Yang dilakukan ”Kompas” melalui buku kronik opini pilihan ini, menebar optimisme bukan hanya melalui sekadar janji manis dan pseudo data, melainkan melalui opini cendekiawan pilihan yang selalu menebar optimisme.
Oleh
AHMAD MUQSITH
·6 menit baca
Kompas
Didie SW
Buku Cendekiawan dan Pandemi Covid-19 merupakan hasil kerja keras Kompas menghimpun ratusan artikel pilihan—rencana terbit dalam tiga jilid—yang mengulas pandemi Covid-19 secara menyeluruh. Sebagian besar penulisnya tentu bukan nama yang asing di mata pembaca setia rubrik opini Kompas. Mereka adalah para cendekiawan dalam dunianya masing-masing, mulai dari pakar kesehatan, ekonomi, agama, politik, hukum, budaya, sosiologi, sejarah, statistik, filsafat, hingga sastra.
Kompas seolah ingin menunjukkan bahwa sebagai bangsa besar, Indonesia bisa melalui badai pandemi asal kita mau mengikuti jalur ilmu pengetahuan. Berbagai cendekiawan berusaha memeras dan menyumbangkan pikirannya sebagai bahan membangun pemahaman dan peta jalan keluar dari badai pandemi.
Di dalam buku ini kita bisa membaca sejumlah artikel tentang bagaimana para ahli kesehatan mencoba menjelaskan penyebab pandemi dan bagaimana cara terbaik menghadapinya. Sementara para ekonom membahas dampak pandemi terhadap berbagai sektor ekonomi, memberi sumbangan pemikiran, juga kritik terhadap berbagai kebijakan pemerintah.
Di sisi lain, para cendekiawan bidang agama berupaya membangun kesadaran dan pemahaman moral agama yang mendamaikan benturan laten antara agama dan sains. Adapun sejarawan mengajak masyarakat untuk merefleksikan pengalaman pandemi masa lalu, memetik pelajaran dari sejarah pandemi. Tema-tema urun rembuk atau musyawarah besar para cendekiawan dalam rubrik opini Kompas dominan pada tiga dimensi utama, yaitu masalah kesehatan, ekonomi, dan posisi agama di tengah pandemi.
Buku ini menjelaskan bahwa ada enam hal yang menjadi penyebab pandemi ini begitu keras menghantam Indonesia.
Kenapa saya sebut kumpulan tulisan cendekiawan dalam buku ini sebagai musyawarah besar? Faktanya tidak jarang, sesama ahli ekonomi, misalnya, bisa beda pendapat mengenai solusi apa yang harus segera dilaksanakan untuk mengatasi dampak pandemi di bidang ekonomi. Secara tidak langsung pembaca buku ini sebenarnya menjadi satu di antara yang sedang bermusyawarah.
Kenapa pandemi berdampak fatal
Kompas berusaha menjadi bagian dari sistem peringatan dini bagi bangsa Indonesia untuk menyiapkan mitigasi bencana Covid-19. Buku ini menjelaskan bahwa ada enam hal yang menjadi penyebab pandemi ini begitu keras menghantam Indonesia.
Pertama, adanya kekurangsigapan pemerintah dalam mitigasi bencana; krisis komunikasi publik dari pejabat; pembatasan sosial yang beririsan dengan realitas banyaknya hajat rakyat sangat bergantung pada sektor ekonomi riil dan UMKM; adanya beberapa daerah yang sangat bergantung pada sektor wisata yang sangat merasakan dampak ekonomi dari pandemi; terakhir adanya kondisi hiperrealitas dan bias politik di media sosial (hlm 56). ”... kesimpangsiuran informasi dan kebijakan pemerintah serta kepanikan publik menghadapi Covid-19 menunjukkan kegamangan dan kegagapan kita semua menghadapi situasi tak terduga. Ini akibat rendahnya pengetahuan. Bukan pengetahuan tentang virusnya, melainkan terutama bagaimana mengelola risikonya (Yanuar Nugroho, dalam tulisan berjudul ”Bersama Hadapi yang Tak Terduga”).
Hal semacam ini bukan hal baru. Sejarawan muda Ravando menjelaskan bahwa saat flu Spanyol dulu, rendahnya literasi dan buruknya pengetahuan masyarakat tentang kesehatan membuat banyak pihak menganggap pandemi sebagai kutukan. Akibatnya, dampak pandemi menjadi lebih parah dibanding seandainya disikapi dengan pengetahuan yang tepat (hlm 79).
Pola pikir seperti itu sama seperti yang dicontohkan Masdar Hilmy sebagai sikap non-ilmiah masyarakat yang dipakai untuk memahami pandemi. Kurangnya literasi kesehatan membuat mereka gagal menangkap fenomena pandemi secara utuh dan ilmiah (hlm 135).
DIDIE SW
Didie SW
Agama dalam pusaran pandemi
Konstruksi berpikir masyarakat yang seperti itu tentu jauh dari budaya literasi. Fenomena di masa pandemi juga semakin menegaskan pendapat Tom Nichols dalam bukunya berjudul Matinya Kepakaran (Kepustakaan Populer Gramedia, 2021). Akhirnya komunikasi publik yang terjadi dihiasi bias politik yang diperparah dengan wawasan agama yang keliru, kegagapan literasi yang membuat teori konspirasi semakin digandrungi.
Sebagai negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam, sikap cendekiawan Islam sangat berpengaruh terhadap kepatuhan rakyat kepada imbauan protokol kesehatan. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia tidak henti-henti mengampanyekan praktik beragama yang rasional di tengah badai pandemi. Tidak mengherankan jika Kompas menampilkan sejumlah tulisan tokoh dari kedua organisasi tersebut.
Komaruddin Hidayat dan Helmi Faishal menjelaskan secara apik bagaimana praktik ulama yang mengakui kaidah sains. Selanjutnya Zacky Khoirul Umam, melengkapi dimensi keagamaan buku ini, menyatakan bahwa tidak mengaitkan pandemi Covid-19 dengan azab adalah bagian yang paling optimistis dalam menata kembali peradaban yang menghargai ilmu pengetahuan.
Secara garis besar, para ahli ekonomi mengajak kita merenungkan fondasi ekonomi yang sedang diterapkan banyak negara di dunia.
Menjadi perenungan
Secara garis besar, para ahli ekonomi mengajak kita merenungkan kebijakan ekonomi yang diterapkan di berbagai negara di dunia. Paradigma pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi perlu ditinjau ulang, selain memunculkan kesenjangan sosial juga berdampak pada perluasan kerusakan lingkungan. Ahmad Erani Yustika dalam tulisannya menekankan bahwa dalam pembangunan ke depan harus ada keseimbangan antara manusia, lingkungan, dan moral.
Purnawan Andra dan F Budi Hardiman mengajak kita berefleksi spiritual lebih jauh. Ingar-bingar keramaian dunia yang serba mekanis, mendadak menjadi keintiman suasana keluarga yang berkumpul dan memulihkan luka yang didapat dari dunia kerja, ritual yang menjadi rutinitas kembali pada kondisi spiritualitas yang telah lama berjarak, bahkan lingkungan secara umum mendapat jeda dari beban berat polusi pabrik dan kendaraan di kota-kota besar.
Di bagian lain, Agus Sudibyo dan Dwia Aries mengungkapkan gagasannya tentang bagaimana jurnalisme seharusnya bekerja di tengah pandemi. Selain mengambil sikap kritis terhadap kekuasaan, jurnalisme juga harus mampu menumbuhkan dan menjaga harapan masyarakat.
Itulah beberapa hal yang bisa dipetik dari buku kronik artikel opini pilihan Kompas ini. Menebar optimisme bukan hanya melalui sekadar janji manis dan pseudo data, melainkan melalui berbagai pandangan atau pikiran para cendekiawan pilihan yang terpanggil menyumbangkan ilmu yang dimiliki, menyalakan harapan, dan menebar optimisme mencari jalan keluar agar bangsa Indonesia mampu melewati badai pandemi. Syaratnya dua: mengikuti kaidah sains dan menjaga solidaritas sosial tetap terjaga. Ingat, dalam solidaritas ini, ekonom kita juga harus mengajak ”lingkungan” ikut serta di dalamnya.
Ada catatan kecil yang mungkin perlu menjadi perhatian. Secara teknis, buku ini akan lebih enak dibaca jika sejak awal diterangkan tentang proses kurasi atau kriteria pemilihan artikel dan pelabelan cendekiawan terhadap para penulis artikel opini dalam buku ini. Tentu kurang etis mendudukkan sejajar M Chatib Basri (salah satu ekonom ternama) dengan penulis muda yang sepak terjangnya belum teruji waktu.
DOK. PRIBADI
Ahmad Muqsith
Di sisi lain, ada yang terasa kurang dari buku ini lantaran disebut sebagai ”kronik”, tetapi pada setiap tulisan artikel tidak disertai tanggal pemuatan di Kompas. Akan lebih informatif jika tanggal terbit diletakkan pada bagian awal atau akhir tulisan meskipun data tentang itu ada di bagian akhir buku dalam ”Sumber Naskah”.
Selanjutnya, ditemukan ada ketidaksesuaian antara halaman yang tercantum pada daftar isi dan halaman pada artikel yang dimaksud. Hal ini cukup membingungkan bagi orang yang suka mengulang membaca buku berdasarkan catatan penting yang ia buat sebelumnya.
Ahmad Muqsith,Mahasiswa (S-2) Ketahanan Nasional, Sekolah Kajian
Stratejik Global Universitas Indonesia, Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Pemimpin Redaksi Minerva.id.
Data Buku
Judul Buku : Cendekiawan dan Pandemi Covid-19, Kronik Opini Pilihan Kompas