Reformasi Sistem Pembayaran Ritel Nasional dan BI-FAST
Reformasi kebijakan sistem pembayaran ritel perlu dimaknai sebagai pembuka jalan inklusi keuangan dan ekonomi melalui efisiensi transaksi dan perolehan data granular. Perlu dukungan sinergi pemerintah dan industri.
Oleh
FILIANINGSIH
·4 menit baca
Kompas
Didie SW
Inovasi digital mengubah perilaku membayar. Penggunaan uang tunai mulai bergeser ke nontunai. Uang elektronik semakin populer dengan dukungan ekosistem yang kian meluas. Transformasi digital merambah perbankan. Perusahaan teknologi finansial pun bermunculan.
Bank Indonesia (BI) telah melihat fenomena bermula dari beberapa tahun yang lalu. Perubahan struktur industri sistem pembayaran ritel dan perilaku masyarakat yang dinamis perlu segera diantisipasi. Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025 pun terbit pada November 2019.
Dengan misi membawa 62,2 juta UMKM dan 91,3 juta penduduk masuk ke sektor keuangan formal, digitalisasi infrastruktur pembayaran ritel dipilih menjadi inisiatif kunci. Infrastruktur ini dinamakan BI-FAST, direncanakan beroperasi Desember 2021.
Rasional BI-FAST
Setidaknya terdapat tiga rasional mengapa membangun BI-FAST menjadi fondasi utama reformasi pembayaran ritel nasional. Pertama, secara esensi uang adalah public goods. Jika pola transaksi masyarakat berubah, bank sentral perlu memfasilitasi penyediaan metode pembayaran yang selaras dengan kebutuhan ini. Metode pembayaran yang cepat, mudah, murah, aman, dan andal alias ”cemumuah”.
Sejatinya, BI telah mengoperasikan infrastruktur sistem kliring nasional (SKNBI) untuk layanan transfer antarbank. Namun, operasional SKNBI waktu operasional masih terbatas dan tidak dilakukan secara real time.
Jika pola transaksi masyarakat berubah, bank sentral perlu memfasilitasi penyediaan metode pembayaran yang selaras dengan kebutuhan ini.
Kedua, perlunya infrastruktur sistem pembayaran untuk mengonsolidasi industri sistem pembayaran nasional dan integrasi ekonomi dan keuangan digital. Cepatnya perkembangan teknologi dan tuntutan masyarakat menghadirkan pelaku baru dengan instrumen dan kanal pembayaran yang inovatif.
Kehadiran pelaku baru dengan ekosistem yang luas bisa berdampak pada struktur pasar yang kurang berimbang. Jika berlanjut, berpotensi menghadirkan ekosistem tertutup dan penguasaan data pada kelompok tertentu. Tentu situasi ini kontraproduktif dengan semangat digitalisasi yang terbuka dan inklusif.
Ketiga, bank sentral era digital dituntut memiliki pemahaman terkini mengenai situasi ekonomi dan keuangan. Ini dapat difasilitasi dengan BI-FAST yang bisa menangkap data transaksi pembayaran secara granular dan lebih cepat.
KOMPAS/KOMPAS Tangkapan Layar
Tangkapan layar saat Asisten Gubernur, Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Filianingsih Hendarta memaparkan materi pada seminar dalam jaringan Infobank bertajuk ”Peran Teknologi Digital untuk Mendukung Keuangan Inklusif dan Pemberdayaan UMKM”, Jumat (22/1/2021).
Kalkulasi dan proyeksi ekonomi akan lebih akurat. Berbagai kebijakan bisa diambil lebih efektif dan efisien untuk menjaga stabilitas rupiah. Ujungnya, kebijakan BI ke depan akan selaras antara moneter, stabilitas sistem keuangan, dan sistem pembayaran.
Di saat yang sama, pembangunan infrastruktur pembayaran ritel layaknya BI-FAST juga menjadi agenda bank sentral secara global. Pada Annual Economic Report 2020, Bank for International Settlement (BIS) merekomendasikan bank sentral turut mengoperasikan infrastruktur sistem pembayaran ritel fast payment untuk memfasilitasi digitalisasi.
Beberapa bank sentral juga turut membangun infrastruktur fast payment seperti bank sentral Brasil, Meksiko, dan AS (The Fed). Bahkan beberapa bank sentral telah mulai menyambungkan koneksi fast payment antarnegara seperti India dan Singapura.
Desain fitur yang consumer centric menjadi syarat mutlak agar BI-FAST segera diterima publik. Dari sisi waktu, BI-FAST akan beroperasi nonstop 24 jam tujuh hari tanpa henti. Dari sisi kecepatan, transaksi BI-FAST akan real time baik di sisi bank maupun nasabah. Pengguna tidak perlu mengingat nomor rekening karena terdapat fitur proxy address. Pengguna juga dapat mengontrol transaksi melalui fitur notifikasi secara otomatif. Kenyamanan transaksi ini tentu akan diimbangi fitur keamanan dan mitigasi risiko.
Sistem pembayaran yang efektif dapat menjadi jembatan antara konsumen, merchant, dan pelaku industri. Dus, menata keseimbangan diyakini menjadi kata kunci tiga strategi kebijakan penyelenggaraan BI-FAST.
Pertama, kebijakan kepesertaan. BI menyadari keberagaman kebutuhan dan kemampuan penyelenggara jasa pembayaran atas infrastruktur BI-FAST. Di sisi lain, terdapat infrastruktur Sistem Kliring Nasional (SKNBI) yang saat ini masih beroperasi. Oleh karena itu, diberikan opsi jenis kepesertaan berupa peserta langsung dan peserta tak langsung. Opsi diberikan kepada calon peserta mempertimbangkan kontribusi, kapabilitas, kolaborasi, dan kesiapan implementasi.
Kedua, opsi penyediaan infrastruktur bersama. BI-FAST sering dianalogikan sebagai jalan tol, sementara penyelenggara jasa pembayaran adalah pemilik kendaraan yang melewatinya. Jika memiliki volume tinggi, penyelenggara jasa pembayaran bisa menjadi peserta langsung dengan membeli ”mobil” sendiri.
Di sini, pepatah ”banyak jalan menuju Roma” semakin relevan di era digital.
Pilihan berikutnya, bisa patungan membeli ”mobil” dan digunakan bersama jika volume transaksi sedang. Jika dirasakan volume transaksi kecil, dapat menggunakan ”kendaraan umum” yang diselenggarakan oleh perusahaan penyedia jasa teknologi informasi. Di sini, pepatah ”banyak jalan menuju Roma” semakin relevan di era digital.
Ketiga, strategi harga yang terjangkau dengan tetap memperhatikan keberlangsungan industri. Harga kepada nasabah ditetapkan maksimum Rp 2.500 per transaksi, sedikit lebih rendah dibandingkan SKNBI. Sementara, BI mengenakan harga Rp 19 per transaksi kepada peserta. Evaluasi berkala akan dilakukan terhadap skema harga tersebut. Harapannya, layanan pembayaran kian efisien dan dukungan industri semakin kuat.
ARSIP PRIBADI
Filianingsih Hendarta
Pada akhirnya, reformasi kebijakan sistem pembayaran ritel perlu dimaknai sebagai pembuka jalan inklusi keuangan dan ekonomi melalui efisiensi transaksi dan perolehan data granular. Tentunya hal ini didukung juga oleh sinergi dengan pemerintah dan kalangan industri.