Strategi Hadapi ”Booming” Komoditas
Jika ”booming” energi dan komoditas kali ini dinavigasi dengan baik dan ekonomi bertransformasi dengan sukses, ini bisa menjadi warisan Presiden Joko Widodo yang bisa dibanggakan.
Indonesia sedang diuntungkan oleh dua hal, yaitu naiknya permintaan energi dan naiknya suplai dollar AS.
Pertama, naiknya permintaan energi akan menyebabkan pergeseran pertumbuhan perekonomian dunia dari negara-negara importir energi ke pengekspor energi, seperti Indonesia.
Ketika perekonomian dunia mulai berangsur pulih dari pandemi, permintaan mesin-mesin terbesar perekonomian dunia terhadap energi beranjak naik. Mulai awal pertengahan 2021, harga energi global terus merangkak naik tajam.
Di AS, harga bensin sudah naik lebih dari 30 persen dibandingkan pada tahun 2020. India juga sedang mengalami krisis energi karena persediaan batubaranya menipis. Demikian juga raksasa manufaktur lainnya, China.
Karena ketegangan hubungan antarnegara, tahun lalu China berhenti membeli batubara dari Australia. Saat ini, level persediaan batubara dua negara besar ini sedang sangat rendah, diperkirakan tidak lebih dari 50 persen dari persediaan biasanya. Demikian juga Inggris dan negara-negara Uni Eropa juga sedang menghadapi lonjakan harga bahan bakar.
Ladang-ladang minyak dan tambang-tambang yang dulu sempat mengurangi operasi dan memangkas biaya karena permintaan masa pandemi turun juga perlu waktu untuk kembali beroperasi dalam kapasitas penuh.
Mulai awal pertengahan 2021, harga energi global terus merangkak naik tajam.
Kedua, harga-harga saham AS waktu permulaan pandemi sempat berjatuhan, seperti kartu domino. Sebagai salah satu langkah penyelamatan, AS menempuh kebijakan quantitative easing. Dimulai dari industri pesawat terbang, Pemerintah Amerika Serikat melakukan kebijakan penyelamatan terhadap Boeing, lalu dilanjutkan dengan industri penerbangan AS.
Kebijakan restriksi interaksi sosial, juga lebih lanjut menyebabkan jatuhnya industri-industri terkait, seperti perhotelan, rumah makan, tempat wisata, hiburan, dan industri penopang-penopangnya. Hasilnya, saat ini, portofolio dalam neraca bank sentral AS terus tumbuh menembus 8,6 triliun dollar AS.
Pada 2021 ini, secara rata-rata, baik harga barang maupun gaji per jam buruh di AS naik. Sebagian besar barang berharga yang diperdagangkan oleh negara-negara di seluruh dunia satu sama lain, termasuk emas dan minyak, dihargai dalam dollar AS. Jadi, jika AS mencetak dollar, dampak inflasinya bisa tersebar ke semua negara.
Injeksi likuiditas yang sangat masif oleh bank sentral global, terutama The Fed, terasa dampaknya ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, di mana cadangan devisa naik. Banjir likuiditas ini mayoritas masih ditransaksikan dalam bentuk surat berharga. Injeksi likuiditas yang diinvestasikan di sektor riil belum banyak meski baru-baru ini sudah mulai ada pabrik baterai kendaraan listrik.
Baca juga : Krisis Energi Menghantui Dunia
Lima strategi
Bagaimana kita bisa menggunakan kesempatan potensi hot money ini untuk mereformasi ekonomi dan juga memitigasi dampak inflasi impor ini? Pertama, prioritisasi tahapan pembangunan. Indonesia sudah mempunyai modal manusia yang semakin lama semakin baik, tetapi kita mempunyai keterbatasan modal. Jadi, tak bisa semua sektor diekspansi. Pemerintah harus berani memberi prioritas, sektor yang akan dikembangkan.
Indonesia selalu memiliki surplus tenaga kerja, jadi fokus pengembangan bisa pada sektor-sektor yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan formal tertinggi, dan sektor-sektor manufaktur bernilai tambah tinggi.
Sebelum pandemi, setiap tahun ada lebih dari dua juta tenaga kerja baru. Pada masa pemulihan, perusahaan-perusahaan akan cenderung merekrut karyawan yang dirumahkan terlebih dulu sehingga akan sangat bijak jika booming pendapatan dari naiknya harga minyak dan komoditas difokuskan ke sektor-sektor yang mampu menyerap tenaga kerja terbanyak. Dengan demikian semakin banyak orang yang ikut menikmati pemulihan dan pertumbuhan ekonomi.
