Sumpah Pemuda dan Diplomasi RI
Ketika sebuah bangsa tercabik oleh perbedaan budaya, agama, dan bahasa, bahasa Indonesia bisa menjadi contoh betapa strategisnya peran bahasa dalam mempersatukan bangsa.
Tanggal 28 Oktober, 93 tahun lalu, pemuda Indonesia (dulu Hindia Belanda) dari sekujur kepulauan Nusantara berkumpul di sebuah gedung di Jalan Kramat Raya 106. Dari sana menggema sumpah yang hingga kini masih terasa gaungnya. Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: Indonesia.
Dilihat dari tarikan sejarah, mulai dari peristiwa Sumpah Pemuda (1928), yang didahului oleh kesadaran para kaum terpelajar untuk berorganisasi (Kebangkitan Nasional, 1908), hingga Proklamasi Kemerdekaan (1945), ada benang merah sejarah merentang panjang: semangat nasionalisme dan rasa persatuan.
Sumpah Pemuda menancapkan patok awal proses pembentukan negara-bangsa Indonesia. Sebuah bangsa yang punya tanah air, identitas kebangsaan, dan bahasa yang sama. Semangat nasionalisme dan rasa persatuan inilah yang kemudian mengkristal menjadi impetus politik pada 17 Agustus 1945, Indonesia merdeka.
Betapa penting arti Sumpah Pemuda bagi pembentukan negara muda Indonesia. Semua butir sumpah memberi inspirasi dalam penyusunan dokumen kenegaraan setelahnya.
Sumpah Pemuda menancapkan patok awal proses pembentukan negara-bangsa Indonesia.
Tengok saja, semangat butir pertama ”tanah air satu, tanah air Indonesia” dalam Sumpah Pemuda dimaktubkan dalam Mukadimah UUD 1945. Dalam Mukadimah, roh ”bertanah air satu” direfleksikan dalam kata-kata ”melindungi seluruh tumpah darah Indonesia”.
Butir kedua ”berbangsa satu” menginspirasi para perumus teks Proklamasi Kemerdekaan menggunakan kata-kata ”atas nama bangsa Indonesia” untuk menyatakan eksistensi sebuah bangsa yang baru merdeka.
Butir ketiga ”berbahasa satu” ditabalkan dalam batang tubuh UUD 1945, Pasal 36, yang menyatakan ”Bahasa negara ialah bahasa Indonesia”. Dari sini terlihat jelas, semangat Sumpah Pemuda, yang tersimpul dalam tiga butir sumpahnya, sedari awal telah meniupkan roh bagi kehidupan bernegara dan berbangsa. Roh nasionalisme dan persatuan sebuah bangsa yang majemuk, sangat bineka dalam ras, etnik, suku, dan agama.
Jamaknya dalam kehidupan bernegara, nilai dan semangat yang terkandung dalam dokumen-dokumen kenegaraan itu mestinya tak hanya jadi pedoman kebijakan. Namun, lebih penting, dimanifestasikan juga dalam program dan kegiatan.
Baca juga : Sekitar Sumpah Pemuda
Bahasa Indonesia dan diplomasi RI
Terkait Sumpah Pemuda butir ke-3 ”berbahasa satu”, menarik untuk ditanyakan: bagaimana merefleksikan roh dan semangatnya dalam diplomasi Indonesia? Setidaknya ada tiga aras pemikiran untuk menilik hal itu. Pertama, dari aspek nilai dan semangat butir ke-3 Sumpah Pemuda. Kesepakatan pemuda untuk berbahasa satu, bukan sekadar keputusan kebudayaan. Lebih serius dari. Itu adalah keputusan politik.
Demi menyatukan seluruh komponen pejuang Nusantara, pemuda yang berbahasa mayoritas dengan ikhlas memutuskan bahasa Indonesia—bahasa yang berasal dari satu bagian kecil di Sumatera tapi luas dipakai dalam komunikasi perdagangan antarkepulauan—sebagai bahasa persatuan.
Pada tahap ini bahasa Indonesia bukan lagi sekadar lingua franca atau bahasa pengantar pergaulan sosial semata. Ia bukan lagi produk budaya. Saat itu keputusan ”berbahasa satu” adalah produk politik. Politik persatuan bangsa yang majemuk. Bagaimana menjadikan keputusan politik ini menjadi ”aset” bagi diplomasi RI?
Salah satu tugas diplomasi adalah memproyeksikan citra bangsa dan negara di luar negeri. Citra apa yang hendak diproyeksikan? Pertanyaan ini menyodorkan aras pemikiran kedua: identitas bangsa. Terkait citra suatu bangsa dan negara, dalam teori diplomasi publik dikenal dua istilah, yaitu nation branding dan national identity.
Nation branding secara umum diartikan sebagai reputasi suatu negara dalam aspek fisiknya. Misal, Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan, beriklim tropis, dan terletak di khatulistiwa. Sementara national identity lebih merujuk kepada ciri khas suatu bangsa dalam aspek nonfisiknya, lebih kepada karakter atau budaya dari bangsa itu. Dalam pergaulan antarbangsa, Indonesia telanjur dikenal sebagai bangsa multikultural, toleran, moderat, dan menghargai keberagaman.
Meski terdiri dari berbagai suku, etnik, ras, dan agama, bangsa Indonesia bisa bersatu dalam satu negara karena disatukan oleh satu bahasa: bahasa Indonesia. Di sini bahasa Indonesia berperan sebagai pemersatu, unifying factor.
Ketiga, nilai yang terkandung dalam butir ke-3 Sumpah Pemuda bisa dijadikan asset for diplomacy, instrumen diplomasi kebudayaan. Citra bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa bisa dijadikan salah satu elemen soft power diplomacy Indonesia. Menurut Nye, suatu negara mau mendukung negara lain karena ada rasa kagum terhadap negara itu (Joseph Nye, Soft Power, 2004).
Bahasa Indonesia bisa menjadi contoh betapa strategisnya peran bahasa dalam mempersatukan bangsa.
Instrumen diplomasi kebudayaan
Di tengah dunia yang sedang dilanda perpecahan internal di sejumlah negara akibat sentimen suku, etnik, ras, dan agama, nilai pemersatu yang diemban oleh bahasa Indonesia dalam menyatukan sebuah bangsa yang besar menjadi relevan.
Ketika sebuah bangsa tercabik oleh perbedaan budaya, agama dan bahasa, bahasa Indonesia bisa menjadi contoh betapa strategisnya peran bahasa dalam mempersatukan bangsa. Tatkala mereka mengagumi keampuhan bahasa Indonesia sebagai faktor pemersatu bangsa, seturut pandangan Nye di atas, negara itu akan berteman baik dengan Indonesia. Pada tahap inilah sejatinya mesin diplomasi soft power Indonesia melalui bahasa Indonesia sedang bekerja.
Instrumen diplomasi
Selama ini KBRI dan KJRI bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan secara rutin menyelenggarakan pengajaran bahasa Indonesia di 44 negara dan di 465 lembaga yang tersebar di seluruh dunia. Ini adalah model diplomasi kebudayaan yang efektif untuk meningkatkan citra Indonesia di luar negeri.
Baik kiranya jika KBRI dan KJRI yang belum punya program diplomasi bahasa dapat menyelenggarakan kelas bahasa Indonesia di kampus-kampus negara akreditasi. KBRI di Warsawa, Polandia dan Wina, Austria, misalnya.
Beberapa tahun belakangan ini baru saja memulai kelas bahasa Indonesia. Hanya dalam hitungan satu atau dua semester, beberapa universitas sudah memasukkannya dalam kurikulum perkuliahan. Ini menunjukkan bahwa minat mahasiswa asing untuk belajar bahasa Indonesia cukup baik. Animo besar ini perlu dimanfaatkan oleh para diplomat Indonesia di luar negeri.
Baca juga : Bulan Bahasa
Memperingati Hari Sumpah Pemuda tak semestinya hanya sebatas mengenangnya sebagai peristiwa bersejarah. Menarik nilai dan semangat persatuan dari peristiwa itu justru lebih penting. Butir ke-3 Sumpah Pemuda ”berbahasa satu” malah menyadarkan kita bahwa bahasa Indonesia bukan sekadar lingua franca bangsa Indonesia yang majemuk, melainkan telah berperan sebagai faktor pemersatu.
Inilah nilai dan citra yang bisa dijadikan instrumen diplomasi kebudayaan untuk mempererat persahabatan antarnegara. Maka, menjadi tugas para duta besar dan diplomat Indonesia untuk mengapitalisasi nilai dan identitas pada butir ke-3 Sumpah Pemuda sebagai instrumen diplomasi kebudayaan. Manfaat keeratan persahabatan yang disemai oleh diplomasi bahasa pada saatnya akan mengimbas ke bidang politik dan ekonomi kedua negara.
Darmansjah Djumala
Dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Bandung; Mantan Diplomat