Manuver dan saling mengecam antara China dan AS memang telah berlangsung lama, dan semakin ditingkatkan intensitasnya untuk menakar kemampuan masing-masing dalam babak permainan berikutnya.
Oleh
DIAN WIRENGJURIT
·5 menit baca
Manuver hampir 150 pesawat China melintasi zona identifikasi pertahanan udara Taiwan, 1-4 Oktober 2021, telah ditanggapi serius oleh Taiwan dan AS serta negara-negara Barat.
Manuver yang melibatkan berbagai jenis pesawat (jet tempur J-16 dan Su-30, pengebom H-6, pengintai KJ-500, dan antikapal selam Y-8) ini, dan belum pernah terjadi sebelumnya (unprecedented), menimbulkan ketegangan terburuk antara China dan Taiwan dalam 40 tahun terakhir. Bahkan diperkirakan, dengan pengerahan rekor jumlah pesawat itu, penyusupan besar-besaran (full-scale) China melintasi median Selat Taiwan bisa terjadi pada 2025 (The Economist, 9/10/2021)
Aksi China itu dapat menyulut salah tembak (misfire), perlombaan senjata di kawasan Asia Timur, dan perang di antara kedua negara, dengan konsekuensi yang luas. Meskipun manuver pesawat China itu sudah berkali-kali terjadi, kekhawatiran berlebihan sebenarnya juga tidak pada tempatnya.
Tak lama setelah kelompok nasionalis ”menyeberang” ke pulau Taiwan, pada 1950 flotila kapal perang AS, dengan komando kapal induk USS Valley Forge (CV-45) yang membawa jet tempur, telah melintas di perairan selebar 100-150 kilometer yang dulu bernama Selat Formosa itu.
Reaksi berlebihan terhadap manuver China ini sebenarnya bermula pada belum dipahami sepenuhnya konsep zona identifikasi pertahanan udara atau air defence identification zone (ADIZ) ini.
Ruang udara (airspace) dalam ADIZ bukanlah semata ruang udara di luar batas 12 mil laut batas teritorial negara dalam hukum internasional. ADIZ adalah ruang udara, yang dapat lebih jauh dari batas negara, di mana suatu negara menyatakan memiliki otoritas untuk mengidentifikasi, mengikuti, dan mengawasi pesawat terbang asing yang mendekati wilayah teritorial.
Saat ini terdapat 20 negara (antara lain AS, Inggris, China, Jepang, Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan) yang telah menetapkan ADIZ dan menentukan sendiri (define) cakupannya secara berbeda. ADIZ Taiwan mencakup seluruh ruang udara di atas Selat Taiwan, sebagian Laut China Timur, dan sebagian daratan China di Provinsi Fujian dan Zhejiang.
Tak ada pihak mana pun yang akan menyebut langit di atas kedua provinsi itu wilayah udara (teritori) Taiwan.
Tak ada pihak mana pun yang akan menyebut langit di atas kedua provinsi itu wilayah udara (teritori) Taiwan. AS menetapkan ADIZ sejauh 200 mil di luar batas teritorial negaranya. ADIZ dimaksudkan untuk meningkatkan pertahanan dengan memberikan waktu untuk mengambil sikap terhadap pesawat asing yang dinilai akan memasuki wilayah udara suatu negara.
Pesawat-pesawat terbang China yang ”memasuki” ADIZ Taiwan sebenarnya hanya melintasi ruang udara di barat daya, tidak mendekati (approach) wilayah teritorial negara itu, dan bahkan menjauhinya. Memang manuver China itu sangat provokatif dan agresif. Namun, menurut M Taylor Fravel, Direktur MIT Security Studies Program, tak sampai melanggar wilayah udara Taiwan.
Strategi atau permainan China-AS?
Bukan pula suatu kebetulan apabila di penerbangan di atas ADIZ Taiwan ini semakin meningkat sejak Presiden Donald Trump meninggalkan kebijakan satu China-nya (One China Policy) pada 2020.