Pengalaman sebelumnya, kita juga pernah mengalami booming komoditas. Namun, banyak kritik dari dunia internasional yang menilai saat itu pemerintah kurang strategis dan cekatan untuk mengambil manfaat. Sebagian besar penghasilan dari booming komoditas yang seharusnya bisa dialokasikan untuk investasi yang produktif dipergunakan untuk subsidi, terlebih lagi subsidinya kurang tepat sasaran.
Kedua, pengenaan pajak yang tepat waktu untuk meningkatkan pendapatan negara dari hasil booming energi dan komoditas. Harga komoditas diperkirakan masih akan tinggi sampai 2023 sehingga pemerintah perlu menjalankan sistem pemajakan yang baik agar bisa mendapatkan penerimaan tambahan untuk mengisi kas negara. Dengan demikian, belanja pemerintah untuk menstimulasi pertumbuhan perekonomian berkualitas bisa ditingkatkan.
Pertumbuhan kali ini harus lebih berkualitas, tak hanya secara nominal, tetapi juga secara riil meningkatkan produktivitas dan volume produksi.
Ketiga, pemerintah juga perlu cekatan menghadapi inflasi yang terimpor. Pada waktu booming komoditas sebelumnya, kritik menyatakan kualitas dari pertumbuhannya tak tinggi. Sebagian besar dari pertumbuhan hanyalah secara nominal, yaitu karena kenaikan harga.
Pertumbuhan kali ini harus lebih berkualitas, tak hanya secara nominal, tetapi juga secara riil meningkatkan produktivitas dan volume produksi. Sehingga, walau ada efek gerusan inflasi terimpor, peningkatan produktivitas dan volume produksi bisa mengompensasi dampak negatifnya.
Keempat, pemerintah perlu memanfaatkan hot money dari booming komoditas ini dengan strategis supaya dana bisa masuk ke sektor riil yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan negara. Misalnya, investasi produktif untuk modernisasi agrikultur yang bisa mendukung ketahanan pangan nasional, investasi produktif membangun kapasitas dan SDM supaya Indonesia semakin naik kelas berpartisipasi pada aktivitas-aktivitas yang mempunyai nilai tambah tinggi pada rantai pasok global seiring dengan berjalannya revolusi industri ke-4.
Juga mencoba mengejar keunggulan komparatif baru berbasis sains dan teknologi yang ke depan akan kian diperlukan, misalnya semikonduktor, rekayasa genetika, Internet of Things (IoT), robotics, quantum computing, dan lain-lainnya.
Baca juga : Strategi Dorongan Besar Ekspor
Transformasi ekonomi
Pada revolusi industri yang sebelumnya, banyak negara yang berhasil mengandalkan sektor sumber daya alam (SDA)-nya guna menghasilkan pendapatan yang diperlukan untuk mentransformasi struktur perekonomiannya menjadi perekonomian yang berbasis pengetahuan dan kemajuan teknologi.
Sebagai contoh, AS, Australia, dan Kanada adalah negara-negara yang mempunyai SDA yang besar dan sukses memanfaatkan pendapatan dari sektor SDA-nya untuk mereformasi ekonomi sektor riilnya menjadi berbasis kemajuan teknologi, berinovasi membangun keunggulan komparatif baru, memperkuat institusi (aturan main yang jelas dan kemudahan berbisnis), dan tumbuh menjadi negara berpendapatan tinggi.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah berhasil meningkatkan kemudahan berbisnis dan investasi di berbagai aspek.
Kelima, selain berkah naiknya harga energi dan komoditas, Indonesia juga akan menjadi tuan rumah G-20. Pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah berhasil meningkatkan kemudahan berbisnis dan investasi di berbagai aspek. Goodwill dan reputasi baik ini adalah intangible asset yang juga harus dioptimalkan dalam menarik investor asing baru untuk berinvestasi jangka panjang dan transfer teknologi di tengah booming harga energi dan komoditas.
Dengan demikian diharapkan ekspor dari Indonesia ke dunia bisa semakin beragam dan aktivitasnya dalam rantai nilai global semakin naik kelas sehingga pemulihan dan pertumbuhan ekonomi bisa stabil dan berkualitas, dan Indonesia bisa berhasil mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Jika booming energi dan komoditas kali ini dinavigasi dengan baik dan ekonomi bertransformasi dengan sukses, ini bisa menjadi warisan Presiden yang bisa dibanggakan.
Dato Sri Tahir, Pendiri Mayapada Group