Para pengamat melihat saat ini tidak mudah mencari jalan keluar krisis energi yang cepat namun komprehensif. Jalan keluar tercepat adalah segera mengucurkan kembali suplai energi ke negara-negara industri maju.
Oleh
AGUS SUGIARTO
·6 menit baca
Saat ini dunia sedang menghadapi ancaman munculnya krisis energi yang cukup berat seperti pernah terjadi di era 1970-an, tepatnya 1973 dan 1979. Alarm munculnya krisis energi serupa mulai terlihat kembali perlahan-lahan sejak awal 2021.
Krisis energi saat ini telah terjadi di negara-negara besar yang selama ini menjadi penggerak ekonomi dunia, antara lain China, Inggris, Jerman, Perancis, Italia dan India. Mereka kesulitan dalam menyediakan energi untuk mendukung pergerakan ekonomi maupun kebutuhan listrik untuk rumah tangga mereka. Walaupun AS belum mengalami krisis energi, negara itu sudah bersiap-siap menghadapi dampak lebih luas dari krisis energi dunia terhadap ekonomi dalam negerinya.
Krisis energi yang terjadi bersamaan dengan pandemi Covid-19 telah menjadi tantangan tersendiri bagi semua negara, khususnya mereka yang masih berjuang membereskan krisis kesehatan dan juga krisis ekonomi secara bersamaan akibat pandemi tersebut.
Krisis energi periode 1970-an disebabkan oleh menipisnya stok persediaan minyak mentah negara-negara maju, sehingga mendorong harga minyak mentah meroket dalam waktu yang sangat singkat.
Sedangkan krisis energi saat ini disebabkan oleh beberapa faktor pemicu, terutama faktor cuaca seperti musim dingin berkepanjangan dan suhu ekstrem di Eropa di awal tahun yang menyebabkan menipisnya stok gas alam di negara-negara Eropa. Selain itu, juga meningkatnya permintaan akan energi sejalan dengan pemulihan ekonomi global dari dampak pandemi Covid-19.
Alarm munculnya krisis energi serupa mulai terlihat kembali perlahan-lahan sejak awal 2021.
Pertama, setelah hampir dua tahun roda ekonomi dunia terpuruk akibat pandemi Covid-19, permintaan akan barang dan konsumsi masyarakat mengalami peningkatan pesat. Pemulihan ekonomi dari raksasa global seperti China dan AS, ternyata lebih cepat dari perkiraan. Demikian pula negara-negara maju lain dan emerging markets, termasuk Indonesia.
Pesatnya laju permintaan barang dan konsumsi menyebabkan kapasitas produksi meningkat, namun tak didukung dengan ketersediaan energi yang mencukupi. Suplai energi ke negara-negara maju mengalami disrupsi karena selain meningkatnya permintaan, ada hambatan pasokan akibat pandemi.
Kedua, transisi kebijakan energi di hampir semua negara maju, dari energi berbasis fosil menjadi energi baru terbarukan (EBT), ternyata tidak berjalan mulus. Investasi di sektor energi berbasis fosil sudah banyak ditinggalkan karena mereka lebih fokus pada pengembangan dan investasi EBT seperti matahari, angin, panas bumi, air, gelombang laut dan lain-lain.
Pengembangan EBT ini sudah sejalan dengan upaya negara-negara tersebut mencapai target pengurangan emisi karbon dalam rangka mencegah pemanasan global. Namun, di saat kebutuhan energi, khususnya listrik, meningkat pesat, ternyata mereka tidak mampu segera memenuhinya karena sumber energi listrik yang berbasis fosil sebagian besar telah mereka tinggalkan. Sementara, suplai listrik dari EBT belum berjalan maksimal. Di sini terjadi mismatch kebutuhan energi, yang tak diantisipasi pada saat pengembangan EBT.
Krisis listrik di negara-negara maju yang terjadi akibat belum siap sepenuhnya implementasi program EBT ini juga menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia
Dampak berantai
Krisis energi global tersebut memiliki potensi dampak berantai yang sangat besar, tergantung seberapa lama krisis energi ini akan berlangsung.
Dampak langsung yang saat kita rasakan adalah lonjakan harga energi berbasis fosil seperti minyak mentah dan batubara, dan juga gas alam. Harga minyak mentah produksi AS, West Texas Intermediate (WTI), menyentuh angka tertinggi dalam tiga tahun terakhir pada Oktober 2021, di kisaran 90 dollar AS per barrel, naik hampir 80 persen dari Januari 2021 yang masih di kisaran 50 dollar AS per barrel.
