Kenaikan Harga Pangan dan Krisis Energi Perlambat Pertumbuhan
Imbas pandemi diperparah dengan kenaikan harga pangan dan biaya pengapalan. Selain itu, krisis energi yang terjadi di sejumlah negara juga menyebabkan produksi berkurang. Kenaikan harga makanan-minuman mulai terjadi.
Oleh
Hendriyo Widi & Dimas Waraditya Nugraha
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dana Moneter Internasional atau IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini. Revisi itu tidak hanya mempertimbangkan imbas pandemi Covid-19, tetapi juga lonjakan harga pangan dan krisis energi di sejumlah negara.
Dalam World Economic Outlook Edisi Oktober 2021 bertajuk ”Recovery During a Pandemic: Health Concerns, Supply Disruptions, and Price Pressures” yang dirilis pada 13 Oktober 2021, IMF mengoreksi pertumbuhan ekonomi global pada 2021 menjadi 5,9 persen. Sebelumnya, pada Juli 2021, IMF memproyeksikan ekonomi global tumbuh 6 persen.
IMF juga mengoreksi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat, China, dan Indonesia pada tahun ini. Ekonomi AS yang diperkirakan tumbuh 7 persen dikoreksi menjadi 6 persen, China dari 8,1 persen menjadi 8 persen, dan Indonesia dari 3,9 persen menjadi 3,2 persen.
Ekonomi AS yang diperkirakan tumbuh 7 persen dikoreksi menjadi 6 persen, China dari 8,1 persen menjadi 8 persen, dan Indonesia dari 3,9 persen menjadi 3,2 persen.
Penyebaran virus korona baru varian Delta yang menyebabkan pembatasan aktivitas ekonomi dan tersendatnya rantai pasok global di banyak negara menjadi penyebab utama melambatnya ekonomi. IMF menyebutkan, kesenjangan vaksin Covid-19 global makin besar.
Hampir 60 persen populasi di negara maju telah divaksinasi penuh dan sebagian kini menerima vaksin booster. Di sisi lain, sekitar 96 persen populasi di negara-negara berpenghasilan rendah masih belum divaksin.
Kondisi itu diperparah dengan kenaikan harga pangan dan biaya pengapalan barang lintas samudra (ocean freight). Selain itu, krisis energi yang terjadi di sejumlah negara juga dapat memengaruhi produksi sektor industri manufaktur global.
Kepala Ekonom IMF Gita Gopinath mengatakan, harga pangan telah meningkat paling tinggi di negara-negara berpenghasilan rendah. Hal ini bisa menyebabkan kerawanan pangan, menambah beban rumah tangga miskin, serta berisiko menyebabkan kerawanan sosial.
Gangguan pasokan akibat pandemi dan anomali cuaca, serta kenaikan harga pangan dan biaya logistik menyebabkan beberapa negara kekurangan input utama dan menurunkan aktivitas industri manufaktur. ”Inflasi harga konsumen meningkat pesat, seperti di AS, Jerman, serta di banyak negara berkembang,” kata Gopinath melalui keterangan pers di Jakarta.
Harga pangan telah meningkat paling tinggi di negara-negara berpenghasilan rendah. Hal ini bisa menyebabkan kerawanan pangan, menambah beban rumah tangga miskin, serta berisiko menyebabkan kerawanan sosial.
Sebelumnya, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) melaporkan, Indeks Harga Pangan pada September 2021 sebesar 130 atau naik 32,8 persen secara tahunan. Indeks tersebut merupakan angka tertinggi sejak 10 tahun terakhir dan kenaikannya di atas 100 itu sudah terjadi selama 11 bulan terakhir atau per Oktober 2020. Lonjakan indeks itu didorong harga serealia, terutama gandum, beras, dan jagung, serta minyak nabati, seperti minyak kelapa sawit mentah (CPO), dan kedelai.
Untuk menghadapi hal itu, IMF meminta setiap negara untuk menangani pandemi dengan optimal serta mengelola finansial dengan baik dalam penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi. IMF juga berharap agar setiap negara dapat mengendalikan inflasi dengan baik.
Olahan pangan naik
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman menuturkan, harga bahan baku pangan impor, seperti gandum, beras, dan gula, bahkan pewarna dan pengawet makanan, naik 20-30 persen. Hal ini semakin memberatkan usaha dan industri makanan-minuman yang belum pulih sepenuhnya dari imbas pandemi Covid-19.
Kenaikan harga bahan baku pangan ini tentu saja akan berimbas pada kenaikan harga produk-produk makanan-minuman olahan. Kenaikan harga produk olahan pangan itu juga akan dipengaruhi oleh kenaikan biaya logistik dan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada tahun depan.
”Harga produk-produk makanan-minuman itu diperkirakan naik 5-10 persen. Hingga akhir tahun ini, kami tidak akan menaikkan harganya. Kenaikan harga produk-produk itu baru akan dilakukan pada awal 2022,” ujarnya.
Harga produk-produk makanan-minuman itu diperkirakan naik 5-10 persen. Hingga akhir tahun ini, kami tidak akan menaikkan harganya. Kenaikan harga produk-produk itu baru akan dilakukan pada awal 2022.
Adapun terkait krisis energi dan anomali cuaca di sejumlah negara, lanjut Adhi, sejumlah anggota Gapmmi khawatir tidak bisa mendapatkan pasokan bahan baku pangan impor. Hal itu terjadi lantaran berkurangnya produksi bahan pangan dan turunnya aktivitas manufaktur di sejumlah negara.
Namun, di sisi lain, sejumlah anggota Gapmmi juga membidik peluang peningkatan ekspor, terutama ke negara-negara yang mengurangi aktivitas manufakturnya akibat krisis energi, seperti China, AS, Jepang, India, dan sejumlah negara di Eropa.
”Bahkan, ada sejumlah perusahaan makanan-minuman yang mendapatkan jasa kerja sama titip produksi (original equipment manufacturer/OEM) dari perusahaan di China. Mereka memproduksi makanan dengan merek, label, standardisasi, dan komponen yang diminta, kemudian mengirimnya kembali ke perusahaan di negara tersebut,” katanya.
Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu memastikan kebijakan ekonomi dan fiskal pemerintah akan terus diarahkan untuk mendukung upaya pengendalian pandemi Covid-19, menjaga keberlanjutan pemulihan ekonomi, sekaligus mengakselerasi reformasi struktural. Komitmen tersebut tecermin dalam kebijakan APBN 2022 yang menunjukkan adanya sikap kewaspadaan dan antisipatif dari pemerintah terhadap peningkatan risiko global.
Salah satu wujud antisipasi pemerintah adalah dengan memperkuat kemandirian dalam pembiayaan pembangunan melalui reformasi perpajakan. Pemerintah dan DPR telah menyetujui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang merupakan salah satu tonggak reformasi perpajakan demi keberlanjutan fiskal di jangka menengah, penguatan basis pajak, serta APBN yang sehat untuk kesejahteraan masyarakat.
”Dengan semangat pengendalian pandemi dan pemulihan ekonomi, pemerintah berupaya untuk menciptakan pertumbuhan dan pembangunan Indonesia yang berkesinambungan dan inklusif di tengah lingkungan global yang menantang,” kata Febrio.
Menurut Febrio, salah satu risiko global yang diwaspadai pemerintah adalah penyebaran pandemi Covid-19. Meski Indonesia telah melewati puncak gelombang Covid-19, pemerintah terus berupaya meningkatkan kapabilitas dalam penanganan pandemi.
Salah satu risiko global yang diwaspadai pemerintah adalah penyebaran pandemi Covid-19.
Hingga 12 Oktober 2021, total vaksinasi Indonesia mencapai 157,93 juta dosis atau 28,87 persen terhadap populasi. Jumlah ini terdiri dari vaksinasi dosis pertama mencapai 100,32 juta dosis (36,68 persen populasi) dan dosis kedua 57,61 juta dosis (21,06 persen populasi).
Efektivitas berbagai kebijakan, seperti pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), serta akselerasi vaksinasi, lanjut Febrio, telah menjadi faktor yang membuat situasi pandemi di dalam negeri sudah jauh lebih terkendali.
”Seiring dengan membaiknya situasi pandemi Covid-19 di dalam negeri, momentum pemulihan ekonomi telah menguat, khususnya sejak September 2021. Pemerintah memperkirakan ekonomi Indonesia pada tahun ini di kisaran 3,7-4,5 persen,” ujarnya.