Alunan Sumpah Pemuda dari Tidore
”Satu Nusa Satu Bangsa” dalam alunan arababu itu mengalun di program Belajar Bersama Maestro yang digelar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi di Tidore, Maluku Utara, pada 18-24 Oktober lalu.
Lagu ”Satu Nusa Satu Bangsa” ciptaan Liberty Manik mengalun di Tidore, lewat gesekan arababu, alat musik gesek dari Maluku.
Alat gesek sejenis rebab yang dimainkan kaum muda Tidore dan Ternate itu seperti menegaskan bahwa arababu adalah salah satu anak kandung kebudayaan Indonesia.
Sebuah pergaulan budaya. Begitulah kira-kira ketika Arababu, alat musik gesek Maluku itu menyatu dengan gitar, keyboard, dan lainnya. Boleh dikatakan juga sebagai ”pertemuan peradaban” karena Arababu yang diperkirakan mulai dikenal di Maluku pada abad ke-16 itu, kini dimainkan oleh para milenial.
Sebuah pergaulan budaya. Begitulah kira-kira ketika Arababu, alat musik gesek Maluku itu menyatu dengan gitar, keyboard, dan lainnya.
Belasan para muda dari Tidore dan Ternate belajar memainkan arababu bersama seniman senior Tidore dan Ternate, Maluku Utara. Gesekan arababu kemudian memainkan lagu ”Satu Nusa Satu Bangsa” ciptaan Liberty Manik. Diawali dengan pendarasan syair-syair sejenis mantra yang memberi kesan suasana sakral.
Dilanjutkan dengan gesekan arababu secara solo oleh Muhamad Ali Alting, tokoh senior yang memainkan arababu dalam ritual-ritual di Kedaton Kesultanan Tidore.
Selanjutnya susul-menyusul terdengar suara ukulele, suling, fiyol atau sejenis biola tradisional Maluku yang menyatu dalam lagu yang mengungkapkan kesatuan negeri itu. Kemudian syair ”Satu Nusa Satu Bangsa” mengalun bersama gesekan arababu beserta berbagai instrumen.
”Satu Nusa Satu Bangsa” dalam alunan arababu itu mengalun di program Belajar Bersama Maestro yang digelar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi di Tidore, Maluku Utara, pada 18-24 Oktober lalu.
Muhamad Ali Alting adalah Maestro-nya. Ia didampingi Hasan Ali musisi dari Ternate. Mereka dibantu Fafan Isfandiar, violist, komposer, dan arranger dari Yogyakarta yang memberi arahan kreatif.
Dari sang Maestro, anak-anak muda belajar secara lebih dekat akar budaya Maluku lewat musik arababu. Diharapkan dengan cara tersebut mereka mengenal akar budaya dan kearifan lokal. Dengan pijakan budaya yang kuat, mereka dapat berkreasi untuk zamannya. Dengan begitu, ada ketersambungan budaya antarzaman dan antar generasi.
Warisan budaya
Nama arababu mengingatkan pada rebab dalam karawitan Jawa dan Sunda. Konon, mereka berasal dari sumber yang sama. Rebab atau arababu bersumber dari alat musik yang dibawa para pedagang Arab yang datang ke Nusantara pada sekitar abad ke-15.
Mereka bersaudara dalam satu keluarga alat musik gesek. Perbedaannya, arababu menggunakan satu dawai, sedangkan rebab mempunyai dua dawai.
Baca juga: Empat Nada Jopie Item, Gitar, dan Kejayaan Band Pengiring
Arababu terbuat dari bahan-bahan yang tumbuh subur di Maluku. Tabung resonansi terbuat dari batok kelapa. Adapun membran yang menutup tabung tersebut terbuat dari usus besar kambing yang tipis.
Bagian leher, semacam finger boards pada biola atau makoko dalam istilah Tidore, terbuat dari batang bambu. Begitu pula tuas pemutar atau penyelaras dawai, juga terbuat dari bambu.
