Memperkuat Kembali Kelembagaan Partai
Penguatan kelembagaan partai politik tidak hanya penting bagi partai politik itu sendiri, tetapi juga penting bagi publik. Ini merupakan pintu masuk bagi naiknya kembali kepercayaan publik kepada partai politik.
Di negara yang mengandalkan sistem demokrasi dalam kepolitikannya, penguatan kelembagaan (institusionalisasi) partai politik merupakan keharusan. Manakala kita tengok ke kondisinya di Tanah Air, partai-partai politik, tak terelakkan, merupakan sendi utama demokrasi.
Hal tersebut terasa sekali sejak pasca-Orde Baru (1998). Kita masih ingat, begitu reformasi politik terjadi, ketika Presiden BJ Habibie membuka kebijakan kebebasan bagi masyarakat untuk mendirikan partai politik, seolah mengingatkan pada Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945, maka bak jamur di musim hujanlah mereka. Yang hadir ratusan, yang tersaring puluhan partai politik.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Hingga kini, setelah 23 tahun reformasi, kita telah merasakan betapa politik Indonesia tidak bisa ditinjau sebelah mata, tanpa melihat keberadaan dan peran partai-partai politik. Napas politik Indonesia bahkan bisa dibilang ialah napas partai-partai politik.
Baca juga : Partai Politik Baik, Demokrasi Baik
Hal tersebut bisa dimaklumi, memang seolah-olah partai politik merupakan entitas yang bisa masuk ke segala arah, kendati di bidang-bidang tertentu mereka terbentur masalah etis. Partai-partai politik tidak saja berperan di lembaga legislatif, tetapi juga di pemerintahan, bahkan belakangan ini juga ke lembaga riset berskala nasional dengan dalih sebagai penentu arah dan penjaga ideologi.
Para aktor partai-partai politik tak kalah populernya dengan para artis sejak stasiun-stasiun televisi memberi kesempatan kepada mereka untuk unjuk pendapat atau neopolemik. Di era digital ini, mereka terpaksa harus menyesuaikan diri dengan pola dan kecenderungan media sosial yang mendewakan berita viral.
Di era digital ini, mereka terpaksa harus menyesuaikan diri dengan pola dan kecenderungan media sosial yang mendewakan berita viral.
Meskipun konsekuensi di ranah publik pada masa kini berbeda dengan zaman partai-partai politik tahun 1950-an dan awal 1960-an, pengaruh ideologis partai-partai politik tetap tak termungkiri, sekecil apa pun. Bahwa politik atau ideologi aliran, pada masa kini, cenderung dianggap sudah lewat dan menjadi bagian dalam sejarah.
Justru pada masa kini, merujuk berbagai penelitian, perilaku pemilih cenderung lebih pragmatis kendati secara teoretis lazim dilihat dari perspektif pilihan rasional (rational choice). Partai-partai politiknya juga demikian.
Otokritik yang klasik
Kecenderungan deideologisasi politik pada masa kini menyebabkan konteksnya jorjoran politik bendera, bukan kontestasi ideologis. Meskipun demikian, kita juga sempat mencatat jorjoran klaim lebih Pancasila dari yang lain. Masalah tersebut sekiranya dapat diselesaikan manakala tradisi demokrasi checks and balances mengemuka sehingga muaranya justru penguatan konstatasi ”Pancasila milik bersama”.
Kendati demikian, Pancasilaisasi politik kita tidak mudah dilakukan. Perdebatan mengenai urgensi sistem kepolitikan Pancasila seolah tanpa ujung pangkal. Satu sisi bicara idealitasnya, sisi lain realitas historisnya yang menggarisbawahi suatu masa ketika Pancasila dijadikan rezim berkuasa ”political hammer”.
Perdebatan demokrasi Pancasila juga terbentur oleh kenyataan bahwa mekanisme politik lebih banyak mengandalkan mekanisme pemilihan (voting), bukan permusyawaratan (demokrasi sila ke-4 atau demokrasi deliberatif). Pada praktiknya demokrasi politik kita menerapkan praktik neodemokrasi liberal yang bertumpu implementasi prinsip pemilihan ”one people, one value, one vote” (OPOVOV). Konsekuensinya, siapa yang populer lebih berpeluang terpilih ketimbang yang sebaliknya.
