Tema hari pangan sedunia tahun ini mengajak semua pihak untuk terlibat dan mengatasi dua masalah penting: pangan dan kesehatan untuk masa depan yang lebih baik. Di samping dua masalah itu, energi juga perlu perhatian.
Oleh
ADHI S LUKMAN
·5 menit baca
Tema hari pangan sedunia tahun ini ”Our Actions are Our Future”. Tema ini mengajak semua pihak untuk terlibat dan mengatasi dua masalah penting: pangan dan kesehatan untuk masa depan yang lebih baik. Di samping dua masalah itu, ada masalah yang tak terpisahkan dan erat kaitannya dengan pangan, yaitu energi.
Pandemi Covid-19 memaksa semua negara menata ulang aspek kehidupannya, antara lain dengan cara membatasi aktivitas untuk mencegah penyebaran penyakit. Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan dalam produksi, logistik, serta konsumsi, dan menyebabkan krisis yang diakibatkan ketidakseimbangan global. Ini membuktikan ekosistem global sudah saling tergantung, apabila terjadi masalah di suatu negara, akan berakibat ke negara lain.
Ditengarai terjadi lima krisis selama pandemi ini. Diawali dengan krisis kesehatan, yang menuntun pada krisis ekonomi karena pertumbuhan ekonomi terkontraksi dan pembatasan kegiatan menyebabkan terpukulnya sektor pariwisata, perhotelan, kegiatan pameran, pertemuan akbar, serta sektor informal kecil yang rentan.
Pembatasan ekonomi dan kegiatan menyebabkan ketidakseimbangan perdagangan dan ekspor-impor, dan memicu krisis logistik. Sejak akhir tahun lalu terjadi kelangkaan kontainer dan kapal angkutan barang serta kenaikan biaya logistik sampai lima kali lipat, hampir di semua negara.
Ditengarai terjadi lima krisis selama pandemi ini.
Krisis keempat, krisis pangan. Pandemi mengakibatkan disrupsi produksi dan konsumsi pangan. Ada area yang menurun produksi pangannya dan ada yang tiba-tiba melonjak kebutuhan pangannya. FAO melaporkan kenaikan harga komoditas pangan rata-rata 32,8 persen dibandingkan tahun lalu.
Bahkan banyak komoditas pangan yang harganya naik di atas 50 persen, misalnya minyak nabati naik 60 persen. Kenaikan harga komoditas pangan bisa seperti dua sisi mata uang, di satu sisi meningkatkan nilai ekspor produk pangan, dan disisi lain meningkatkan biaya produksi industri pangan dan harga di tingkat konsumen.
Krisis komoditas pangan berakibat pada krisis energi. Krisis energi di beberapa negara Eropa dan China memaksa pemerintahnya membatasi waktu operasional industri manufaktur. Lonjakan kebutuhan energi, terutama dipicu pemulihan ekonomi, setelah beberapa waktu lockdown akibat pandemi. Krisis energi juga terjadi di India dan Jepang. Naiknya permintaan energi mendongkrak harga batubara dan menjadi berkah bagi ekspor Indonesia.
Pangan dan energi sudah sulit dipisahkan. Indonesia produsen sawit terbesar di dunia. Data GAPKI, produksi 2020 mencapai 46 juta ton, di mana 43 persen untuk konsumsi dalam negeri, dan sisanya diekspor. Dari angka ini, 8,6 juta ton untuk pangan dalam negeri dan 18,4 juta ton untuk pangan ekspor. Sementara untuk energi (biodiesel), 10,5 juta ton untuk dalam negeri dan 0,5 juta ton ekspor. Sisanya untuk industri lain seperti oleochemical.
Sawit yang awalnya hanya diperuntukkan bagi pangan, saat ini sudah menjadi sumber energi baru terbarukan (EBT).
Contoh lain EBT yang berasal dari bahan pangan adalah bioetanol dari tebu. Tebu yang awalnya hanya untuk bahan baku gula kini sudah dikembangkan jadi bioetanol. Brasil, produsen bioetanol terbesar di dunia, sering terjebak dilema antara pangan dan energi.
