NU, Santri, dan Ekonomi Kerakyatan
Saatnya kini para elite ekonomi NU segera memperhatikan pengembangan ekonomi di lingkungan pesantren dengan memberikan edukasi secara masif kepada warga ”Nahdliyin” dalam rangka pembangunan ekonomi umat di era 4.0.

Didie SW
”Wahai pemuda putra bangsa yang cerdik pandai dan para ustaz yang mulia, mengapa kalian tidak mendirikan saja suatu badan usaha ekonomi yang beroperasi, di mana di setiap kota terdapat satu badan usaha yang otonom?”
KH Hasyim Asy’ari
Seruan tersebut merupakan spirit dan etos ekonomi kerakyatan kaum santri yang digelorakan KH Hasyim Asy’ari kala itu.
Nahdlatut Tujjar (NT) merupakan sebuah organisasi para pebisnis yang lahir pada 1918. Organisasi ini juga merupakan komunitas kaum santri dan intelektual yang bergerak di bidang ekonomi.
Sementara itu, di bidang politik dan pendidikan lahir organisasi Nahdlatul Wathan (NW) pada 1922. Selanjutnya disusul oleh organisasi di bidang kajian, yaitu Tashwirul Afkar (TA), pada 1924. Inilah tiga organisasi yang mengantarkan berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) yang lahir tahun 1926.
Jika dilihat dari latar belakangnya, NT secara eksternal muncul karena adanya penetrasi ekonomi kolonialis Belanda, dan secara internal karena adanya kompetisi dengan kelompok pebisnis dari kalangan Islam modernis, seperti Al-Irsyad dan Persis.
Apa yang diserukan KH Hasyim kala itu merupakan program pemberdayaan ekonomi rakyat dan kemandirian bangsa dengan potensi sumber daya manusia (SDM) yang telah dimiliki. Upaya mewujudkan kemandirian ekonomi dengan mendirikan badan usaha yang bersifat otonom dan profesional dengan tata kelola yang baik bagi kalangan santri dan kaum intelektual saat itu merupakan gagasan yang sangat kreatif dan inovatif. Prakarsa itu mampu membendung kekuatan ekonomi kolonialis Belanda yang hegemonik kala itu.
Selain itu, KH Hasyim juga mendirikan koperasi sebagai badan usaha yang menggerakkan ekonomi rakyat, jauh sebelum koperasi menjadi salah satu bentuk badan usaha mandiri nasional. Dengan demikian, koperasi yang menjadi soko guru perekonomian nasional yang tercantum dalam UUD 1945 bukanlah cita-cita yang lepas dari akar sejarahnya (ahistoris), tetapi secara empiris pernah dilakukan para santri sebelumnya, yang dikomandani langsung oleh KH Hasyim Asy’ari.
Survei LSI ini membuktikan bahwa saat ini NU bukan hanya ormas terbesar dalam skala nasional, melainkan juga ormas terbesar di dunia.
NU sebagai basis massa
Mantan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi (almarhum) pernah menyatakan, jumlah warga NU mencapai 60 juta. Sementara Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menaksir lebih dari 50 persen orang Indonesia adalah warga NU. Belum lagi yang di luar negeri (Mohammad Sobary, 2018).
Berdasarkan hasil riset yang dikeluarkan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA (2019), NU dinyatakan sebagai ormas terbesar di Indonesia. NU berada pada posisi teratas dengan persentase 49,5 persen.
Survei LSI ini membuktikan bahwa saat ini NU bukan hanya ormas terbesar dalam skala nasional, melainkan juga ormas terbesar di dunia. Jika saat ini penduduk Indonesia sekitar 270 juta, dengan pemeluk Islam sekitar 87 persen, maka NU dengan persentase 49,5 persen itu memiliki basis massa lebih dari 130 juta.
Tantangan kini
Memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN/MEA (ASEAN Economic Community), masalah SDM semakin memperoleh perhatian yang amat serius dari hampir seluruh masyarakat ASEAN. Era ini juga disebut dengan milenium ketiga, yang dianggap sebagai puncak badai globalisasi yang menerpa kawasan Asia Tenggara. Kondisi seperti ini tentu akan berpengaruh terhadap akselerasi perubahan di seluruh lini kehidupan manusia: sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar menutup acara Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar (Munas & Konbes NU) di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Minggu (26/9/2021).
MEA berkompetisi di pasar bebas, baik pasar pendidikan maupun pasar ekonomi. Indonesia juga sudah dimasuki oleh lalu lalang perdagangan bebas ASEAN (Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Myanmar, Kamboja, Brunei, dan Vietnam). Tentu ini merupakan tantangan, tidak saja pendidikan dan ekonomi, tetapi juga budaya dan nilai hidup.
Indonesia bersama PBB juga telah menyepakati Deklarasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang dicanangkan pada 2016, dengan target 2030. Program tersebut merupakan kelanjutan dari agenda Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs), sekaligus menindaklanjuti program yang belum selesai.
Ada delapan aspek yang menjadi sasaran SDGs. Pertama, memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem. Kedua, mencapai pendidikan dasar untuk semua. Ketiga, mendorong kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan. Keempat, menurunkan angka kematian anak. Kelima, meningkatkan kesehatan ibu. Keenam, memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lain. Ketujuh, memastikan kelestarian lingkungan hidup. Kedelapan, mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
Kedelapan sasaran itu bisa dikelompokkan ke dalam empat isu besar, yakni kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan (Sastroatmojo, 2012).
Dalam konteks bonus demografi, sebagaimana yang dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, jumlah anak kelompok usia 0-9 tahun sebanyak 45,93 juta, sedangkan anak usia 10-19 tahun berjumlah 43,55 juta jiwa. Kelak pada 2045, mereka yang usia 0-10 tahun akan berusia 35-45 tahun, sedangkan yang usia 10-20 tahun berusia 45-54.
Pada usia-usia ini mereka akan memegang peran penting di kancah Indonesia. Mereka diharapkan akan menjadi generasi yang cerdas, produktif, inovatif, dan berperadaban unggul. Mereka akan menjadi generasi emas yang sekaligus juga menjadi pemimpin bangsa.
Baca juga : Bisnis Pesantren Berpotensi Gerakkan Perekonomian Pascapandemi
Indonesia berada pada posisi keempat dalam daftar negara berpopulasi tertinggi, demikian pula potensi kekayaan alamnya. Goldman Sach memprediksi, Indonesia akan berada dalam sepuluh besar negara dengan ekonomi termaju di 2050 bersama China, India, dan masih di atas Jepang ataupun Korea Selatan.
Sementara itu, McKinsey Global Institute pada 2012 memprediksi tahun 2030 Indonesia akan menempati urutan ekonomi ketujuh terbesar di dunia. Suatu posisi yang optimistis, yang tentu saja mungkin tercapai apabila Indonesia memiliki pemimpin dan SDM berkualitas. Oleh sebab itu, diperlukan pemimpin Indonesia di masa depan yang memiliki daya kompetitif dan kuat, baik secara eksternal maupun internal.
Menyadari akan kompleksnya peluang dan tantangan tersebut, perlu dirumuskan hal-hal menyangkut NU ke depan, yaitu bagaimana mempersiapkan pemimpin dan merancang program lima tahunan ke depan (milestone).
Paling tidak ada enam program besar yang perlu dirumuskan. Pertama, bagaimana NU berperan di era globalisasi, MEA, dan MDGs. Kedua, bagaimana dengan bonus demografi, NU mempersiapkan generasi emas pada dasawarsa ke depan. Ketiga, bagaimana NU merumuskan Islam dalam wawasan kebangsaan dan kenegaraan di era global.
Keempat, bagaimana NU berperan dalam memperkokoh NKRI. Kelima, bagaimana NU memosisikan peran politiknya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keenam, bagaimana NU memosisikan perannya dalam konteks pembangunan ekonomi keumatan.
Program keenam inilah yang perlu digarap segera. Apalagi di era Revolusi Industri 4.0 yang merupakan interkonektivitas antara manusia, mesin, ataupun data yang lebih dikenal dengan istilah internet of things (IoT).
Bagaimana warga NU mampu merespons dan menguasai teknologi informasi dalam menjalankan bisnisnya?
Baca juga : Pesantren Berpotensi Besar sebagai ”Motor” Pemberdayaan Ekonomi
Menyadari akan tantangan itu, dan mengingatkan kembali seruan KH Hasyim Asy’ari seabad silam, perlu ada upaya revitalisasi gagasan-gagasan dan rintisan yang telah dibangun KH Hasyimi. Usaha-usaha penguatan ekonomi kerakyatan itu sesungguhnya sudah pernah direvitalisasi oleh cucunya, yaitu Gus Dur, dengan memprakarsai berdirinya bank-bank di beberapa daerah, termasuk BPR Nusuma.
Lalu, saat menjadi presiden, Gus Dur memprioritaskan gerakan ekonomi rakyat berbasis aset lokal dengan menggerakkan UMKM, seperti masyarakat petani dan nelayan. Hanya sayang usaha-usaha tersebut tidak dilanjutkan oleh generasi penerusnya.
Memang sudah banyak koperasi di beberapa pesantren dan sudah ada yang dapat mengembangkan koperasinya dengan baik dan pesat, seperti Pesantren Sidogiri di Jawa Timur. Namun, ini belum banyak diikuti oleh pesantren yang lain.
Oleh sebab itu, saatnya kini para elite ekonomi NU segera memperhatikan bidang garap itu dengan memberikan edukasi secara masif kepada warga Nahdliyin dalam rangka pembangunan ekonomi umat di era 4.0.
Jika hal ini dapat dilakukan, warga NU yang merupakan separuh dari warga Indonesia ini akan mampu menjadi garda depan perekonomian Indonesia. Semoga.
M Zainuddin, Guru Besar dan Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang