Wujudkan Sistem Pembayaran yang Efisien, Cepat, dan Murah, Bank Indonesia Implementasikan BI-Fast
Bank Indonesia menerapkan kebijakan BI-Fast menggantikan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia per Desember 2021. Berbeda dengan SKNBI, BI-Fast melayani pembayaran secara ”real time” dan dengan tarif lebih murah.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·3 menit baca
Kompas
Ilustrasi Gedung Bank Indonesia
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia akan menerapkan BI-Fast untuk menggantikan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia atau SKNBI mulai Desember 2021. Berbeda dengan SKNBI, BI-Fast melayani penyelesaian pembayaran secara real time dan memberlakukan tarif lebih kecil. Kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan layanan sistem pembayaran yang lebih efisiensi dan cepat.
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, BI-Fast adalah infrastruktur sistem pembayaran ritel nasional yang dapat memfasilitasi pembayaran ritel secara real time, aman, efisien, dan tersedia setiap saat selama 24 jam sehari serta tujuh hari dalam sepekan. Ini untuk menggantikan layanan SKNBI yang belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan masyarakat karena dibatasi oleh waktu layanan (sesuai window time).
”Tujuan kami memberlakukan BI-Fast adalah menciptakan sistem pembayaran yang lebih efisien dan meningkatkan volume transaksi yang ada,” ujar Perry dalam konferensi pers virtual mengenai kebijakan BI-Fast, Jumat (22/10/2021).
BANK INDONESIA
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo
Perry menjelaskan, kebijakan ini akan mulai diberlakukan pada 22 bank peserta atau gelombang pertama pada Desember 2021. Adapun bank-bank peserta itu antara lain Bank Mandiri, BCA, BTN, BNI, dan BRI. Adapun gelombang kedua dimulai pada Januari 2022 yang juga diikuti 22 bank peserta.
Batas maksimal nominal transaksi BI-Fast pada implementasi awal ditetapkan sebesar Rp 250 juta per transaksi dan akan dievaluasi secara berkala. Adapun kebijakan skema harga dari BI kepada peserta (perbankan dan industri jasa keuangan) ditetapkan Rp 19 per transaksi. Selain itu, tarif dari peserta kepada nasabah ditetapkan maksimal Rp 2.500 per transaksi, lebih murah dari sebelumnya yang sebesar Rp 2.900 per transaksi.
BI-Fast akan diimplementasikan secara bertahap mulai Desember 2021 dengan prioritas awal transfer kredit individual. Selanjutnya, secara bertahap mulai tahun 2022 akan dilakukan pengembangan layanan BI-Fast untuk transfer debit, bulk credit, dan request for payment yang akan diimplementasikan pada tahun 2023. Selanjutnya, BI-Fast juga akan diperluas untuk dapat melayani transaksi lain, seperti transaksi berbasis instrumen, QRIS (Standar Kode Respons Cepat Indonesia), dan pembayaran lintas negara (cross border).
Perry menambahkan, pengembangan BI-Fast selaras dengan arah kebijakan Bank Indonesia ke depan, baik moneter, stabilitas sistem keuangan, maupun sistem pembayaran, untuk mendukung terciptanya ekosistem 3I, yaitu integrated, interoperable, dan interconnected.
Direktur Utama BNI Royke Tumilaar mengatakan, pihaknya mendukung kebijakan Bank Indonesia dalam implementasi BI-FAST karena nasabah dengan mudah dan cepat dapat melakukan online transfer 24x 7 dengan biaya yang lebih murah. Hal ini menjadi salah satu terobosan yang meningkatkan pengalaman, kualitas layanan dan kepuasan nasabah.
"Diharapkan dengan penurunan tarif ini akan berdampak terhadap efesiensi dari sisi biaya transaksi nasabah dan mendorong volume transaksi digital dan pertumbuhan ekonomi," kaya Royke.
Volume transaksi
Dihubungi terpisah, ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teuku Riefky, menuturkan, kebijakan ini menguntungkan baik dari sisi perbankan maupun sisi nasabah. Dengan meningkatnya kecepatan transaksi dan biaya yang dikenakan lebih murah, volume transaksi bisa meningkat.
”Semakin cepat dan murah transaksi, maka pendapatan bank juga bakal meningkat. Nasabah pun diuntungkan dengan kecepatan dan biaya yang lebih murah. Pada ujungnya, ini semua untuk meningkatkan produktivitas,” ujar Riefky, Jumat.
Bagi perbankan, kebijakan ini bisa meningkatkan efisiensi. Seperti diketahui, lanjut Riefky, perbankan di Indonesia masih belum efisien. Sebab, tiap transaksi masih dikenai biaya, berbeda dengan negara maju yang sudah tidak mengenakan biaya. Ini dikarenakan volume dan frekuensi transaksi perbankan di Indonesia belum mencapai skala keekonomian sehingga harus ditutup dengan biaya.
”Harapannya, dengan kecepatan sistem pembayaran yang ditingkatkan dan biayanya lebih murah, ini bisa meningkatkan volume transaksi sehingga harapannya tercapai skala keekonomian itu,” ujarnya.