Pandemi Covid-19 belum berakhir. Sikap ekstra hati-hati tetap perlu kita jalankan.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Bertumpu pada pelandaian kasus Covid-19, pemerintah melonggarkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat di sejumlah daerah.
Hal ini diikuti oleh meningkatnya kunjungan wisatawan. Lalu muncul kekhawatiran lagi, dan ketentuan seperti vaksinasi dan tes PCR pun diterapkan bagi pelaku perjalanan.
Di satu sisi, penegakan sikap hati-hati dan saksama adalah wajar. Namun, kesan improvisasi sedikit atau banyak membuat masyarakat tak nyaman. Logika yang masuk akal hidup di masyarakat ialah dengan diterapkan aplikasi Peduli Lindungi, yang juga memperlihatkan rekam vaksin, menjadi syarat cukup untuk mendukung berlakunya berbagai aktivitas masyarakat, seperti masuk kantor, mal, dan area publik lainnya.
Masyarakat pun menyambut dengan antusias pelonggaran yang ditetapkan pemerintah dengan beraktivitas, berwisata, menyambangi keluarga, dan lainnya. Namun, di harian ini, Sabtu (23/10/2021), kita membaca, vaksinasi dan tes PCR menjadi syarat penerbangan. Peraturan yang mulai diberlakukan Minggu (24/10) ini muncul di tengah kenaikan jumlah penumpang pesawat beberapa waktu terakhir.
Terkesan ada kegamangan baru di lingkungan pemerintah, seperti ada peningkatan kasus positif Covid-19 di 105 kabupaten/kota meski dalam tahap yang, menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, tidak mengkhawatirkan, dan di bawah batas aman yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). (Kompas, 26/10/2021)
Kita memahami kehati-hatian yang ditegakkan pemerintah. Namun, kewajiban tes PCR bagi siapa pun yang masuk atau meninggalkan wilayah Jawa dan Bali lewat penerbangan menambah kerepotan pelaku perjalanan. Lebih dari soal biaya, aturan ini membuat calon penumpang tidak nyaman. Hidung dan tenggorokan dicolok berulang kali tidak menyenangkan.
Dari sisi biaya, kita pun membaca Presiden Joko Widodo meminta agar harga tes PCR diturunkan menjadi Rp 300.000. Tebersit di benak, kalau tarif tes ini bisa Rp 300.000, berarti tarif yang diterapkan sebelumnya terlalu mahal.
Kebijakan mewajibkan tes PCR bagi pelaku perjalanan udara, laut, dan darat juga ditolak Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tes PCR di provinsi ini, yang tarifnya berkisar Rp 500.000-Rp 1,5 juta, dinilai membebani masyarakat.
Di Bali, pelaku usaha juga mengkhawatirkan kewajiban tes PCR bagi pelaku perjalanan berdampak buruk pada rencana kunjungan wisatawan, terutama yang pergi dengan keluarga.
Di satu sisi kita menyadari, pandemi Covid-19 belum berakhir. Sikap ekstra hati-hati tetap perlu kita jalankan. Namun, di sisi lain, secara impulsif menerapkan kebijakan yang berimplikasi pada finansial, dan lebih luas lagi pada momentum pemulihan, patut dipertimbangkan juga.
Kekhawatiran yang bisa terjadi di pesawat sudah diikuti oleh maskapai, dengan tidak mengizinkan penumpang makan minum (buka masker) untuk penerbangan di bawah dua jam. Sudah banyak kalangan pula bisa menunjukkan paspor peduli lindungi. Kita wajib mengikuti protokol kesehatan, tetapi dengan cara tidak mahal dan mendadak berubah-ubah.