Baca juga : Menguji Demokratisasi Parpol
Sayangnya, dalam iklim pragmatisme transaskional juga berlaku rumus, siapa yang bermodal paling besarlah yang berpeluang terpilih. Otokritik sedemikian sudah menjadi klasik.
Memang, partai-partai politik akan ditimbang dalam setiap kali penyelenggaraan pemilu. Perkembangan politik pemilu di Indonesia sejak awal era reformasi seolah telah mencapai titik ekstremnya, bahwa para pejabat publik harus dipilih melalui pemilu.
Sekarang pemilu bukan lagi satu jenis, pemilu legislatif. Pemilu legislatif telah terbelah ke dua jenis, memilih anggota DPR/DPRD dan memilih anggota DPD. Dan, selain ada pemilu presiden (pilpres), kita juga sudah familiar dengan pemilu kepala daerah (pilkada). Kendati pilkada cenderung dilihat bukan bagian dari rezim pemilu, hakikat dan praktiknya ialah pemilu yang prosesnya sama dengan jenis pemilu lain.
Meskipun keberadaan dan peran partai-partai politik begitu signifikan dalam dinamika politik Indonesia masa kini, konstitusi kita (UUD 1945) tidak secara khusus menjelaskan keberadaan, fungsi, dan peran mereka.
Meskipun keberadaan dan peran partai-partai politik begitu signifikan dalam dinamika politik Indonesia masa kini, konstitusi kita (UUD 1945) tidak secara khusus menjelaskan keberadaan, fungsi, dan peran mereka. Kata partai politik tersebar dalam beberapa pasal, tetapi yang paling krusial ialah pasal yang menyatakan peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik (Pasal 22E Ayat 3). Pada pilpres disebutkan melalui Pasal 6A Ayat 2 bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Terbatasnya ketentuan atas keberadaan dan peran partai politik dalam konstitusi, bagaimanapun, merupakan catatan penting. Ke depan, manakala ada amendemen kontitusi lagi, perlu dipikirkan urgensi penambahan pasal khusus tentang partai politik, yang merupakan badan publik dan memiliki fungsi-fungsi jelas.
Elitisasi versus pelembagaan
Menjelang Pemilu 2024, tak terelakkan publik akan berurusan kembali dengan partai-partai politik. Berbagai perbincangan di kelompok-kelompok diskusi digital dalam masyarakat juga sudah membahas isu-isu seputar partai politik dan kontestasi politik menjelang Pemilu 2024.
Misalnya, hadirnya berbagai baliho di mana-mana menampilkan tokoh-tokoh partai politik yang ditengarai berpotensi jadi calon presiden juga telah diperbincangkan. Keterlibatan seorang ketua umum partai politik di badan-badan strategis negara juga demikian.
Yang tak kalah seru, publik juga memperbincangkan banyaknya tokoh partai politik yang mendapat gelar doktor honoris causa, bahkan profesor. Itulah hebatnya politisi, golongan dalam masyarakat yang mendadak memperoleh gelar akademis tanpa proses belajar-mengajar di kampus.
Menolong partai-partai politik agar kuat kelembagaannya, bukan elitisasi para aktor partai politik yang sering kali kontraproduktif.
Fenomena demikian lazim manakala memicu pro-kontra dalam masyarakat. Namun, hal yang perlu juga diperhatikan terkait dengan keprihatinan publik atas partai-partai politik ialah menolong partai-partai politik agar kuat kelembagaannya, bukan elitisasi para aktor partai politik yang sering kali kontraproduktif.
Publik berhak mendapatkan pendidikan politik dari partai-partai politik, bukan sekadar diposisikan sebagai arena pragmatisme kontestasi politik elektoral. Tidak hanya penting bagi partai-partai politik, publik juga berkepentingan dengan penguatan kelembagaan (institusionalisasi) partai politik. Ini merupakan pintu masuk bagi naiknya kembali kepercayaan publik kepada partai-partai politik.
