Jalan Panjang Tata Kelola Royalti Lagu dan Musik Indonesia
Walaupun masih memiliki sejumlah keterbatasan, kehadiran Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 menjadi gebrakan perbaikan tata kelola royalti lagu dan musik.
Pada tanggal 30 Maret 2021, Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Musisi sampai warganet beramai-ramai menyampaikan aneka tanggapan sebagai reaksi atas penetapan PP itu.
Penyanyi sekaligus pencipta lagu Kunto Aji, misalnya, melalui akun Twitter resminya, tanggal 7 April 2021, sempat mencuitkan "Yang jelas masalah royalti ini terutama menyasar untuk pengusaha menengah kelas atas. Simpan kekhawatiranmu. Saya pribadi dengan senang hati lagu saya dibawakan gratis oleh pengamen, warkop, warung, gitaran di pos ronda. Atau bahkan kafe kecil dengan omset belum seberapa." Ada pula warganet mencuitkan di Twitter mengenai ajakan mendengarkan musik di platform pemutar lagu beraliran langsung (streaming), daripada di kafe yang berpotensi dikenakan kewajiban bayar royalti. Ditambah lagi, ia mencantumkan meme satir dengan gambar suasana musisi menarik gerobak berisi tumpukan uang hasil pembayaran royalti lagu.
Pramedya Nataprawira, pendiri "agordiclub", menilai kebanyakan reaksi tersebut semakin mempertegas keterbelakangan jagad musik Indonesia. Dia pribadi menilai, kemunculan PP No. 56/2021 sudah lama dinanti, bahkan sebelum Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta diundangkan.
"Mungkin dari tahun 1980-an. Waktu itu, Indonesia masih mengacu UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta yang kemudian diubah (menjadi) UU No. 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta," ujar dia pertengahan April 2021.
Pada kurun waktu 1958-1988, hampir semua album musik dari musisi internasional yang diedarkan di Indonesia adalah produk ilegal. Pada saat itu pula, sejumlah label rekaman lokal menekan artis melalui mekanisme jual putus.
Puncak pengabaian penghargaan hak cipta terjadi saat musisi dan aktivis Bob Geldof mengecam pemerintah Indonesia karena membiarkan peredaran kaset bajakan konser Live Aid untuk membantu korban kelaparan di Ethiopia pada tahun 1985. Belum lagi, kejadian dialami almarhum komposer dan penyanyi legendaris Gesang ketika pengelolaan royalti karya-karyanya dilakukan lembaga manajemen kolektif Jepang.
Pramedya berpendapat, substansi PP No. 56/2021 cenderung hanya menyentuh perihal pungutan dan pembayaran public performance royalties (performa lagu/musik di ruang publik) kepada pencipta lagu/musik. Sejumlah negara telah lebih dulu mempunyai regulasi sejenis.
Pengelolaan royalti yang diatur dalam PP No. 56/2021 meliputi tiga kategori. Pertama, hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta yang dikelola, mencakup pertunjukan ciptaan, pengumuman ciptaan dan komunikasi ciptaan. Kedua, hak ekonomi pelaku pertunjukan yang dikelola melalui penyiaran dan/atau komunikasi atas pertunjukkan pelaku pertunjukkan. Ketiga, hak ekonomi produser fonogram yang dikelola meliputi penyediaan atas fonogram dengan atau tanpa kabel yang dapat diakses publik.
Pihak yang wajib membayar royalti adalah perseorangan atau badan hukum yang melakukan penggunaan lagu/musik dalam bentuk layanan publik bersifat komersial. Pasal 3 ayat (2) PP No. 56/2021 menyebutkan ada 14 kategori, antara lain pertokoan, perhotelan, konser musik, serta restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, dan diskotek.
Royalti yang ditarik dari penggunaan komersial tersebut akan dibayarkan kepada pencipta atau pemegang hak cipta lagu dan/atau musik melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
"Sangat sedih melihat komentar kebanyakan warganet dan beberapa musisi di media sosial menanggapi PP No. 56/2021. PP ini bisa dikatakan langkah awal dan cenderung fokus ke ranah publik komersial luring dan tetap mempunyai tujuan positif. Di negara lebih maju, kafe atau bar kecil yang tidak sanggup membayar royalti lagu/musik memilih menampilkan penyanyi/band baru dengan lagu-lagu ciptaan mereka sendiri sehingga malah jadi ajang pembibitan talenta baru," ujar Pramedya.
Manajer Advokasi Koalisi Seni Hafez Gumay membenarkan bahwa kehadiran PP No. 56/2021 sangat terlambat, padahal ini merupakan amanat pasal 35 UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Peraturan pelaksanaan sebuah UU seharusnya rampung paling lambat dua tahun setelah UU tersebut mulai berlaku. Fenomena menyedihkan ini kerap terjadi dalam sistem hukum di Indonesia.
Meski demikian, dia sependapat dengan Pramedya, meski terlambat, kehadiran PP ini harus didukung. Apalagi, sebagai upaya untuk mengoptimalkan penarikan dan pendistribusian royalti, PP No. 56/2021 mengamanatkan pembangunan pusat data lagu dan/atau musik. Informasi pusat data berasal dari e-Hak Cipta yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Pusat data dapat diakses oleh LMKN, pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak terkait, dan pengguna secara komersial.
Kemudian, LMKN akan mengelola royalti berdasarkan data yang telah terintegrasi antara Pusat data musik dan/lagu milik DJKI Kemenkumham dengan Sistem Informasi Lagu/Musik (SILM) yang dikelola oleh LMKN.
"Selama ini, Indonesia belum memiliki sistem yang dapat mendeteksi dan menghitung penggunaan lagu dan musik secara komersial. Sistem ini mutlak diperlukan guna menjamin pembagian royalti kepada para pencipta lagu berjalan adil. Sebab, penentuan besaran pembagian royalti untuk pencipta lagu belum pernah jelas karena ketidaktransparan data jumlah penggunaan lagu dan musik," kata Hafez.
Baca juga: Protes Keadilan Pendapatan Industri Musik Streaming
Kompleks
Penyanyi dan sekretaris Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Persatuan Artis Penyanyi, Pemusik, dan Pencipta Lagu RI (PAPPRI) Iga Mawarni mengatakan, di Indonesia terdapat LMK yang diberi kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta, ataupun pemilik hak terkait untuk mengelola hak ekonomi. Caranya, LMK bertugas menghimpun dan mendistribusikan royalti. LMK terdiri dari dua kategori, yakni LMK khusus hak cipta dan LMK khusus menangani hak terkait lagu/musik. PAPPRI sendiri termasuk LMK khusus mengenai hak terkait
Adapun LMKN dibentuk menteri berdasarkan UU No. 28/2014 yang berwenang menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti. Untuk pembayaran royalti, para pengelola ruang publik komersial melalui LMKN. Setelah itu, LMKN akan meneruskan distribusi royalti ke para LMK.
LMK, seperti PAPPRI, juga memiliki data karya lagu/musik para anggotanya. Pendataan karya lagu/musik tidak sederhana, harus detail nama pencipta, pemegang hak cipta, dan hak terkait.
Dia menggambarkan, ketika sebuah karya lagu/musik dimainkan atau dinyanyikan, lalu diproduksi oleh label rekaman, bisa saja penyanyi yang memopulerkan karya bersangkutan adalah orang berbeda. Misalnya, lagu Can't Help Falling In Love yang dipopulerkan oleh penyanyi Elvis Presley, kemudian sejumlah penyanyi memopulerkan ulang dengan gaya berbeda, lalu diproduksi oleh label rekaman tertentu dan didistribusikan. Dalam konteks ini, pencipta, pemegang hak cipta, ataupun pemilik hak yang terlibat di dalamnya tetap harus menerima royalti sesuai jenis dan kategori bentuk produksi serta pendistribusiannya.
Integrasi data seperti itu semestinya sampai ke sistem milik perseorangan dan badan hukum yang menggunakan lagu/musik dalam bentuk layanan publik bersifat komersial. Dengan demikian, itu akan memudahkan pencatatan pemakaian lagu/musik.
"Selama ini, kalau pengelola karaoke, pencatatan pemakaian lagu/musik bisa dikatakan transparan karena sistem kerja mereka benar-benar menghitung. Tantangannya ada pada ruang publik komersial lain," tutur dia.
Pendiri dan Direktur Amity Asia Agency Nadia Yustina mencontohkan, saat konser musik, ada kecenderungan penyelenggara acara lokal tidak membayar royalti ke pencipta, pemegang hak cipta, ataupun hak terkait lagu/musik. Kehadiran PP No. 56/2021 berguna untuk menegakkan public performance royalties, seperti pada konser musik."Jika mendatangkan penyanyi dari luar negeri untuk konser, pembayaran royalti biasanya malahan langsung di muka sebelum pelaksanaan acara," kata Nadia.
Tarif
Dalam konferensi pers tanggal 9 April 2021, Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kemenkumham Freddy Haris menegaskan, besaran harga tarif royalti masih mengacu pada Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kepmenkumham) Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016. Pemerintah belum akan mengeluarkan tarif royalti terbaru.
Sejumlah penyanyi dan musisi sempat berucap pentingnya transparansi tarif royalti lagu/musik. Penyanyi sekaligus anggota DPR Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Krisdayanti, di salah satu media daring, mengatakan, transparansi tarif royalti bertujuan agar publik dan musisi mengetahui besaran royalti.
Menurut Hafez, letak permasalahan tarif royalti lagu/musik terletak pada penetapannya nilainya yang masih gelondongan. Sebagai contoh, untuk tarif royalti restoran dan kafe ditentukan berdasarkan tiap kursi per tahun dengan besaran harga Rp 60.000 untuk royalti pencipta maupun royalti hak terkait.
"Dengan penetapan (gelondongan) seperti itu, kita tidak bisa mengukur mengapa musisi A dan B memperoleh pendapatan royalti berbeda," ujar dia.
Dinamika tantangan dan permasalahan yang kompleks tersebut baru terjadi di ranah luring. Menurut Pramedya, pemerintah sebaiknya menyelesaikannya dulu. Pokok-pokok isi PP No 56/2021, terutama menyangkut pusat data lagu/musik dan SILM segera dibangun.
"Transparansi data di Indonesia selama ini masih buruk. Jika dibiarkan, kasus komposer lagu yang tidak sejahtera bisa terulang," tuturnya.
Dia menambahkan, berbicara pendapatan royalti lagu/musik di ranah digital juga tidak sederhana. Regulasi teknis tidak bisa sekadar disamakan dengan luring sebab memiliki cara kerja berbeda.
Aldri Dataviadi Music Publisher di Massive Music Entertainment, saat dihubungi terpisah, membenarkan hal itu. Setiap jenis platform over-the-top/ OTT memiliki kebijakan berbeda. Sebagai contoh, platform YouTube. YouTube membuat klasifikasi kreator konten mulai dari individu sampai badan hukum, seperti stasiun televisi.
"Tata kelola royalti di setiap platform OTT bisa berbeda satu sama lain. Di antara penyedia platform OTT bayar royalti ke komposer lagu/musik. Kelebihan mereka yaitu pencatatan penggunaan terdata seluruhnya," kata dia.
Secara global, masih ada kecenderungan di kebanyakan negara dan pelaku ekosistem industri lagu/musik mencari bentuk tata kelola royalti yang pas serta berpihak pada kesejahteraan komposer. Mantan Global Head of Music Publishing di Spotify Adam Parness, melalui tulisan opininya di musicbusinessworldwide.com tanggal 8 Maret 2021, mengatakan, nilai pendapatan kekayaan intelektual penulis lagu dan penerbit dalam ekosistem lagu/musik streaming harus diukur dengan kontribusi nyata. Dia berpendapat, penghitungan royaltinya seharusnya tidak menggunakan model lisensi komersial yang sesuai dengan keinginan platform untuk memonetisasi atau tidak sehingga rentan meremehkan karya lagu/musik.
Baca juga: Royalti Lagu Menyejahterakan Pemusik, Tetapi Belum Dikenali Tempat Hiburan
Menurut Ketua Umum Federasi Serikat Musisi Indonesia Candra Darusman, hal utama dan terpenting sekarang adalah mengawal basis data lagu dan musik yang terpusat sesuai amanat PP No 56/2021. Negara bisa bekerja sama dengan swasta, seperti para musisi.