Dampak berantai berikutnya adalah harga listrik mengalami lonjakan, seperti dirasakan para produsen barang di negara-negara maju. Bahkan pabrik-pabrik di Inggris yang memproduksi baja, kertas, semen, dan bahan kimia terancam tutup akibat kelangkaan energi ini.
Kenaikan harga listrik juga mengakibatkan ongkos transportasi menjadi lebih mahal, biaya distribusi dan jasa logistik semakin tinggi. Rumah tangga harus mengeluarkan biaya ekstra untuk penggunaan listrik, dan lain-lain. Dampaknya tak berhenti di sini. Harga barang-barang dan jasa-jasa diperkirakan akan naik dan masyarakat harus menebus barang-barang yang mereka butuhkan dengan biaya ekstra.
Akibatnya, kekhawatiran akan terjadinya inflasi tidak terhindarkan, sehingga prospek pemulihan ekonomi global yang saat ini sudah berjalan di jalur yang tepat, akan mengalami gangguan. Melambungnya angka inflasi yang dipicu oleh kenaikan harga energi tersebut juga akan mengganggu kebijakan moneter ekspansif, yang saat ini sedang dijalankan oleh hampir semua negara guna mengatasi dampak pandemi Covid-19.
Oleh sebab itu, semakin lama krisis energi tersebut berjalan, semakin besar pengaruh terhadap pemulihan ekonomi global, yang dampaknya juga akan dirasakan di hampir semua negara.
Indonesia diuntungkan?
Dampak dari krisis energi dunia terhadap Indonesia bisa dilihat dari dua sisi. Di satu sisi, krisis energi global akan mendorong ekspor batubara lebih banyak lagi, khususnya ke India dan China sebagai pengimpor terbesar batubara Indonesia.
Melonjaknya harga komoditas batubara akan dinikmati para eksportir batubara dan meningkatkan penerimaan pajak pemerintah.
Saat ini Harga Batubara Acuan (HBA) untuk Oktober 2021 sebesar 161,63 dollar AS per ton, melesat jauh dari Januari 2021 yang masih di angka 75,84 dollar AS per ton. Bahkan harga pasar batubara saat ini sudah melambung di atas 250 dollar AS per ton.
Namun, di sisi lain, melemahnya ekonomi global akibat krisis global berpotensi mengganggu kinerja ekspor non minerba (mineral dan batubara) yang selama ini juga mendukung perekonomian nasional. Selain itu, kenaikan harga minyak mentah dunia juga memengaruhi harga BBM di dalam negeri, mengingat Indonesia importir neto minyak.
Guna mengatasi krisis energi tersebut perlu kerja sama global karena mata rantai ekonomi dari satu negara ke negara-negara lain sudah saling berkaitan.
Perlu solusi global
Guna mengatasi krisis energi tersebut perlu kerja sama global karena mata rantai ekonomi dari satu negara ke negara-negara lain sudah saling berkaitan.
Suplai bahan baku energi dari negara pengekspor telah jadi satu rangkaian produksi di negara-negara produsen barang (supply chain). Secara konsep, negara industri maju memang sudah memiliki solusi jangka panjang untuk mengatasi kebutuhan energi masa depan dengan meninggalkan energi berbasis fosil menuju EBT.
Namun dengan melihat permasalahan yang terjadi saat ini, tentunya solusi yang kita butuhkan adalah solusi jangka pendek agar krisis energi tersebut tidak menjadi berkepanjangan. Para pengamat melihat saat ini tidak mudah mencari jalan keluar yang cepat namun komprehensif. Jalan keluar tercepat adalah segera mengucurkan kembali suplai energi ke negara-negara industri maju.
Solusi ini memang mudah, namun konsumenlah yang nanti harus membayar harga mahal atas barang dan jasa yang dibelinya. Produsen barang maupun jasa pasti akan membeban -kan kenaikan biaya energi yang lebih mahal ke konsumen.
Solusi itu memang telah dilakukan beberapa negara, seperti pemerintah China pada akhirnya telah meliberalisasi pembangkit listrik berbahan bakar batubara untuk menyesuaikan tarif listriknya sesuai dengan harga pasar. Pemerintah Inggris berencana memberikan pinjaman sementara kepada industri yang menggunakan sumber energi masif untuk mengatasi kenaikan harga listrik. Sedangkan pemerintah Perancis dan Italia akan memberikan subsidi biaya listrik kepada kelompok rumah tangga yang kurang mampu.