Anatomi Ketimpangan Pasar Musik Dunia
Belanja musik global masih didominasi negara-negara dengan ekonomi kuat dan perusahaan-perusahaan besar teknologi digital.
Teknologi digital menjadi penolong industri musik dunia di tengah impitan krisis pandemi Covid-19. Namun, belanja musik global mengalami ketimpangan karena didominasi oleh negara-negara dengan ekonomi kuat.
Musik merupakan salah satu jenis produk dari industri kreatif. Sektor industri kreatif diposisikan sebagai bidang yang memiliki pengaruh besar terhadap perekonomian dunia di masa depan. United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) dalam rilisnya pada Januari 2021 menobatkan tahun 2021 sebagai ”Tahun Internasional Industri Kreatif untuk Pembangunan Berkelanjutan”.
Agenda tersebut muncul sebagai reaksi dari pukulan telak pandemi Covid-19 yang menimpa industri kreatif. Salah satu dampak yang ditimbulkan adalah terganggunya penghidupan 30 juta pekerja kreatif di sektor musik yang mayoritas adalah kelompok muda.
Di sisi lain, pembatasan aktivitas luar ruang akibat pandemi mendorong masyarakat lebih banyak mengonsumsi produk industri kreatif melalui internet. Misalnya menonton film, mendengarkan podcast, dan mendengarkan musik.
Boleh dibilang, di saat pandemi ini, teknologi digital menjadi tulang punggung distribusi produk industri kreatif, termasuk karya musik. Musik bisa didengar oleh para penikmat melalui agregator. Beberapa penyedia audio streaming antara lain Spotify, Joox, Apple Music, dan Deezer.
Melihat tren sebelumnya, kanal digital perlahan-lahan mulai menjadi tumpuan pendapatan musik. Pada 2001, porsi penghasilan musik paling besar didapat dari penjualan fisik, yaitu kaset, CD, dan DVD. Berdasarkan data dari International Federation of the Phonographic Industry (IFPI), penjualan rilis fisik saat itu mencapai 98 persen dari pendapatan musik global senilai 23,4 miliar dollar AS.
Penjualan rilisan fisik merosot drastis seiring dengan masuknya teknologi digital berbasis internet. Rilisan fisik pada 2019 hanya mampu membukukan penjualan 4,4 miliar dollar AS atau 20 persen dari nilai pendapatan total industri musik dunia.
Titik terendah penurunan pendapatan bisnis musik global terjadi pada 2014. Perlahan kondisi mulai membaik berkat kontribusi penjualan melalui kanal digital. Terdapat dua sumber pendapatan dari distribusi digital, yaitu dari biaya berlangganan serta iklan audio dalam platform.
Pada 2019, kanal digital menghasilkan 56 persen pendapatan musik dunia atau senilai 11,4 miliar dollar AS. Sebagian lain pendapatan berasal dari rilisan fisik dan penampilan konser. Di masa pandemi Covid-19, industri musik dunia masih mencatatkan pertumbuhan pendapatan.
Data MIDiA Research memperlihatkan pendapatan musik rekaman global mencapai 23,1 miliar dollar AS sepanjang 2020. Nilai pendapatan di tahun pandemi tersebut tumbuh sekitar 7 persen dari tahun sebelumnya.
Kondisi pasar
Kondisi pandemi Covid-19 memicu terciptanya kondisi normal baru yang mengharuskan pegiat musik untuk cepat beradaptasi. Pada momen inilah dapat diambil kesempatan untuk mengoptimalkan platform digital. Untuk meningkatkan pendapatan bisnis musik, perlu dicermati sejumlah tren kondisi pasar musik saat ini, antara lain dari segi nilai konsumsi serta perilaku konsumsi musik oleh masyarakat.
Dari aspek nilai konsumsi, pertumbuhan bisnis musik global ternyata didominasi oleh negara-negara kaya. Merujuk pada publikasi IFPI Global Music Report The Industri in 2019 didapati bahwa lima negara dengan belanja musik tertinggi didominasi oleh negara dengan ekonomi kuat. Lima negara tersebut adalah Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Jerman, dan Perancis.
