Zaman Gelap Industri Musik Indonesia
Kerap kesulitan menemukan karya-karya musik baru. Pencarian bakat musik di televisi memang terus ada, tetapi sekadar hadir untuk meraih rating dan iklan, bukan dalam upaya membangun ekosistem musik yang lebih baik.
Akhir-akhir ini saya, atau mungkin juga Anda, kerap kesulitan menemukan karya-karya musik baru. Apalagi jika musik itu mampu menjadi tanda sebuah zaman, semacam tembang kenangan, didengar kekal dan tetap enak untuk dinikmati kapan pun.
Jujur, dalam blantika musik pop, hari ini saya sangat merasa kurang pergaulan (kuper) karena tidak berhasil menemukan karya musik yang menurut saya ”meledak” sebagaimana waktu-waktu lampau. Karya musik baru bukannya tidak ada, melainkan tertimbun dengan berbagai kegaduhan bunyi lain yang lebih menyedot atensi.
Sesekali saya coba menengok kanal vlog para musisi yang pernah menjadi primadona di zamannya semacam Ariel Noah. Eh, dia justru sibuk memotong rambut, menjadi tukang kayu, merakit komputer, dan seabrek kegiatan yang tak berhubungan dengan musik.
Baca juga : Problematika Musik Indonesia Mutakhir
Memang masih ada beberapa video musik yang dibuat, tetapi itu pun sekadar menyanyikan karya-karya lama yang sudah lebih dahulu populer. Begitu juga dengan vlog musisi lain, seperti Ahmad Dhani (kanal Video Legend), juga sibuk menyanyikan lagu-lagu lamanya pada kelompok Dewa 19 dikolaborasikan dengan banyak vokalis.
Dalam sebuah situs berita, saat ditanya kenapa tidak lagi berkarya musik seperti dahulu kala? Jawaban Ahmad Dhani cukup mencengangkan, ”Ngapain harus berkarya lagi, ingin membuktikan apa, zaman pembuktian sudah selesai.”
Dengan kata lain, Dhani hendak menyampaikan bahwa zaman kiwari (sekarang) bukan lagi masa unjuk kebolehan dengan membuat karya baru, karena bangunan ekosistem musik yang tidak memungkinkan. Kreator musik hanya akan menjadi tumbal oleh karya yang dihasilkannya.
Di jagat digital, karya musik baru itu seperti ”daging segar yang empuk” untuk diperebutkan oleh ribuan ”serigala”. Satu karya musik akan terbajak ribuan kali lewat bentuk cover-lagu oleh para konten kreator lainnya, yang tentu menjurus pada ketidakadilan pembagian royalti.
Kasus Didi Kempot menjadi menarik untuk dibaca. Ia beberapa kali mengeluhkan karya-karyanya yang dinyanyikan ulang oleh penyanyi lain, tetapi tidak satu pun yang meminta izin, apalagi memberikan royalti atas banyaknya iklan yang masuk.
Para konten kreator itu adalah makhluk spesialis cover lagu. Hidupnya hanya menunggu lagu baru muncul kemudian diaransemen ulang dengan format lain. Bahkan tidak sedikit hasil cover lagu yang lebih banyak disaksikan dan mendapat apresiasi dari publik dibandingkan lagu asli yang ada di kanal musisi penciptanya.
Baca juga : ABBA dan Godbless, Menjadi Legenda Itu Berat
Para musisi juga mencoba meraih peruntungan lewat ”lokapasar berbayar” semacam Spotify, melayani jasa streaming karya musik. Namun, hal itu juga tidak kalah problematis, bayangkan untuk 1.000 kali pemutaran (streaming) pada satu karya musik, musisi penciptanya hanya mendapatkan 3,2 dollar AS (sekitar Rp 46.000). Padahal untuk meraih 1.000 pendengar akan sangat sulit, bahkan untuk kaliber musisi yang sudah memiliki banyak penggemar.
Logika sederhananya, ngapain harus repot-repot membayar untuk sebuah karya seni jika kita sudah bisa mendapatkannya secara gratis? Karena itu, nasib musisi menjadi kian tidak jelas, lebih baik tidak berkarya daripada sakit hati dan kena darah tinggi.
