Tantangan Intelektualitas dan Kontekstualitas Ketum PBNU Mendatang
Ke depan dibutuhkan pimpinan NU yang daya intelektualitasnya tidak sebatas pandai menjadi pengimbang struktur, tetapi sedapat mungkin berdiri tegas di tengah-tengah kontektualitas baru.
Oleh
FAUZUL IMAN
·5 menit baca
Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama yang akan berlangsung pada Desember 2021 di Lampung menjadi perbincangan yang amat menarik. Tidak kalah dengan muktamar sebelumnya, muktamar NU kali ini juga menyedot perhatian banyak kalangan yang mulai membicarakan siapa dan seperti apa Ketua Umum Pengurus Besar (PB) NU mendatang yang akan dipercaya memimpin ormas umat terbesar ini.
Padahal, program-program prioritas apa yang paling terukur dan strategis sejatinya penting untuk banyak dirancang dan didiskusikan. Namun, tampaknya tulisan mengenai siapa dan seperti apa Ketum PB NU mendatang dipandang lebih seksi dan menghiasi ke hampir seluruh media berita.
Oleh karena itu, sebagai warga NU yang sangat peduli dan pernah menjadi pengurus inti di tingkat propinsi, penulis merasa perlu untuk ikut menyumbangkan sebuah tulisan yang hendak membincang siapa dan seperti apa ketum PBNU yang kita harapkan di masa mendatang.
Masa depan yang kian menantang dengan sejumlah persoalan yang membentang bagi NU bukanlah merupakan persoalan baru. Sejak berdiri pada 1929, NU sudah banyak ditempa pengalaman mengatasi tantangan baru yang silih berganti.
KH Hasyim Asy’ari sebagai pendiri NU, ulama yang terkenal karismatik dan luas ilmunya, telah mewariskan legacy yang layak ditiru. Bukan saja dari sisi daya gigih kejuangannya, melainkan juga ketulusan dan daya intelektualitasnya mengayomi segala umat dan bangsa.
Kesuksesan KH Hasyim Asy’ari dalam mempersatukan konflik furuiyah umat dan resolusi jihad dalam melawan penindasan kaum penjajah yang didukung banyak pihak, meminjam terminologi Anthony Giddens dalam bukunya The Class Structure of the Advances Societies, merupakan gerakan fanomenal karismatik yang tidak statis pada arus perubahan. Ia telah berupaya melakukan perubahan dengan nalar kepekaan intelektualnya dalam merespon situasi krisis umat/bangsa.
KH Hasyim Asy’ari telah berupaya melakukan perubahan dengan nalar kepekaan intelektualnya dalam merespons situasi krisis umat/bangsa.
Legacy intelektualitas dan pengayoman umat yang melekat dari KH Hasyim Asy’ari inilah seyogianya menjadi pijakan fundamental yang tidak boleh luntur atau dilunturkan di dan oleh kalangan penerusnya. Muktamar Ke-34 NU hendaknya mampu memilih pilot pengendali ormas Islam terbesar ini yang berkarakter, yang tidak keluar dari bingkai legacy intektualitas pengayoman umat/bangsa. Intelektualitas pengayoman ini diiringi dengan sikap kepekaannya pada kontektualitas baru yang selalu tumbuh berkembang.
Tradisi pemikiran intelektual
Tradisi intlektualitas NU yang selama ini berjalan berdasarkan kepenganutan pada pemikiran empat mazhab tetap masih relevan. Dialektika dialog pemikiran fikih dengan realitas baru yang mampu memecahkan masalah-masalah sosial umat dan kebangsaan agar terus ditumbuhkembangkan. Lahirnya pemikiran fikih/ijtihad, antara lain, tentang Islam Nusantara dan Islam Moderat adalah sekian pemikiran dialektik dan kreatif NU dalam upaya mengayomi dan memandu umat menjalankan keberagamaannya di tengah bangsa yang sangat hitrogin dan plural.
Tradisi pemikiran intelektual seperti ini sebenarnya telah tumbuh lama di kalangan intelektual muda NU. Tidak sedikit dari para individu intelektual muda NU yang menggagas pemikiran dialektikanya guna mengayomi kehidupan keumatan dan kebangsaan.
Pemikiran mereka itu antara lain berkisar tentang hubungan umat Islam dengan lintas keagamaan, Islam dan negara, demokrasi, HAM, tentang keadilan dan lain-lain. Meskipun tidak dimungkiri, semua gagasan yang dicetuskan kaum intelektual muda NU ini kerap mengundang kontroversi dari masyarakat, dari sisi konten terdapat perspektif baru yang tidak serta-merta merugikan eksistensi NU sebagai ormas umat. Justru gagasan tersebut dapat menaikkan pamor NU sebagai ormas yang terbuka dan maju dalam merespons, mengayomi, dan memecahkan persoalan-persoalan baru dan krusial dihadapi umat.
Tradisi intelektualitas yang sudah berjalan baik di NU ini, dinamikanya ke depan perlu mendapatkan pengayoman secara arif dan afirmasi intelektual pimpinan NU mendatang. Pimpinan NU ke depan tidak boleh abai memahami dan mendalami kompetensi keilmuan dalam merespon hal-hal baru (hadatsah) tanpa meninggalkan penguasaan resources dialektika pemikiran fikih (turast).
Apabila tradisi intelektualitas ini dikesankan oleh masyarakat bersifat akomodatif dan lunak pada kekuasaan tirani, tidak tajam memberikan keritik pada ketidakadilan dan kesenjangan sosial, pimpinan NU mendatang sebagai komandan ormas pemilik umat besar di perdesaan yang warganya tidak luput dari korban ketidakadilan, harus mampu menjadi pengayom, pembela, dan penegak keadilan di tengah umat dan bangsa. Pimpinan NU ke depan tidak boleh lagi berdiam diri sebatas menjadi penyuara pengimbang elite kekuasaan dengan pernyataan-pernyataan dialektika fikih dan teologinya.
Ke depan dibutuhkan pimpinan NU yang daya intelektualitasnya, menurut teori Giddens, tidak sebatas pandai menjadi pengimbang struktur (limiting), tetapi sedapat mungkin (enabling) berdiri tegas di tengah-tengah kontektualitas baru untuk terlibat bersama mencarikan solusi dalam memecahkan peroblem akut di bidang sosial agama, hukum, politik, ekonomi, dan kebudayaan.
Selama ini pimpinan NU tampak lebih gesit menyuarakan pemikiran teologis yang mengundang kontroversi dan tidak dipahami (membingungkan publik) publik. Dalam konteks level tertentu, pemikirian teologi ini mungkin dibutuhkan untuk membangun dinamika dan pencerahan. Akan tetapi, pimpinan NU tidak tampak gesit untuk speak up dalam konteks pembelaan publik (umat dan bangsa) yang lebih luas, seperti dalam masalah kekuatan demokrasi sipil yang makin tergerus, penguasaan aset ekonomi oleh oligarki, masalah korupsi dan penegakan hukum tebang pilih serta korban ketidakadilan berupa tergusurnya lahan pertanian karena kuatnya ekpansi dan intervensi sektor industri.
Oleh karena itu, untuk memulihkan karisma NU sebagai ormas Islam terbesar di dalam pembelaannya terhadap publik (umat dan bangsa), tidak ada jalan lain Muktamar Ke-34 NU di Lampung nanti dalam menetapkan pemimpin/ketum PB NU, siapa pun yang terpilih nanti diharapkan muncul seorang figur yang tidak hanya mumpuni dari sisi wawasan intelektualnya semata, tetapi juga dibutuhkan pimpinan yang berwawasan kontektual. Dalam arti figur pemimpin yang lebih gesit, menggigit, dan solutif dalam membela dan memecahkan persoalan kontemporer demi kemaslahatan umat dan bangsa secara komperhensif. Semoga.
Fauzul Iman
Guru Besar/Rektor UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Periode 2017-2021