Tiga dari lima negara berada di kawasan Eropa, satu di Amerika Utara dan satu lagi berada di Asia. Menurut tren data IFPI, posisi lima negara tersebut tidak banyak bergeser sejak tahun 2004. Hal ini menandakan bahwa negara yang menyerap pasar musik dunia tidak banyak berubah dalam dua dekade terakhir.
Lebih menarik lagi ketika mencermati nilai belanja dari negara-negara papan atas. Pada 2017, penduduk AS membelanjakan 6 miliar dollar AS untuk menikmati musik. Angka ini mencakup lebih dari sepertiga total pendapatan industri musik global. Jika nilai konsumsi AS ditambah dengan empat negara konsumen tertinggi, negara lainnya hanya menyumbang 30 persennya.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Mengutip laporan dari Recording Industry Association of Japan (RIAJ), pada 2010 Indonesia berada di urutan ke-35 dengan nilai belanja musik 29 juta dollar AS dalam setahun. Jika dirata-rata dengan populasi Indonesia, didapatkan nilai belanja musik per orang dalam setahun pada angka 0,1 dollar AS atau setara sekitar Rp 1.400.
Dibandingkan dengan Jepang pada periode yang sama, nilai belanja musik Indonesia masih jauh tertinggal. Jepang tercatat sebagai negara Asia dengan konsumsi musik tertinggi di dunia pada 2010. Nilai belanja musik ”Negeri Sakura” yang memiliki jumlah penduduk 128 juta jiwa tersebut mencapai 4 miliar dollar AS. Jika dihitung, per individu menghabiskan 31 dollar AS untuk berbelanja musik.
Data tersebut mengungkap fakta bahwa lahan basah bagi pasar musik dunia terkait erat dengan kesejahteraan ekonomi suatu negara dan kemapanan daya beli masyarakat. AS, Jepang, Jerman, Perancis, dan Inggris termasuk dalam 10 negara dengan ekonomi terkuat di dunia.
Oleh karena itu, untuk memacu pertumbuhan musik dunia di era digital, perluasan pasar di luar negara-negara mapan ini perlu dilakukan. Minimnya penghasilan musik dunia di luar negara kaya tersebut bukan berarti negara dengan ekonomi menengah dan bawah tidak ikut menikmati musik.
Pasar musik seperti yang terangkum dalam laporan Global Music Report 2019 bukan semata hanya melihat pendapatan musik global, melainkan juga menunjukkan geliat musik-musik lokal yang tumbuh di setiap negara. Musik lokal memiliki peminat yang tak kalah banyak dibandingkan dengan musik universal, termasuk genre yang populer.
Pada 2019, genre musik terpopuler di Korea Selatan adalah K-pop yang diminati 69 persen masyarakat Korea Selatan. Sementara di Polandia, musik disco polo dan sung poetry diminati separuh penduduknya. Di belahan bumi Amerika Utara, khususnya Meksiko dan Argentina, aliran musik latin pop memiliki popularitas 58 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis musik lain.
Keberadaan musik lokal ini menjadi potensi bisnis musik dalam skala negara. Melihat kesuksesan K-pop dari Korea Selatan, selain populer di negeri sendiri, saat ini juga sudah kuat menancap pasar musik dunia. Fenomena serupa terlihat dari data pendapatan bisnis musik dunia saat pandemi.
Berdasarkan data MIDiA Research khusus di tahun pandemi ini, secara global kelompok pemusik dan label independen mengalami pertumbuhan hingga 31,5 persen. Capaian musik genre indie pada 2020 ini didorong oleh distribusi musik melalui platform audio streaming.
Nilai pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan dengan label musik besar, seperti Sony Music Entertainment, Universal Music Group, dan Warner Music Group. Kondisi ini sekaligus menggambarkan masih adanya peluang meningkatkan pendapatan industri musik di luar dominasi negara kuat dan label yang sudah mapan.
Pembajakan
Aspek kedua yang perlu dicermati dalam perkembangan musik di era digital adalah konsumsi musik masyarakat. Teknologi yang berkembang pesat termasuk untuk menikmati musik memungkinkan masyarakat untuk lebih mudah mengonsumsi musik melalui ragam aplikasi digital.
Kemudahan teknologi membuat musik dapat diakses melalui kanal Youtube secara gratis dan resmi. Dari sisi masyarakat, ini menjadi tawaran menarik karena dapat menikmati musik secara gratis. Dari sini produsen, musik bisa memperoleh pemasukan dari konten iklan yang disisipkan pada video.