Royalti
Pemerintah memang menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta dan/atau Musik. Peraturan itu merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Pada dasarnya, peraturan itu dibuat untuk mengatur kewajiban pembayaran royalti bagi setiap orang yang menggunakan lagu-musik secara komersial ataupun yang bersifat layanan publik. Dalam Pasal 3 Ayat 2 disebutkan bahwa layanan publik yang bersifat komersial adalah; a) seminar dan konferensi komersial; b) restoran, kafe, pub, bistro, kelab malam, dan diskotek; c) konser musik; d) pesawat udara, bus, kereta api, dan kapal laut; e) pameran dan bazar; f) bioskop; g) nada tunggu telepon; h) bank dan kantor; i) pertokoan; j) pusat rekreasi; k) lembaga penyiaran televisi; l) lembaga penyiaran radio; m) hotel, kamar hotel, dan fasilitas hotel; n) usaha karaoke.
Peraturan itu ideal dalam wacana, tetapi bermasalah dalam penerapannya. Siapa yang akan mengawasi dan mengontrol pemutaran musik di ruang publik atau di tempat yang berpotensi mengandung unsur kapitalisasi musik seperti pub dan karaoke?
Baca juga : Jalan Panjang Tata Kelola Royalti Lagu dan Musik Indonesia
Mengingat jumlah ruang publik sangat banyak, dari penjuru kota hingga di pelosok desa, akan membutuhkan ribuan bahkan jutaan pegawai pengawas serta pencatat royalti. Ini tentu saja hal itu tidak dapat dilakukan karena membutuhkan biaya yang tidak murah untuk menggaji mereka.
Oleh karena ketiadaan pengawas atau pihak yang mengontrol, pelaporan pajak royalti dapat dipalsukan atau tidak sesuai dengan kenyataan. Perusahaan tempat karaoke maupun pub dapat seenaknya mengatur dan membayar royalti, tentu dengan harga semurah mungkin.
Masalah lainnya adalah belum ada perbedaan untuk obyek pemungutan royalti. Sebutlah kafe di kota besar seperti Jakarta dengan kafe di pelosok desa di Indramayu misalnya. Kapitalisasi musik di kota-kota besar tentu memiliki perbedaan dengan daerah yang jauh lebih tertinggal.
Masalah lainnya adalah belum ada perbedaan untuk obyek pemungutan royalti.
Sementara, pungutan royalti dalam PP Nomor 56 Tahun 2021 belum mempersoalkan hal tersebut. Akibatnya, akan terjadi ketimpangan, karena perlakuan yang sama pada tempat dengan posisi dan bentuk kapitalisasi musik yang berbeda.
Tidak mengherankan apabila banyak musisi beralih profesi yang dianggap lebih menjanjikan, seperti berjualan siomai, bertani, menjadi youtuber dengan konten yang tidak berhubungan dengan musik, menjadi kuli bangunan, bermain saham, dan sejenisnya. Kita terlalu sulit melihat munculnya musisi dan kelompok musik baru sebagaimana zaman dahulu kala.
Kompetisi pencarian bakat musik di televisi memang terus ada, tetapi sekadar hadir untuk meraih rating dan iklan, bukan dalam upaya membangun ekosistem musik yang lebih baik. Akibatnya, setelah selesai acara, tidak ada gebrakan apa pun atau munculnya karya baru yang fenomenal.
Dunia gelap industri musik Tanah Air akan tiba pada satu titik penting; matinya kreativitas musisi dan hilangnya bunyi sebagai penanda sebuah zaman. Tidak akan ada lagi lagu kenangan di masa depan yang ditorehkan oleh karya musik di hari ini.
Generasi kiwari akan mengenang segala hal di hari ini dengan kegaduhan bunyi, tetapi bukan suara musik. Sementara di sisi yang berbeda, lagu-lagu pop-dangdut berbahasa Jawa terus lahir, tetapi sudah menunjukkan pada satu titik kejenuhan dan kelelahan, dengan penyebab yang sama: terbajak secara masif.
Baca juga : Anatomi Ketimpangan Pasar Musik Dunia
Adagium lawas berbunyi; musisi boleh mati namun tidak dengan musik, tampaknya itu hanya akan menjadi sekadar jargon jika tidak diikuti dengan kesadaran untuk membangun ekosistem musik yang lebih ideal dan manusiawi, setidaknya untuk para musisi dan pemegang hak cipta karyanya. Jika tidak, ya sudah, jangan salahkan jika musik dari negeri Korea lebih menggoda untuk didengar dan digilai selayaknya agama. Dan kini itu terjadi. Aduh!
Aris Setiawan
Etnomusikolog; Pengajar di ISI Surakarta