Sebagai penjaga pintu demokrasi, parpol seharusnya diisi orang-orang baik, mempunyai pikiran baik, dan memperjuangkan hal-hal yang baik. Rakyat pun hendaknya tidak memilih parpol yang telah mengelabuhi suara rakyat.
Oleh
ENDANG TIRTANA
·5 menit baca
Kompas
Heryunanto
Partai politik adalah pilar demokrasi dan instrumen paling penting untuk saluran kepentingan publik. Parpol juga merupakan sumber utama rekrutmen kepemimpinan yang menentukan hajat hidup rakyat. Jika salah dalam memilih dan mencalonkan, dampaknya akan dirasakan rakyat. Sebut saja, pencalonan presiden, gubernur, bupati/wali kota, hingga lembaga-lembaga negara seperti KPK, semua dicalonkan atau dipilih oleh perwakilan parpol yang ada di DPR atau DPRD.
Sebagai penjaga pintu demokrasi yang sangat menentukan orang-orang yang mengendalikan kebijakan negara untuk kepentingan rakyat, parpol seharusnya diisi oleh orang-orang baik, mempunyai pikiran baik, dan memperjuangkan hal-hal yang baik pula.
Parpol seharusnya diisi oleh orang-orang baik, mempunyai pikiran baik, dan memperjuangkan hal-hal yang baik pula.
Dengan demikian, jika parpolnya baik, orang-orangnya baik, calon-calon yang diajukan dan dipilihnya baik, diharapkan anggota legislatif yang terpilih, calon presiden, gubernur, bupati, dan wali kota yang didukung maupun pimpinan lembaga-lembaga negara yang diseleksi juga baik, roda pemerintahan pun akan berjalan dengan baik.
Jika kondisi ideal itu tercapai, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah juga akan baik dan berpihak pada kesejahteraan dan keadilan rakyat. Ini akan terwujud jika para aktivis, mahasiswa, intelektual, tokoh masyarakat, dan rakyat kebanyakan tidak alergi kepada parpol. Justru harus terlibat aktif memberikan saran dan pikiran agar parpol bisa menjalankan perannya dengan baik.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Deretan bendera partai politik peserta Pemilu Serentak 2019 menghiasi jalan layang di kawasan Senayan, Jakarta, Minggu (7/4/2019).
Masalah reformasi parpol
Parpol sebagai tulang punggung demokrasi harus memperkuat kaderisasi dan regenerasi internal supaya demokrasi semakin kuat. Parpol semestinya mengutamakan prinsip meritokrasi dan menutup pintu untuk praktik-praktik oligarkis. Keberadaan oligarki hanya akan membajak parpol menjadi alat untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Studi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2016 mengidentifikasi lima elemen yang perlu direformasi agar parpol memiliki integritas yang melekat pada dirinya. Lima elemen tersebut meliputi pelembagaan standar etik, demokrasi internal, sistem kaderisasi, rekrutmen politik, dan tata kelola keuangan.
Dalam praktiknya, aspek rekrutmen kader dan kepemimpinan di tubuh parpol masih sangat buruk. Banyak di antara kader yang terpilih belum teruji integritasnya, serta memiliki rekam jejak yang buruk di tengah masyarakat. Banyak yang sekadar mengandalkan uang dan popularitas tanpa mempertimbangkan kualitas dan kredibilitas.
Memang parpol bukan satu-satunya penyumbang masalah. Edward Aspinall dan Mada Sukmajati (2016) melihat peran parpol relatif kecil dalam struktur patronase dan klientelisme pada praktik politik uang di tingkat akar rumput pada Pemilu Legislatif 2014. Burhanuddin Muhtadi (2019) melihat masalah politik uang terkait pula dengan sistem pemilu yang diberlakukan di Indonesia.
Menggejalanya personalisasi parpol atau realitas bahwa sebagian parpol lebih mirip seperti firma pribadi milik orang-orang besar juga tidak melulu karena faktor internal parpol. Kajian LIPI (2018) menunjukkan bagaimana tata cara pemilu dan model demokrasi yang diterapkan turut berkontribusi pada masalah kepemimpinan di tubuh parpol.
Bagaimana tata cara pemilu dan model demokrasi yang diterapkan turut berkontribusi pada masalah kepemimpinan di tubuh parpol.
Pada gilirannya, kohesi parpol berpotensi melemah hingga memunculkan faksionalisme dan konflik internal parpol. Marcus Mitzner (2013) mencontohkan munculnya kecenderungan parpol yang dibentuk lebih untuk bertarung di pilpres, seperti Demokrat (Susilo Bambang Yudhoyono), Gerindra (Prabowo), dan Hanura (Wiranto), yang notabene kebanyakan berasal dari perpecahan di Golkar.
Di sisi lain, peneliti LIPI Syamsuddin Haris (2020) mengakui keberadaan parpol sebagai salah satu faktor integratif bagi pelembagaan demokrasi pasca-Orde Baru. Selama berkali-kali pemilu, hampir tidak terjadi gejolak konflik komunal yang bersifat aliran ideologis. Parpol juga memperluas basis sosial bagi munculnya elite-elite baru yang lebih luas dan beragam.
Bencana demokrasi
Survei Global Corruption Barometer (GCB) 2020 oleh Transparency International Indonesia (TII) mencatat 51 persen responden menyatakan DPR adalah lembaga paling korup. Indonesia Corruption Watch (ICW) memublikasikan sebanyak 586 anggota DPR dan DPRD menjadi tersangka kasus korupsi hingga Oktober 2020.
Fakta bahwa mayoritas pelaku korupsi adalah kader parpol menjadi bukti keengganan parpol melakukan reformasi, dan menyebabkan terjadinya bencana demokrasi berupa krisis kepercayaan kepada parpol. Dampaknya melanggengkan demokrasi prosedural, rakyat menjadikan pemilu hanya rutinitas untuk memilih wakil dan pemimpin tanpa secara kritis menyeleksi calon-calon yang dipilih.
Krisis kepercayaan ini semakin menguat seiring berjalannya waktu. Survei terbaru yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia pada 1-3 Februari 2021 menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik kepada parpol berada pada urutan paling buncit, yakni sebesar 47 persen, disusul oleh DPR sebesar 52,6 persen.
Mencermati terkait rendahnya kepercayaan rakyat, mestinya parpol berbenah diri sebagai komitmen untuk memperbaiki demokrasi. Tetapi, sepertinya parpol melakukan pembiaran sehingga rakyat apatis dan parpol tetap menjalankan agenda-agendanya tanpa kritik yang kuat dari masyarakat.
Demokrasi yang kuat akan terjadi jika rakyat memiliki partisipasi yang besar. Tidak ada demokrasi tanpa rakyat. Sutan Sjahrir dalam Perjuangan Kita menekankan bahwa demokrasi akan hidup dan terus tumbuh menjadi baik, jika parpol mengajar rakyat atau pemilihnya untuk merdeka dalam berpikir dan memutuskan pilihan.
Hal lain yang cukup mengkhawatirkan adalah menguatnya polarisasi akibat dari kampanye politik yang lebih mengedepankan perbedaan identitas agama dan etnis. Polarisasi ekstrem yang melampaui isu kebijakan dan berkembang menjadi konflik eksistensial terkait ras dan budaya bisa membunuh demokrasi itu sendiri, seperti dikhawatirkan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018).
Hal lain yang cukup mengkhawatirkan adalah menguatnya polarisasi akibat dari kampanye politik yang lebih mengedepankan perbedaan identitas agama dan etnis.
Pada akhirnya, rakyat sebagai pemegang daulat tertinggi dalam demokrasi harus menggunakan kekuasaannya untuk menghukum parpol yang ingkar terhadap komitmen kerakyatannya. Mohammad Hatta mengatakan bahwa demokrasi hanya bisa berjalan apabila didukung oleh rasa tanggung jawab, yakni demi mewujudkan kesejahteraan dan keadilan rakyat.
Ya, rakyat jangan sampai bikin gede rasa para politisi yang tidak bertanggung jawab. Caranya, tidak memilih lagi parpol dan politisi yang sudah mengelabui suara rakyat.