Penguatan kelembagaan partai bukan isu baru. Sederhananya ialah apabila partai-partai politik semakin mandiri dan fungsional, mereka setidaknya tidak lupa dengan fungsi-fungsi utamanya dan tak sekadar bertumpu pada fungsi kandidasi politik.
Baca juga : Mahkamah Partai dalam Pusaran Konflik Partai Politik
Penjelasan teoretisnya, misalnya, sebagaimana dikemas kembali oleh Vicky Randall dan Lars Svasand (2002). Dalam artikel di jurnal Party Politics berjudul ”Party Institutionalization in New Democracies”, keduanya mengerucutkan perspektif penguatan kelembagaan partai ke dalam empat dimensi, yaitu (1) dimensi struktural internal, kesisteman (systemness); (2) dimensi struktural eksternal: otonomi pengambilan keputusan (decisional autonomy); (3) dimensi penyikapan internal: penyuntikan nilai-nilai (value infusion); dan (4) dimensi penyikapan eksternal: reifikasi (reification).
Kelembagaan partai mengandalkan basis kesisteman. Karena itu, orientasinya sistem, bukan personal. Personalisasi politik sering kali tak terelakkan, tetapi idealnya tak boleh mengingkari sistem. Kepemimpinan politik yang tak taat sistem sudah barang tentu mengingkari sunatullah kelembagaan partai.
Dimensi selanjutnya, menegaskan keharusan demokratisasi internal kelembagaan partai. Basis kesisteman menjamin otonomi dalam pengambilan keputusan. Keputusan strategis partai idealnya melibatkan segenap pemangku kepentingan, bukan dimonopoli pejabat strukturalnya. Demokrasi checks and balances seharusnya lazim terjadi di lingkup internal partai, bukan otoriterisasi pejabat strukturalnya.
Dimensi nilai tentu penting dan mendasar mengingat partai hakikatnya alat perjuangan politik. Sementara reifikasi lebih terkait dengan konteks penguatan party identification (party id), ketika secara psikologis ia melekat di benak masyarakat.
Sayangnya, hingga menjelang Pemilu 2024, kecenderungan partai-partai politik kita masih ke arah elitisasi, bukan institusionalisasi. Maka, tidak ada salahnya apabila masyarakat akademis mengingatkan agar arah pembangunan politik kepartaian kita ialah penguatan kelembagaan atau institusionalisasi.
Sayangnya, hingga menjelang Pemilu 2024, kecenderungan partai-partai politik kita masih ke arah elitisasi, bukan institusionalisasi.
Partai-partai politik harus mampu mencegah dirinya berjalan ke arah deinstitusionalisasi alias kehilangan jati diri kelembagaannya. Lagi-lagi, sistem perkaderan harus diperkuat agar partai politik tidak justru menggantungkan dari luar, dari mereka yang bukan kader tetapi bermodal besar yang didukung oligark besar.
Mekanisme pertahanan perkaderan partai memang besar godaannya untuk rusak oleh intervensi kekuatan-kekuatan oligarki luar partai. Apalagi, ketika sistem pemilu legislatif yang diterapkan sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak. Sistem ini cenderung memperlemah kelembagaan partai ketimbang sistem proporsional tertutup.
Baca juga : Korupsi dan Problematika Internal Partai di Indonesia
Namun, terkait penerapan sistem terakhir tersebut, prasyaratnya ialah pelembagaan partai harus kuat. Partai harus mandiri dan demokratis, melakukan perkaderan yang baik, serta mampu mendapat tempat di benak khalayak.
Partai politik idealnya merupakan entitas terbuka, tetapi ia juga lembaga perkaderan politik. Masyarakat juga hendaknya tidak menempuh jalan pintas, jadilah kader partai, sebelum maju menjadi calon anggota legislatif, calon kepala daerah, bahkan calon presiden.
M Alfan Alfian, Dosen Magister Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta