Lambaian Bunga untuk Koes Hendratmo
Kelebihan Koes dalam “Berpacu dalam Melodi”, dia mengerti benar latar sejarah lagu dan penyanyi yang menjadi materi kuis. Begitu pas ia menjadi pembawa acara kuis itu sampai ada yang menyebutnya sebagai Kuis Hendratmo.
Koes Hendratmo (1943-2021) bukan penyanyi yang menghasilkan puluhan lagu kondang. Bukan pula biduan yang membuat belasan album atau menjual jutaan kopi piringan hitam, CD, dan kaset.
Popularitas awalnya berangkat dari ”hanya” satu piringan hitam produksi Elshinta pada pertengahan 1960-an. Album itu berjudul Lambaian Bunga, dengan subjudul ”Jang Terbaik dari Kus Hendratmo”, judul yang layak untuknya.
Lagu-lagu dalam album itu populer pada tahun 1968 djan seterusnya. Suara Koes pun dikenal luas oleh pendengar Radio Republik Indonesia atau RRI yang sering memutar piringan hitam tersebut. Tidak ada yang heboh atau sensasional dalam lagu dan musik yang diiringi Band Dharma Putra pimpinan Kolonel Sofjar itu.
Popularitas awalnya berangkat dari ”hanya” satu piringan hitam produksi Elshinta pada pertengahan 1960-an.
Lagu-lagu dalam album itu adalah lagu standar dan sudah pernah dinyanyikan oleh penyanyi lain. ”Lambaian Bunga” dan ”Timang-timang”, misalnya, pernah dibawakan Said Effendi. Pada muka atau side A dari PH itu adalah lagu ciptaan komponis Indonesia, yaitu ”Timang-timang” ciptaan Said Effendi, ”Lambaian Bunga” (Saiful Bahri), ”Malam Seindah Ini”, dan ”Hanya Sekejap” (Adi Karso).
Adapun pada muka B, terdapat empat lagu ”Barat”, sebutan pada masa itu. Lagu tersebut adalah ”l Mondo” ciptaan Gianni Meccia yang versi bahasa Inggrisnya dipopulerkan oleh Engelbert Humperdinck. Kemudian ”San Francisco” ciptaan J Phillips yang sangat populer lewat suara Scott McKenzie.
Lantas ada ”Making Believe” karya Jimmy Work yang aslinya berupa lagu country serta ”You Only Live Twice”, lagu tema film James Bond karya Bricusse yang soundtrack-nya dibawakan Nancy Sinatra.
Lagu-lagu semacam itu belakangan disebut sebagai lagu ”daur ulang”, sebutan yang terkesan kurang menghargai karya. Lagu mana pun jika memang berkenan di hati publik, maka lagu itu akan tetap singgah di telinga orang.
Di belakang lagu tersebut ada penyanyi yang memberi tafsir atau interpretasi personal, dengan segala karakter vokal dan penjiwaan sang biduan. Koes Hendratmo adalah salah seorang penyanyi yang mampu menyajikan lagu-lagu tersebut ke telinga publik pada masa itu. Dan ternyata suguhan Koes diterima khalayak luas. Buktinya, ”Lambaian Bunga”, ”Timang-timang” dan lainnya populer. Dan sampai hari ini, orang mengenang seorang Koes Hendratmo lewat suara pada lagu-lagu tersebut.
Fenomena biduan 1960-an
Koes Hendratmo termasuk salah seorang biduan atau penyanyi pria yang muncul dalam rentang 1965-1970. Pada masa itu ada sederet biduan kondang lainnya, seperti Harry Noerdie, Ronny Joes, Alfian, Yan Salakory, Deddy Damhudi, Bob Tutupoli, Muchsin, dan Koes Hendratmo.
Harry Noerdie dan Rony Joes kemudian menekuni profesi di luar musik. Biduan lainnya terus berkarier di jagat tarik suara dan bertahan hingga puluhan tahun kemudian.
Baca juga: Mengenang Penyanyi Serba Bisa, Koes Hendratmo
Harry Noerdie yang berasal dari Surabaya terkenal pada 1965 lewat album Harry Noerdie Menyanyikan Lagu Kesayangan Anda keluaran Remaco. Album berupa piringan hitam ukuran 45 RPM ini memuat 4 lagu, masing-masing dengan dua lagu pada setiap sisi.
Hebatnya, semua lagu merupakan ciptaan Harry Noerdie sendiri, dan semua terkenal pada masanya. Lagu tersebut adalah ”Aku Mencari”, ”Lagu Kesayangan” ”Jasamu Pahlawan”, dan ”Gadis Pujaan Sayang”. Sekadar pengingat, lagu ”Aku Mencari” diawali dengan lirik ”Ke mana kan kucari kelembutan kasih/ Hanya padamu kawan aku kan kembali….”
Album kedua berjudul Tjinta Mesraku berisi empat lagu ciptaan Harry Noerdie. Diiringi Orkes Pelangi, salah satu lagu yang terkenal adalah ”Andaikan”. Lagu ini pernah kembali terkenal pada era 1980-an lewat suara Richie Ricardo. Lirik awal lagu ini adalah ”Andaikan seorang kan datang/ Menghibur hati sedang sunyi....”
Yang menarik, dari penyanyi era 1960-an ini adalah mereka tidak mempunyai banyak lagu tenar, tetapi dengan satu atau dua lagu kondang, suara dan namanya dikenang orang.
Baca juga: Elly Kasim dan Lagu Minang yang Mengindonesia
Mereka antara lain Ronny Joes yang muncul lewat tiga album, dengan dua lagu kondang, yaitu ”Aku Terpesona”, dan ”Kenangan September”. Kemudian Yan Salakory dengan lagu ”Lagu Untukmu” dan ”Percayalah”. Joko Susilo terkenal dengan lagu ”Kapuk Randu” dan ”Walk Away” milik Mat Monroe itu.
Muchsin bahkan hanya mempunyai satu lagu, yakni “Merana” ciptaan Surtedjo, iringan band Arulan. Lagu inilah yang membuat nama Muchsin berkibar pada paruh kedua 1960-an. ”Merana” berada dalam album kompilasi yang berisi 12 lagu dari deretan penyanyi, termasuk Bing Slamet dan Deddy Damhudi. Setahun kemudian, Muchsin semakin populer setelah berduet dengan Titiek Sandhora. Mereka ”diduetkan” oleh Remaco menyusul popularitas duet asal Belanda Sandra dan Andres yang terkenal di sini lewat ”Story Book Children”.
Revivalisme
Ada fenomena menarik pada paruh kedua 1970-an, yaitu populernya kembali penyanyi 1960-an. Mereka menyeruak kembali di pertengahan 1970-an dengan lagu hitnya. Zaman pun berubah. Pada paruh kedua 1970-an bermunculan penyanyi muda dengan lagu dan musik yang coraknya berbeda dengan era 1960-an.
Ada Broery yang bisa dikatakan merajai lagu pop. Muncul biduan kondang, seperti Eddy Silitonga, Ade Manuhutu, dan Melky Goeslaw. Industri musik juga meriah dengan band, seperti Koes Plus, Panbers, D’Lloyd, Black Brothers, dan The Rollies yang semakin populer, God Bless, dan Chrisye.
Di tengah zaman yang berubah itulah datang kembali para biduan 1960-an. Deddy Damhudi menyeruak dengan ”Gubahanku” ciptaan Gatot Sunyoto. Lagu ini termuat di album Deddy Damhudi keluaran Remaco.
Pada album ini Deddy juga memopulerkan lagu ciptaan Tony Koeswoyo, yaitu ”Permata” dan ”Problema”. Akan tetapi, yang paling top memang ”Gubahanku”. Diiringi band 4 Nada, aransemen lagu ini digarap Syafiie Glimboh dengan melibatkan seksi gesek dan flute.
