan terjadi merata di hampir semua sentra perikanan tangkap dalam waktu sebulan ini. Mereka menyoal Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) menggantikan PP Nomor 75 Tahun 2015 implementasi dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Aturan ini dianggap sangat merugikan dan menghambat proses ekonomi masyarakat pesisir. Selain nelayan, pengolah ikan tradisional, buruh bongkar muat, serta pekerja pabrik pengolah ikan terkena dampaknya.
Keberhasilan pemerintah membatasi gerak nelayan dengan melarang penggunaan alat tangkap yang dianggap tidak ramah lingkungan pada tahun 2016 dijadikan momen untuk terus menggusur keberadaan salah satu pewaris budaya bahari tersebut. Sejumlah regulasi yang pernah digulirkan, antara lain melarang penggunaan jaring pukat, mengusik perekonomian masyarakat pesisir. Regulasi tersebut dianggap menyabotase program pengelolaan perikanan yang berkelanjutan (sustainable) atau dengan kata lain mendistorsi upaya memadukan tujuan sosial, ekonomi, dan ekologi menjadi satu ruangan harmoni dan sinergi.
Akibatnya, ratusan ribu nelayan cantrang terpuruk, ribuan pekerja unit pengolahan ikan menganggur, pabrik pengolahan ikan mengalami kelangkaan bahan baku. Jasa nelayan yang selama ini memberikan andil besar membangun ekonomi masyarakat pesisir dan mengakselerasi sektor perikanan nasional begitu saja dilupakan dan ditinggalkan. Sementara alternatif alat tangkap yang diluncurkan, seperti mengganti jaring cantrang dengan jaring milenium, bubu, dan pancing, dianggap tidak efektif dan efisien.
Belum hilang luka atas pelarangan penggunaan alat tangkap yang sudah digunakan secara turun-temurun tersebut, di saat usaha di sektor lain diberikan relaksasi, pemerintah meluncurkan lagi regulasi yang tidak kalah menyakitkan dan melukai nelayan. Melalui PP Nomor 85 Tahun 2021 ini diatur perubahan formula penarikan PNBP, yaitu penarikan praproduksi, penarikan pascaproduksi, dan sistem kontrak yang dianggap memberatkan.
Dengan aturan baru tersebut, kapal 30 GT harus membayar sekitar Rp 8 juta untuk memperoleh surat izin berlayar (SIB) sebelum berangkat melaut. Demikian pula pulang dari melaut, hasil tangkap dihitung 5 persen harus dibayarkan, padahal mereka sudah ditarik biaya retribusi di tempat pelelangan ikan (TPI), biaya sandar, dan kebersihan pelabuhan.
Kompas/Totok Wijayanto
Nelayan merapat ke Pelabuhan Kali Adem, Penjaringan, Jakarta Utara, seusai melaut di kawasan Teluk Jakarta, Rabu (6/10/2021).
Lengkap sudah derita nelayan. Di laut dimainkan gelombang dan badai. Di darat dikejar-kejar rentenir, tengkulak, dan dibebani berbagai macam pungutan, termasuk PNBP, menyebabkan komunitas nelayan semakin terpuruk. Darurat nelayan seolah berjilid. Pemerintah diprediksi kecil kemungkinan menggubris protes nelayan. Sejumlah skenario tampaknya sudah disusun untuk memenuhi target investasi di sektor perikanan tangkap. Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 yang sengaja dibuat disinyalir untuk mengikis nelayan tradisional.
Apabila mereka tidak melaut dan berproduksi, skenarionya adalah mendatangkan kapal kapal asing, konon sebanyak 2.500 unit, salah satunya dari China dengan tonase 200 GT per unit. termasuk menyusun target produksinya. Siapa yang bisa memberi kontribusi, maka itu yang diadopsi. Siapa pun itu, tidak pandang bulu, siapa saja yang bisa menguntungkan untuk negara agar bisa membayar utang.
Contohnya di wilayah di perairan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 718 yang meliputi Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor. Berdasarkan data 2019 di Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), kemampuan potensi perikanan di WPP 718 sebesar 2.637.565 ton. Dengan potensi terbesar di antara WPP lain itu, jumlah yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk ditangkap sebesar 2.110.053 ton. Konon dari WPP ini ditarget menghasilkan 2 juta ton ikan per tahun. Total WPP 711 hingga WPP 718 dapat mendulang 9 juta ton-10 juta ton per tahun.
Alternatif usaha
Jika dicermati, selama ini negara belum sepenuhnya hadir pada saat nelayan mengalami masa sulit ketika terjadi paceklik ikan. Sebagai catatan, dalam satu tahun, hari efektif nelayan hanya 180 hari, November hingga April musim angin barat, gelombang laut tinggi, angin bertiup kencang, sehingga mayoritas nelayan memilih tidak melaut.
Jika dicermati, selama ini negara belum sepenuhnya hadir pada saat nelayan mengalami masa sulit ketika terjadi paceklik ikan.
Sebagian nelayan menyibukkan diri dengan aktivitas merawat kapal milik juragannya, menjahit jaring yang robek, atau memperbaiki mesin kapal dengan upah tidak lebih besar jika melaut. Sebagian besar lainnya bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
Sebagai referensi, tidak kurang dari 10 bus setiap musim barat seperti sekarang ini mengangkut ratusan nelayan Pasongsongan, Sumenep, menuju Bintaro, Jakarta, hanya untuk bekerja musiman sebagai buruh bangunan, sebagian lagi kerja serabutan. Hal tersebut sudah menjadi rutinitas nelayan Sumenep setiap tahun selama paceklik ikan.
Di Banyuwangi, Jawa Timur, ratusan nelayan Muncar dan Grajagan beralih menjadi pencari belalang untuk dijual lagi kepada pengepul seharga Rp 15.000 per 100 belalang. Hal itu dilakukan untuk menutup biaya hidup sehari-hari selama musim angin barat. Kondisi umum desa pesisir memang memprihatinkan. Sebaiknya pemerintah memperhatikan dan memprioritaskan penanganan desa-desa pesisir yang tingkat kemiskinannya tinggi.
Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan program kampung budidaya diharapkan dapat menjangkau desa-desa pesisir sebagai salah satu alternatif mengentaskan rakyat miskin di kampung-kampung nelayan. Budidaya laut (keramba jaring apung/KJA) atau budidaya ikan air payau, utamanya udang organik, budidaya polikultur, dianggap tepat sasaran. Budidaya ikan di KJA skala rumah tangga dan air payau lebih mendekatkan nelayan dengan kebiasaannya sehari-hari berkutat dengan hasil laut.
Kompas
Heryunanto
Selain ikan kerapu, kakap putih, bandeng, rumput laut, lawi-lawi, kekerangan, bahkan lobster sangat prospektif dibudidayakan di laut dan menjadi alternatif mata pencarian nelayan. Untuk jenis ikan tawar, seperti gurame, nila, lele, patin, dan bawal, program kampung budidaya telah banyak melahirkan pembudidaya tangguh sekaligus pengusaha sukses dan memberikan multiplier effect kepada masyarakat sekitarnya, seperti pedagang, pengolah ikan dan pembuat pakan organik, bahkan usaha pembesaran ikan.
Pengentasan rakyat miskin melalui program kampung budidaya layak dipacu. Hal ini diyakini dapat menjadi terobosan untuk mengatasi kesulitan ekonomi masyarakat pesisir sekaligus melestarikan budaya bahari sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Kelautan dan Kebijakan Kelautan Indonesia yang disusun dalam rangka percepatan implementasi poros maritim dunia.
Oki Lukito, Ketua HNSI Kota Probolinggo; Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim, dan Perikanan