Untuk dawai, saat ini lazim digunakan string seperti yang digunakan pada gitar. Alat penggesek atau rui-rui dalam bahasa Tidore, semacam bow dalam biola, terbuat dari bambu, dan dulu menggunakan ijuk pohon aren.
Baca juga: Saya Tahu Ayah Saya Ikut Sumpah Pemuda dari "Kompas"
Memang bisa dikatakan sederhana secara fisik, tetapi itulah alat musik yang ratusan tahun dimainkan dan didengar oleh leluhur para milenal itu. Bersama arababu, doa dan harapan didaraskan di Kedaton Kesultanan Tidore.
Dengan arababu pula, orang bernyanyi dan menari. Dengan kata lain, selama berabad-abad, arababu menjadi bagian kehidupan sehari-hari di Maluku. Dengan posisi kultural semacam itu, arababu secara formal disebut sebagai warisan budaya.
Baca juga: Hari Radio Nasional dan Tantangan Bintang Radio
Arababu, fiyol, ukulele, gong, tifa, dan instrumen musik tradisi lain memang bukan sekadar alat musik. Dalam alat-alat musik itu tersimpan sejarah panjang Maluku, termasuk Tidore dan Ternate.
Lewat arababu dan fiyol, generasi hari ini bisa memahami bahwa leluhurnya di masa lalu sudah menjalin hubungan internasional dengan bangsa lain, seperti Arab, Spanyol, Portugal, dan Belanda.
Baca juga: Berbagi Ragam Bahasa Daerah di Indonesia dalam Momen Sumpah Pemuda
Arababu, fiyol dan lainnya, menjadi semacam artefak hidup yang mampu ”membunyikan” sejarah Tidore dan Ternate. Alat musik tersebut mempunyai peran yang sama seperti halnya artefak sejarah yang sampai hari ini masih berdiri di Maluku.
Di Tidore, misalnya, berdiri kokoh Benteng Tore peninggalan Portugis akhir 1500-an. Ada pula Benteng Tahula, jejak Spanyol yang dibangun awal 1600-an. Begitu pula di Ternate, ada Benteng Toluko dan Benteng Oranje peninggalan Portugis.
Baca juga: Lambaian Bunga untuk Koes Hendratmo
Dari jejak-jejak sejarah itu, generasi hari ini bisa membaca ulang betapa kaya Maluku dengan hasil bumi, terutama rempah-rempah, sehingga menarik bangsa Eropa dan bangsa lain untuk berdatangan.
Kedaton Kesultanan Tidore
Dari jejak sejarah tersebut, ada yang masih tegak berdiri hingga hari ini, yaitu Kesultanan Tidore. Kedaton atau istana Sultan di Soasio, Tidore, ini berdiri megah menghadap laut yang merupakan jalur niaga internasional masa lalu hingga kini. Kedaton rusak parah pada masa Perang Dunia II.
Kemudian pada tahun 2002 ada upaya untuk membangun Kedaton di atas lokasi yang lama. Desain dan arsitektur Kedaton dibuat mendekati bangunan asli, dengan penyesuaian seturut kebutuhan zaman.
Kedaton Sultan Tidore dibangun oleh Sultan Mutahiddin Muhammad Tahir yang bertakhta pada tahun 1810-1831. Dari desain pintu Kedaton, terbaca jejak kemakmuran Tidore.
Pada pintu berwarna hijau itu terdapat ornamen bermotif pala dan bunga cengkeh, mewakili kekayaan rempah-rempah Tidore yang menjadi komoditas penting Maluku pada umumnya.
Sultan meletakkan dasar upacara adat, yang terjaga baik hingga hari ini. Termasuk arababu sebagai alat musik yang digunakan dalam ritual-ritual tertentu di Kesultanan. Sultan Mutahiddin yang oleh rakyat Tidore disebut Jou Adil karena keadilannya itu, juga memperhatikan aspirasi rakyat.