Deddy Damhudi pada pertengahan 1960-an dengan lagu ”Mega di Kala Senja” dan ”Di Tepi Kolam” ciptaan Jessy Wenas, juga “Aku Terkenang Slalu” (M Yusuf), dan ”Kasih di Bulan Agustus” (Wedhasmara), ”Peluk Daku dan Lepaskan”, serta ”Jatuh Cinta”.
Awal 1970-an, Deddy aktif mengikuti festival lagu pop nasional. Bahkan, Dedy pada tahun 1974 terpilih sebagai biduan terbaik dalam angket musik yang digelar oleh penyelenggara acara Siaran Angkatan Bersenjata di RRI Jakarta.
Baca juga: ”Tul Jaenak”, ”Kolam Susu”, dan Yok Koeswoyo
Begitu pula dengan Bob Tutupoly yang pada pertengahan 1970-an meroket dengan lagu ”Widuri” ciptaan Adriadie, dengan latar vokal Lex’s Trio.
Bob kemudian membuat serangkaian lagu terkenal sampai 1980-an, salah satunya lagu ”Simfoni Yang Indah” ciptaan Robby Lea. Bob semakin populer sebagai pembawa acara di TVRI.
Bob populer pada pertengahan 1960-an lewat lagu ”Mengapa Tiada Maaf” ciptaan Jessy Wenas. Sebelum itu, suara Bob dikenal lewat lagu ”Hanja Padamu”, ”Gadis Pudjaan”, dan ”Tak Mungkin Kulupa” yang semua diciptakan oleh John Apituly.
Awal 1970-an, sosok Bob hilang dari peredaran. Ia ke New York bernyanyi di restoran Ramayana milik Pertamina. Ia kembali ke Tanah Air disambut ”Widuri” yang mengangkat kembali namanya.
Berpacu Dalam Melodi
Seperti halnya Bob Tutupoly dan Deddy Damhudi, karier Koes Hendratmo juga terus mengalir. Ia pernah bergabung dengan kelompok vokal Impola Group pimpinan Gordon Tobing.
Mereka membawakan lagu-lagu daerah dari seluruh Nusantara, seperti dalam album Gordon Tobing bersama Lagu-lagu Rakyat terbitan label Indah. Hampir semua anggota Impola berperan sebagai solis, termasuk Koes Hendratmo. Dia antara lain menjadi solis pada lagu ”Bengawan Solo” dan lagu Tapanuli ”Sinapang Masin”.
Sosok Koes semakin populer lewat acara kuis ”Berpacu Dalam Melodi” di TVRI yang tayang perdana pada11 Mei 1988 pukul 21.45 seusai ”Dunia Dalam Berita”. Dalam kuis rekaan Ani Sumadi ini, Koes berperan sebagai pembawa acara. Kuis ini menggunakan lagu sebagai materi utama untuk ditebak oleh peserta, dan penonton tentu saja.
Koes tampak menguasai dan sangat luwes membawakan acara ini. Diiringi musik oleh Ireng Maulana dan kawan-kawan, Koes sering bernyanyi menemani peserta atau penyanyi yang menjadi bintang tamu.
Kelebihan Koes dalam ”Berpacu dalam Melodi” adalah dia mengerti benar latar sejarah lagu dan penyanyi yang menjadi materi kuis. Tidak hanya mengerti, Koes juga mampu menirukan dengan persis gaya nyanyi biduan yang lagunya dijadikan pertanyaan. Ia dengan terampil meniru gaya Johnny Mathis, Tom Jones, Engelbert Humperdinck, sampai Said Effendi dengan ”Fatwa Pujangga”-nya.
Begitu pas ia menjadi pembawa acara kuis itu sampai ada yang menyebutnya sebagai Kuis Hendratmo. Pengalaman bergabung dalam Impola Group juga menjadikannya fasih menyanyikan lagu-lagu daerah, bahkan juga berbicara dengan logat Batak.
Itu mengapa dalam Impola, Koes Hendratmo disebut sebagai Koes Martele-tele alias Koes Si Serba Bisa. Lambaian Bunga untuk Koes Hendratmo….