India adalah pengekspor gula. Krisis energi yang dialami India bisa mendorong konversi gula menjadi bioetanol. Apabila ini terjadi, akan semakin mengurangi pasokan gula di dunia sehingga kian memperparah kekurangan pasokan gula global dan memicu kenaikan harga lebih tinggi lagi.
Indonesia memiliki potensi hasil pertanian dan kelautan sebagai sumber EBT. Berbagai krisis di atas, khususnya pangan dan energi, memaksa semua pemangku kepentingan melakukan langkah antisipasi.
Pertama, pemerintah harus tegas dan jelas memetakan produksi (pertanian dan kelautan) serta memakai satu data tunggal yang akurat. Langkah ini untuk memastikan berapa yang bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan pangan sebagai prioritas dan selebihnya sebagai energi. Sebenarnya pemerintah sudah membentuk Badan Pangan Nasional, Juli lalu (Perpres No 66/2021), tetapi belum efektif bekerja karena belum terbentuk organisasinya.
Badan ini wajib menentukan kebijakan pemenuhan kebutuhan pangan dan berapa yang bisa dipakai sebagai EBT. Semua ini bisa dituangkan dalam Neraca Komoditas sesuai Peraturan Pemerintah No 28/2021 sehingga jelas tujuan pemenuhan kebutuhannya.
Keluaran dari pemetaan ini adalah peta jalan pangan dan energi. Tentu harus melibatkan semua kementerian/lembaga, termasuk Kementerian ESDM, yang selama ini belum memasukkan hasil pertanian/kelautan sebagai sumber EBT.
Ketegasan pemenuhan kebutuhan pangan mutlak diperlukan meskipun kadang harga energi lebih menjanjikan.
Ketegasan pemenuhan kebutuhan pangan mutlak diperlukan meskipun kadang harga energi lebih menjanjikan. Karena, di mana pun di dunia, krisis pangan tak boleh terjadi karena berdampak luas ke segala aspek ekonomi, sosial dan politik. Sementara krisis energi masih bisa dicarikan sumber daya alternatifnya.
Kedua, bagi komoditas yang memungkinkan diproduksi lebih besar, dibuat kebijakan percepatan peningkatan produksi, serta pengembangan inovasi untuk konversi jadi EBT. Berbagai insentif perlu disiapkan karena pada dasarnya insentif jadi pemicu awal, yang akhirnya akan memberi manfaat besar bagi perekonomian. Misal, sawit atau sumber serealia lainnya, bisa terus dikembangkan dan sebagian bisa untuk EBT.
Ketiga, diyakini Indonesia masih memiliki area yang potensial yang belum dikembangkan. Ada wilayah yang penduduknya sedikit, tetapi memiliki area luas untuk pertanian. Beberapa kali dideklarasikan menjadi Food Estate (Lumbung Pangan), yang akhirnya gagal karena tak layak karena mahalnya logistik. Wilayah demikian perlu dipelajari lebih lanjut untuk menjadi energy estate.
Misalnya, Papua sebagai produsen sagu terbesar di dunia, dengan luasan tanaman alami lebih dari 1,2 juta hektar. Selama ini baru sebagian kecil dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Kesulitan infrastruktur menyebabkan sagu tak layak sebagai bahan pangan dibandingkan sumber karbohidrat lainnya. Apakah bisa dikembangkan sebagai sumber EBT?
Keempat, keterlibatan dunia usaha swasta perlu didorong dengan berbagai insentif khusus untuk membangun energy estate terpadu. BUMN pangan juga bisa didorong menjadi pionir untuk membangun industri EBT berbasis pertanian dan kelautan. Tentu saja dengan komoditas yang tak mengganggu pemenuhan kebutuhan pangan, misalnya sorgum.
Semua itu perlu pemikiran out of the box agar keseimbangan pangan dan energi bisa diselaraskan tanpa mengganggu kebutuhan dasar manusia.
Adhi S Lukman
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia; Anggota Pokja Ahli Ketahanan Pangan