Sultan Husain Syah dalam pertemuan, di Kedaton Tidore, hari Jumat (22/10/2021) mengatakan, Kesultanan memberi ruang pada rakyatnya untuk menyampaikan aspirasi, termasuk lewat cara kesenian.
Sultan Husain Syah menyebut kesenian rakyat Kabata dan Moro-moro sebagai bentuk kesenian yang menjadi medium penyampai aspirasi tersebut. Dalam Kabata dan Moro-moro, orang menabuh lesung secara ritmis sambil berpantun.
Isi pantun bisa berupa masukan, gagasan, unek-unek, atau bahkan semacam protes kepada Sultan. Apakah Sultan akan marah? Dikatakan Sultan Husain Syah, Sultan tidak akan marah, karena aspirasi disampaikan dengan cara santun, penuh rasa hormat, dan menghibur.
Menyapa ”zaman now”
Dengan segala kesederhanaannya arababu berusaha dihadirkan di tengah zaman. Kondisi bahan dan konstruksi alat musik ini diakui Muhamad Ali Alting, memerlukan kecermatan tinggi untuk mendapatkan nada-nada yang akurat.
Dikatakannya, dawai arababu rentan pada perubahan nada. Untuk itu, dia menggagas untuk mengganti alat pelaras nada dengan tuner gitar. Akan tetapi, untuk menjaga bentuk lama, tuner arababu alias bri-bri klasik tetap dipertahankan.
Alting yang akrab disapa Om Po juga ingin mengganti tabung resonansi dengan kayu nangka. Perubahan secara organologis atau konstruksi alat tersebut tidak tabu dalam sejarah musik.
Fafan Isfandiar yang menjadi narasumber program Belajar Bersama Maestro, memberi contoh saxofon yang dibuat Adolf Sax itu merupakan pengembangan dari klarinet.
Pelaku kesenian arababu juga terus-menerus mencari terobosan agar arababu dapat menyesuaikan dengan musik yang populer hari ini. Hasan Ali atau Atta, misalnya, mengganti dawai arababu dengan senar urutan 4 atau 5 pada gitar guna mendapatkan jangkauan nada yang lebih rendah, mirip suara cello. Pada arababu standar, lazim digunakan senar urutan 1 atau paling bawah pada gitar.
Atta juga menggunakan arababu dalam band. Untuk mendapatkan amplifikasi bunyi, Atta menggunakan pikap yang lazim digunakan pada biola. Di dalam band, Atta bisa membuat arababu memainkan lagu-lagu pop, termasuk lagu-lagu Barat yang digemari publik hari ini.
Upaya lain dilakukan Fafan Isfandiar di Tidore. Dia menempatkan arababu tidak saja sebagai instrumen solo, melainkan juga sebagai pengiring seperti layaknya biola dalam orkestra.
Cukup luwes juga arababu berinteraksi dengan alat musik lain.
Ia memperlebar peran arababu di luar fungsi tradisionalnya. Arababu dalam program Belajar Bersama Maestro itu disandingkan dengan fiyol, tifa, ukulele, suling/recorder, keyboard, dan gitar.
Cukup luwes juga arababu berinteraksi dengan alat musik lain. Dengan manis instrumen gesek Maluku itu diajak bersama-sama memainkan lagu daerah seperti ”Aibom” dan ”Borero” yang sangat popular di Tidore. Lewat lagu yang dekat dengan masyarakat itu, arababu diharapkan semakin dekat dengan masyarakat ”zaman now”, termasuk kaum mudanya.
Dan lewat lagu ”Satu Nusa Satu Bangsa” arababu menegaskan bahwa dia adalah anak kandung kebudayaan Indonesia. Arababu seakan ikut bersumpah, seperti tergaung dalam Sumpah Pemuda. Seperti halnya Tidore dan Ternate yang sejak awal menjadi bagian dari Republik Indonesia.
(Frans Sartono, Wartawan di Kompas Gramedia, 1989-2019)