Pasar digital juga memberikan lapak bagi distribusi karya musik melalui aplikasi iTunes, Google Music, Amazon, dan Spotify. Dengan berlangganan musik, masyarakat semakin mudah menikmati kualitas musik tanpa jeda iklan.
Dari sini dapat terlihat bagaimana teknologi digital memberikan tawaran kemudahan bagi masyarakat untuk menikmati produk-produk musik. Namun, dari sini pula dapat terlihat ketimpangan berikutnya, yaitu bagaimana kue besar pendapatan musik dunia baru dinikmati oleh pemain-pemain besar dunia digital.
Sisi lain teknologi digital juga belum mampu menghapus pembajakan karya seni musik yang banyak merugikan para musisi. Teknologi memang memberi kemudahan masyarakat mendengarkan musik secara cuma-cuma. Kondisi ini menjadi problem apabila seseorang mendengarkan musik secara gratis dengan cara ilegal.
Praktik pembajakan menjadi faktor lanjutan ketimpangan pendapatan bagi musisi di industri musik. Sebelum era internet, kasus pembajakan sudah menjadi momok industri musik dunia, termasuk di Indonesia. Pembajakan musik di dalam negeri menimbulkan kerugian hingga Rp 4,5 triliun per tahun.
Apabila nilai konsumsi musik per orang Rp 20.000 per tahun, ada potensi pendapatan Rp 5 triliun per tahun. Namun, dari nilai tersebut yang bisa dinikmati industri musik hanya 10 persennya.
Pembajakan saat ini tidak hanya dilakukan terhadap konten musik. Di era digital, pembajakan merambah pada aplikasi agregator musik berbayar. Aplikasi bajakan dapat memberi akses premium yang seharusnya hanya bisa didapat jika pengguna berlangganan.
Pada 2018, Spotify memberikan keterangan bahwa terdapat 2 juta penggunanya yang memanfaatkan aplikasi bajakan untuk mendapatkan akses premium dan tanpa iklan. Hal ini sangat meresahkan pihak agregator dan tentu pihak industri musik.
Pada era CD/DVD dan kaset bajakan, yang menjadi korban biasanya pemusik yang sedang populer dan banyak dicari orang. Sementara sekarang yang dibajak adalah aplikasi penyedia layanan, artinya semua musisi yang difasilitasi di dalamnya mengalami kerugian.
Model lain pembajakan aplikasi dilakukan oknum yang menjual akun agregator dengan harga jauh lebih murah dibandingkan dengan harga resmi. Kasus ini menimpa penyedia musik dan juga film. Model transaksinya dengan memberi nama pengguna dan kata sandi kepada konsumen.
Iklim baru
Kehadiran teknologi digital di satu sisi mempermudah akses terhadap musik sebagai karya industri kreatif. Namun, masih banyak tugas yang dilakukan untuk menciptakan iklim bisnis musik di era digital yang lebih baik.
Terdapat 12 poin saran untuk membenahi industri musik seperti tercantum dalam laporan British Council yang berjudul The Mapping of Indonesia Music Sector Ecology. Ada dua poin saran yang sangat relevan untuk industri musik era digital.
Pertama, menciptakan sistem distribusi digital yang transparan, real-time, dan mudah diakses serta mampu melindungi hak cipta karya musisi. Hal kedua, meningkatkan kesejahteraan musisi dengan menerapkan perundangan untuk menjamin keadilan pembagian royalti hingga perlindungan kekayaan intelektual musisi.
Harapannya, negara memberikan perlindungan kepada musisi dan karya-karyanya. Era digital membuka banyak kemungkinan baru. Memudahkan untuk menjangkau audiens, juga meningkatkan kerawanan pelanggaran hak cipta yang menjadi masalah klasik.
Pada akhirnya, industri musik bertumpu pada kedewasaan audiens dalam menikmati karya, regulasi negara yang melindungi musisi, dan juga daya beli yang memungkinkan menyerap karya para musisi. Dengan cara ini, ketimpangan bisnis musik, terutama yang tidak berpihak kepada musisi, dapat dihindari. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Penguasa Industri Musik dari Masa ke Masa