Memang Presiden Joe Biden telah meninggalkan kebijakan Trump, tetapi dinilai belum memadai oleh Beijing. Apalagi, pada September lalu, Washington mengumumkan pembentukan pakta keamanan baru AUKUS (Australia, Inggris, dan AS) yang mengizinkan negara kanguru itu untuk membangun kapal selam nuklir berteknologi AS, yang dianggap sebagai upaya untuk menghadapi China.
Manuver di atas ADIZ dapat pula dilihat dalam konteks strategi militer China yang lebih luas, yang oleh banyak analis disebut sebagai area denial, yaitu menolak musuh di kawasan, terutama kekuatan militer AS. Hal ini dilakukan antara lain dengan mengembangkan jumlah dan jangkauan rudal dan alutsista lain (termasuk teknologi siber) yang dapat menyerang kapal dan pesawat AS dalam jarak tembak (firing range) dari perbatasannya.
Cara lain, membangun pulau buatan di Laut China Selatan (LCS) dan menjadikannya pangkalan militer dan mengklaim sebagai wilayah kedaulatannya; klaim yang telah ditolak AS.
Sebenarnya yang terjadi lebih kompleks karena saat bersamaan tiga kapal induk—USS Carl Vinson dan USS Ronald Reagan (AS) dan HMS Queen Elizabeth (Inggris)—bersama 14 kapal dari enam negara mengadakan latihan di Laut Filipina dekat ADIZ Taiwan.
Selain itu, seminggu setelah manuver China, kapal perusak AS (USS Dewey) dan fregat Kanada (HMCS Winnipeg) juga telah berlayar melalui Selat Taiwan (Guardian, 17/10/2021). Padahal, AS dengan mudah dapat setiap saat mengerahkan kapal-kapal dan pesawat-pesawatnya karena memiliki sekitar 120 pangkalan militer dan 53.000 tentara di Asia dan Pasifik.
Pesawat-pesawat China memang secara rutin melakukan ”perjalanan dinas” melintasi ADZ Taiwan 20 kali setiap bulan, dan bahkan juga melintasi ADIZ Jepang. Di lain pihak, sudah sejak 1996 AS kerap mengirim kapal induknya (dengan puluhan pesawat) untuk melakukan kunjungan ”muhibah” melintasi Selat Taiwan.
Dengan demikian, manuver pesawat China dan kapal-kapal AS merupakan respons terhadap adanya konsentrasi kekuatan pihak masing-masing di sekitar kawasan Selat Taiwan.
Ritual tahunan
Manuver kedua negara, meminjam teori klasik Game Theory, dimaksudkan dalam upaya menjabarkan strategi alternatif dalam persaingan di antara mereka. Konsep Ekuilibrium Nash (dari John Nash, matematikawan AS), salah satu konsep terpenting dari teori ini, menunjukkan bahwa langkah-langkah matematis dan logis akan ditempuh para pemainnya untuk mengamankan hasil terbaik.
Hal ini juga menunjukkan bahwa ”permainan” (manuver dan saling mengecam) antara China dan AS memang telah berlangsung lama, dan semakin ditingkatkan intensitasnya untuk menakar kemampuan masing-masing dalam babak permainan berikutnya.
Isyarat lain dari manuver ini juga dapat dilihat dari waktu pelaksanaannya yang dimulai 1 Oktober, yang merupakan Hari Nasional China, yang selalu dikaitkan dengan seruan bagi upaya penyatuan Taiwan.
Manuver ini telah menjadi ”ritual” tahunan bagi China, demikian pula latihan militer AS di sekitar kawasan ADIZ. ”Berbalas pantun” (baca: saling kecam) di media massa sudah menjadi ”menu” rutin kedua negara. Faktanya, yang tidak banyak diketahui, setelah manuver empat hari berturut-turut itu, pada 5 Oktober hanya ada satu pesawat China yang melintasi ADIZ Taiwan.
Oleh karena itu, menurut Fred M Kaplan, kolumnis Slate Magazines (6/10/2021), episode ini hanyalah bagian kecil dari persaingan besar keduanya, tapi tak terlalu penting. Dunia tampaknya terlalu cepat mengambil kesimpulan, mudah-mudah bukan Indonesia.
Dian Wirengjurit,Analis Geopolitik dan Dosen HI Universitas Pertamina